Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Benarkah bermazhab membawa perpecahan?

Avatar photo
56
×

Benarkah bermazhab membawa perpecahan?

Share this article

Dalam tatanan fikih kita mengenal istilah tamadzhub (bermazhab). Mazhab sejatinya adalah tipologi dalam menjalankan praktik keagamaan. Kendati demikian, tidak sedikit kelompok yang mengampanyekan anti mazhab dengan landasan menciderai persatuan, dan merusak kerukunan. Di sisi lain, ada beberapa kelompok yang fanatik dalam bermazhab. Mereka memandang mazhab sudah seperti agama yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun. 

Barangkali, kita sering mendengar jargon “mazhab diciptakan untuk menjaga persatuan umat Islam.” Ungkapan ini mungkin terdengar paradoks dengan kenyataan. Faktanya, mazhab dalam Islam tak terhitung jumlahnya, dan dalam praktik sosial beberapa pengikut mazhab justru saling bertikai. Jika demikian, memandang mazhab sebagai penjaga kesatuan seakan berseberangan dengan makna persatuan umat itu sendiri.

Seperti yang kita ketahui, Islam muncul tidak hanya sebagai agama  petunjuk, namun Ia juga merupakan agama pemersatu. Sudah banyak dalil-dalil yang mencegah perpecahan dan mendorong persatuan yang kokoh. Namun, realitas manusia yang tercipta dengan berjuta perbedaan akan mustahil menyatukan semuanya dalam segala aspek kehidupan, sehingga Penting bagi kita untuk mengetahui  benang merah antar manusia. Dengan mengetahui benang merah tersebut kita tidak perlu menyoal perbedaan secara berlebihan di permukaan.

Esensi persatuan yang harus diupayakan adalah nilai kemanusiaan, kehidupan, dan alam. artinya Bagaimana memahami hakikat kemanusiaan, apa makna kehidupan yang dianugerahkan pada kita, dan bagaimana pola berinteraksi dengan seluruh mahluk alam semesta. Ketiga hal di atas dapat terjawab dengan prinsip-prinsip berikut, persaudaraan antar manusia, awal dan akhir kehidupan yang dialaminya dan penghambaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Setelah ketiga prinsip itu tercapai maka perbedaan di luar itu tidak menjadi masalah. bahkan perbedaan menjadi hak dari kehidupan tiap manusia. Lagi pula, suku, budaya, warna kulit dan bahasa menjadi bukti bahwa demikianlah alam tercipta, justru semua itu ditujukan agar manusia semakin maju dan berkembang. Dengan adanya yang kuat dan lemah, yang pandai dan bodoh, yang maju dan terbelakang, tolong menolong dapat terwujud persatuan dapat tercapai dan perpecahan dapat dihindari.

Visi-misi mazhab dalam fikih Islam

Mazhab fikih adalah sekumpulan ijtihad para imam yang muncul dari pemahaman mereka akan nas-nas syariat. Seperti yang kita tahu bahwa nas syariat  tidak selalu menunjukkan makna yang tegas dan jelas, maka mazhab sebenarnya pengejawantahan pola interaksi dalil yang memiliki keragaman makna. Ia hadir dengan misi menjelaskan teknis pelaksanaan syariat Tuhan, maksud syariat serta tujuannya.

Semisal saja, salah satu tujuan syariat ialah melestarikan populasi manusia, kita semua sepakat akan hal itu, namun bagaimana tatanan untuk mewujudkannya?.  Di sanalah peran mazhab diperlukan untuk mengatur fikih pernikahan. Dan oleh karena kondisi sosial yang beragam, maka diperlukan pula opsi aturan yang bermacam-macam, dan yang terpenting adalah bersifat dinamis sesuai zaman.

Dalam sejarah kemunculan fikih Islam, tak sedikit sahabat yang punya kesempatan untuk bertanya langsung kepada nabi tentang persoalan yang dihadapi. Begitu juga, tidak semua sahabat punya hafalan Al-Qur’an yang sama, dan pula tidak semuanya senantiasa menemani Nabi. Otomatis porsi pengetahuan mereka akan hukum Islam juga beragam.

Dalam kondisi tersebut terkadang ijtihad adalah satu-satunya jalan mereka, namun setelah ada kesempatan para sahabat akan mengutarakan  hasil ijtihadnya langsung kepada Nabi. Terkadang Nabi tidak diam seraya mengisyaratkan setuju atas apa yang telah mereka lakukan. Seperti kisah para sahabat yang berbeda pendapat memahami wasiat Nabi untuk salat Ashar di Bani Quraidhah, saat itu waktu Ashar yang nyaris habis membuat panik sebagian rombongan, sehingga mereka memahami ada keringanan untuk mengakhirkan pelaksanaan salat sampai tujuan, dengan tendensi wasiat untuk salat asar di Bani Quaraidhah. Sementara itu, yang lain memahami wasiat tersebut sebagai isyarat agar rombongan mempercepat perjalanan sekira masih mendapati waktu Ashar di tujuan. Sekembalinya ke Madinah, Nabi tidak menyalahkan siapapun dan mengakui bahwa semuanya benar. Terkadang Nabi menjelaskan pendapat yang lebih tepat seperti saat melihat sahabat yang bertayamum dengan berkalang debu. Semua itu menunjukkan bagaimana Nabi sadar betul akan adanya perkhilafan, disamping melatih sahabatnya untuk berijtihad.

Pada masa sahabat mazhab fikih belum terbentuk, sebab mereka masih mencukupkan diri dengan merujuk pada pembesar dan para ulama sahabat yang masih banyak, ditambah tempat tinggal mereka yang relatif berada di satu wilayah. Tersebarnya para sahabat di era Sayyidina Umar menjadi titik awal terbentuknya mazhab, sehingga kemudian lahirlah madrasah Ahlul ra`yi di Irak dan madrasah Ahlul Hadits di Hijaz. Meski tampak seperti perpecahan namun hikmah dibalik kejadian ini sangatlah besar, dari keduanya lahirlah keilmuan yang membuat Islam semakin berkembang, semisal terkodifikasinya ilmu Ushul Fiqih untuk metodologi memahami dalil, ilmu Hadis untuk menilai tingkat keakuratan rantai periwayatan, tidak ketinggalan pula ilmu Fikih yang dikembangkan para imam mazhab.

Kejadian ini juga menjadi titik tolak semaraknya kajian keilmuan dengan para pelajar yang rela menempuh perjalanan ribuan kilometer untuk mengambil dan mendiskusikan Khazanah keilmuan Islam. Berkat semua Inilah tercipta keseimbangan dalam keilmuan Islam, tidak berat ke arah Madrasah Hijaz juga tidak condong ke madrasah Irak. Ia menjadi independen dan memiliki prinsip sendiri yang kuat, netral dan tidak berpihak kecuali kepada syariat. Ia adalah mazhab syafii yang mengasimilasikan madrasah Irak dan Hijaz. Di sisi lain, ia menegaskan bahwa sejauh apapun perkhilafan, seberapa banyak pendapat dalam menyikapi suatu masalah ia tetaplah di bawah payung tradisi keilmuan Islam yang sah dan terhormat, karena berlandaskan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Maka telah jelas bagi kita bahwa perbedaan yang terjadi antara mazhab itu tidak bersifat memecah belah dan bertujuan memonopoli kebenaran, melainkan ia bertujuan untuk memperkaya perspektif dalam pelbagai kasus agar ia senantiasa relevan .

 

Kontributor

  • Chifdul Karim Alwy

    Santri Lirboyo yang sedang melanjutkan studi akademik di Al-Azhar University. Pecinta usul fikih dan hukum Islam. Bisa dihubungi lewat IG: dibalik­_awwan, atau FB: Karim Alwy