Scroll untuk baca artikel
Talaqqi Akbar
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Bisakah Perbedaan Tidak Mengorbankan Kemanusiaan?

Avatar photo
67
×

Bisakah Perbedaan Tidak Mengorbankan Kemanusiaan?

Share this article

Dewasa ini seringkali kita dapati pertikaian yang berujung pada pencideraan kemanusiaan. Mulai dari golongan satu yang menendang golongan lain dari barisannya dengan tuduhan kafir. Hingga boikot tempat ibadah agama lain di suatu kampung. Hal ini menimbulkan kekisruhan masyarakat dan berujung pada kekerasan, penganiayaan, bahkan tidak segan-segan membakar pemukiman penduduk gara-gara pemahaman yang berbeda. Kejadian seperti ini bisa kita lihat di negara kita seperti pembakaran pemukiman warga di Madura, pelarangan pendirian gereja di Cilegon, kasus bom gereja di Surabaya dan Kasus Bom Bali yang menelan 202 korban jiwa.

Tanpa kita sadari orang yang kolot akan selalu bersua dengan kita dimanapun kita berada. Orang yang hanya memandang sudut pandang dirinya sendiri dan kacamata sendiri tanpa memandang perkara-perkara lebih umum yang general akan selalu demikian. Seperti halnya orang-orang sofis yang kolot hingga ekstrim berujung pada dakwaan kebenaran adalah yang aku atau kami ucapkan. Sangat eksklusif dan egois. Fanatik terhadap dirinya sendiri maupun kaumnya. Tidak lain adalah karena mereka hanya memandang sisi parsial saja dan tidak menyadari bahwa dia merupakan bagian dari komunitas besar manusia makhluk Tuhan.

Maka dari itu jika mengaca kepada diri sendiri maka kita akan mendapati dua sudut pandang. Pertama adalah sudut pandang parsial, sebagai diri kita yang hanya dipandang dari satu arah saja. Kita sebagai pribadi kita dengan berbagai macam hal yang kita sandari baik profesi, buku favorit, madzhab, hobi dan segala bentuk sifat yang melingkupi diri kita. “kullama zada al-mafhum qolla al-mashadaq”. Semakin banyak mafhum yang mensifati maka akan semakin sempit objek realitasnya.

Dari sudut pandang parsial ini kita akan mendapati betapa sulitnya berbaur. Bagaimana bisa demikian? Kita hanya akan melihat diri kita saja tanpa menengok kepada komunitas besar. Akan berada pada pribadi murni yang single. Subjektif dan kolot. Satu-satunya dan bukan salah satu. Menganggap diri kita benar sendiri sedangkan orang lain salah. Seolah anda mengatakan anda sendiri sebagai pemegang kunci surga. Maslahat umat hanya ada di ide anda. Manusia suci yang tidak akan berdosa dan anti-kritik.

Pola pikir seperti ini merupakan pola pikir kaum sofis. Keniscayaannya adalah menegasikan kebenaran common sense yang absolut karena kengeyelannya. Bahkan pertumpahan darah terkadang solusi bagi mereka. Di dalam Faisol Tafriqah, al Ghazali mengatakan:

《ولعلك إن أنصفت .. علمتَ أنَّ مَنْ جَعلَ الحَقَّ وَقْفاً على واحدٍ مِنَ النُّظَّارِ بعينه فهو إلى الكفر والتناقض أقرب :

أما الكفر .. فلأنَّهُ نَزَّلَهُ منزلة النبي المعصوم الذي لا يثبت الإيمان إلا بموافقته ، ولا يلزم الكفرُ إلَّا بمخالفته .

وأما التناقض .. فهو أنَّ كلَّ واحدٍ مِنَ النُّظَّارِ مُوجِبٌ للنظر ومحرم للتقليد ، فكيف تقول : يجب عليك النظر مع تقليدي ، أو يجب عليك أن تنظر وألا ترى في نظرك إِلَّا ما رأيتُ ، فكلُّ ما رأيتُهُ حُجَّةً .. فعليك أن تعتقدَهُ حُجَّةً ، وما رأيتُه شبهةً .. فعليك أن تعتقده شبهةً》

“Mungkin jika Anda inshof (komprehensif), Anda akan tahu bahwa siapa pun yang membuat kebenaran hanya pada seseorang ahli tertentu, maka ia dekat dengan kekufuran dan kontradiksi.

Dekat dengan kekufuran yang dimaksud adalah ia memposisikan diri sebagai Nabi yang maksum (terjaga dari kesalahan), yang mana tidak dikatakan beriman kecuali mengikutinya dan kafir jika menyelisihinya.

Sedangkan kontradiksi yang dimaksud adalah seperti halnya seorang sebagai ahli nadzor wajib melakukan nadzor (menganalisa) dan diharamkan baginya untuk ikut-ikutan. Maka bagaimana halnya jika dia mengatakan anda wajib menganalisa dengan cara saya, lalu janganlah anda melihat hasil analisamu kecuali hasil analisa saya. Maka apa yang saya anggap benar kamu harus mengatakan itu benar, dan jika bagi saya keliru maka anda harus setuju”.

Jelas sekali sindiran al Ghazali dalam bukunya Faishal Tafriqah terhadap laporan muridnya dari orang yang menuduh kafir al Ghazali gara-gara beberapa perbedaan pendapat dengan Imamnya yakni Abul Hasan al Asy’ari. Keras dan jumudnya orang tersebut yang mendorong al Ghazali menuliskan buku itu sebagai respon dan peringatan kepada murid-muridnya.

Socrates sebagai pejuang logika cemerlang ketika itu mati diracun kekolotan mereka. Padahal dengan tegas ia mengkritik habis-habisan kaum sofis yang tengah mencari audience dengan retorika lidah mereka yang lincah dan mengambil keuntungan dari pengikut-pengikutnya. Bahkan demi mencari pengikut sebanyak-banyaknya mereka tega mengobrak-abrik konsepsi absolut. Dalam Sejarah Filsafat Yunani, Yusuf Karam menyebutkan kaum sofis juga memiliki tujuan untuk menguasai kerajaan athena ketika itu. Lagi-lagi gara-gara politik mereka berbohong dan munafik. Bagi mereka argumen yang kuat dapat menggeser kebenaran-kebenaran yang telah absolut. Maka hendaknya kita tidak boleh berhenti dalam sudut pandang parsial terhadap diri kita atau terhadap kaum tertentu saja, karena kemaslahatan adalah milik bersama.

Sebagaimana hadis ke 270 yang dicantumkan Imam al-Nawawi di Riyadh al-Salihin dari riwayat Sayyidah Aisyah r.a:

وعن عائشة رضي الله عنها قالت : جاءتني مِسْكِينَةٌ تَحْمِلُ ابْنَتَيْنِ لها، فَأَطْعَمْتُهَا ثَلَاثَ تَمَرَاتٍ ، فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً، وَرَفَعَتْ إِلَى فِيهَا تَمْرَةً لِتَأْكُلَهَا ، فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا، فَشَقْت التَّمْرَةَ الَّتِي كَانَتْ تُرِيدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا، فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا ، فَذَكَرْتُ الَّذِي صَنَعَتْ لرسول الله ﷺ فقال : إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الجَنَّةَ، أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ .

Dari Aisyah r.a bertutur: “Datang kepadaku seorang perempuan miskin dengan membawa dua anaknya, maka kuberikan ia tiga buah. Kemudian ia memberikan kedua anaknya buah itu masing-masing satu. Lalu ketika ia mau memakan miliknya tiba-tiba kedua anaknya menginginkan buah itu, maka ia memotong buah yang akan ia makan untuk anak-anaknya. Terkejutlah aku melihat sikapnya. Lalu aku menceritakan kejadian itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliaupun bersabda: Sesungguhnya Allah telah memberikan kepadanya surga dan membebaskannya dari neraka”. (H.R. Muslim).

Dari hadis di atas pelajaran yang kita konsumsi tidak mungkin perempuan itu mau berbagi dengan anaknya jika sudut pandangnya hanya parsial saja. Tidak akan terjadi hal itu jika ia hanya fokus mengenyangkan perutnya tanpa memperhatikan sekelilingnya. Ia tau bahwa kemaslahatan anak-anaknya lebih utama. Dan seindah itu jika kita mau memperluas kacamata parsial ini seluas sudut pandang kedua yakni sudut pandang global atau universal.

Sudut pandang global adalah sudut pandang yang luas. Dengan menyadari bahwa diri kita merupakan bagian dari komunitas global. Kita adalah salah satu dari sebuah nisbat. Jika kita melihat sudut pandang ini maka kita tidak akan merasa benar sendiri. Subjeksi diri kita adalah subjeksi yang mungkin benar mungkin salah. Keniscayaannyapun akan menjadi pandangan yang unik. Hingga sains adalah produk subjektif peneliti. Hal ini mirip dengan pandangan al-Nadzam – sosok muktazilah – yang mengatakan kebenaran sesuatu itu ditimbang melalui keyakinan observator tanpa mempertimbangkan kebenaran itu terjadi di realita atau tidak. Jika demikian, maka kita bisa saja menyalahkan semua orang karena bagi keyakinan kita semua orang salah. Tidak perlu juga adanya diskusi ilmiah. Tidak perlu adanya dialektika antara tesis, antitesis dan sintesis seperti yang Hegel katakan.

Jika kita memakai sudut pandang global, kita akan fokus terhadap persamaan yang terjadi. Ini kebalikan dari sudut pandang parsial yang menggunakan metode “kullama zada al mafhum qolla al-mashdaq” menjadi “kullama zada al mashdaq qolla al mafhum”. Semakin banyak objek realitasnya maka akan sedikit mafhumnya. Sebagai contoh objek realita di luar adalah sekumpulan manusia dalam satu latar belakang hewan yang berpikir. Maka kita merangkup objek satu-persatu manusia tersebut dalam suatu pemahaman “hewan yang berpikir”. Kita meringkas mereka dengan satu mafhum saja yang esensial. Bahwa sebegitu banyak manusia mereka sama-sama hewan yang berpikir. Akan bersatu dalam satu kuiditas. Sebagai sesama manusia, jika kita melihat sisi persamaan ini maka tidak akan ada perpecahan. Tidak akan ada perang antar suku, ras, atau agama. Tidak akan ada agama yang menggaungkan kebenaran untuk menyerang satu sama lain. Dengan sudut pandang ini kita tidak akan sumpek memikirkan diri sendiri. Kita akan melepaskan sikap apatis terhadap kehidupan sosial. Tidak merasa benar terhadap madzhab yang ia pegang. Bahkan sesosok Imam Syafi’i saja berkata:
《 رأيي صواب ويحتمل الخطأ ورأيهم خطأ ويحتمل الصواب》
(Pendapatku benar tapi boleh jadi salah, sedangkan pendapat mereka salah tapi boleh jadi benar).

Di sinilah sikap inklusif manusia aktif dan itu yang menjadi landasan penting demokrasi lahir. Perebutan kekuasaan dihitung melalui voting atau suara terbanyak. Dan ini yang zaman dahulu dilakukan zaman kekhalifahan masa awal islam. Sebelum seorang khalifah dibaiat, semua umat muslim harus menyetujui kepemimpinan sosok khalifah itu. Sedangkan bagian oposisi tidak pernah ada anjuran untuk memerangi, melainkan berjalan sebagai kritik dan komparasi ide.

Dan apabila ada yang mempermasalahkan demokrasi gara-gara itu adalah idenya barat dan menggunakan istilah barat, Syekh Ali Jum’ah dalam Amnu al Mujtama menegaskan bahwa poros justifikasi bukanlah dari nama, melainkan dari apa yang dinamai dan apa yang menyertainya.

Sistem demokrasi merupakan sistem yang dianggap ideal, karena di situ terdapat musyawarah. Pengambilan pendapat berdasarkan mufakat. Konklusi penyelesaian masalah yang diambil dari sebuah perkumpulan. Mengamalkan ayat al Quran:
《وشاورهم في الأمر》{آل عمران ١٥٩}
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam suatu perkara”. (Ali Imran-159).

Meskipun dari segi nama tidak berbau arab ataupun islam, namun bentuk yang dicanangkan tidaklah bertentangan dengan syariat. Orang barat dan kaum muslim sama-sama memiliki ide tujuan keadilan dan kesejahteraan masyarakat seperti halnya Pancasila. Tidak bisa kita jadikan nama sebagai justifikasi namun kita lihat substansi yang terjadi. Kita tidak bisa mendakwa manusia yang bernama barat seolah ia kafir. Justifikasi tersebut justru framing semata yang tidak masuk akal.

Dengan demikian, kita juga tidak bisa mengatakan sebuah negara adalah sekuler hanya karena tidak menyebut aturan islam dalam undang-undangnya secara eksplisit. Hanya gara-gara tidak mengutip lafadz al Quran dan hadis secara tekstual seolah negara tersebut sekuler. Melainkan kita lihat makna yang terkandung di ayat-ayat al Qur’an yang diserap oleh undang-undang. Imam Besar Al Azhar Syekh Ahmad Thayib dalam wawancaranya menyebutkan bahwa kita tidak bisa mengatakan sebuah negara sekuler hanya karena tidak menyebut teks agama dalam undang-undangnya, melainkan dilihat dari undang-undang yang termaktub apakah bertentangan dengan ajaran agama.

Dari pernyataan tersebut hendaknya kita berhati-hati dalam mendakwa sebuah negara sekuler. Seolah-olah jika undang-undang tidak ada kata “islam” adalah sekuler. Tidak mengimplementasikan syariat, meskipun di dalamnya mengandung aturan keadilan yang secara makna sefrekuensi dengan ajaran al Qur’an dan hadis nabi. Bisa jadi akan terjerumus oleh pemikiran khawarij yang membawa-bawa al Quran untuk mengkafirkan umar yakni ayat al Maidah 44:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan urusan dengan yang telah Allah tentukan maka telah kafir”.

Pada akhirnya, jika kita mengamalkan secara tulus ajaran al Qur’an dan hadis nabi, kekisruhan di alam ini tidak akan terjadi. Kita akan menyelesaikan segala permasalahan dengan duduk bersama. Tentu kita akan merasakan kedamaian Islam dimanapun kita berpijak. Sebagai manusia yang berfikir global. Mementingkan kenyamanan umum dan keamanan bangsa seperti halnya umat kristiani di Mesir yang dijamin keselamatannya oleh Umar bin Khattab.

Kontributor

Talaqqi Akbar