Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Dimensi Puasa Atas Ruang Kebahagiaan

Avatar photo
41
×

Dimensi Puasa Atas Ruang Kebahagiaan

Share this article
Dimensi Puasa Atas Ruang Kebahagiaan
Dimensi Puasa Atas Ruang Kebahagiaan

Puasa setidaknya memberikan dua ekspresi ketika seseorang mendengar atau melakukan kegiatan dari salah satu rukun islam tersebut. Pertama, bahagia. Berpuasa menjadi seseorang merasakan kebahagiaan ketika waktu berbuka. Kedua, kesedihan. Entah merasa berat saat melakukan atau terkesan menjadi beban karena terasa begitu lama menunggu waktu berbuka. Setidaknya kedua fenomena tersebut tidak menjadikan puasa sebagai kontestasi balas dendam untuk memuaskan hasrat lapar sampai kenyang tidak karuan.

Sekilas sabda Nabi memberikan perhatian kepada kaum muslimin bahwa puasa tidak hanya dalam dimensi horizontal saja, melainkan ganjaran secara vertikal senantiasa menanti bagi mereka yang berusaha dalam menjalankan salah satu kegiatan ibadah umat islam ini.

Rasulullah Saw bersabda

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

Artinya, “Orang yang berpuasa akan meraih dua kebahagiaan, kebahagiaan ketika berbuka puasa/berhari raya, dan kebahagiaan ketika bertemu Tuhannya,” (HR Muslim).

Seringkali kedua kebahagiaan ini terlena karena hasrat lapar yang sudah diujung tanduk. Pada akhirnya esensi dari puasa tersebut tidak memberikan kebahagiaan melainkan kesedihan. Sedih karena tidak mendapat dari salah satu kebahagaiaan tersebut, yaitu nikmatnya berbuka. Berbuka adalah ruang terkabulnya doa bagi mereka yang serius mengadahkan tangan di waktu tersebut.

Rasulullah sudah merefleksikan bagaimana puasa menjadi salah satu media kepada umatnya sebagai dasar untuk menggapai kebahagiaan. Kenapa tidak, hal ini jelas terpampang bahwa Allah SWT lah yang akan memberikan pahala untuk orang yang berpuasa tersebut. Artinya kesabaran orang yang sedang bepuasa sudah sampai pada titik yang tidak ada batasnya. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S Az-Zumar ayat 10,

قُلْ يٰعِبَادِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوْا رَبَّكُمْ ۗلِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗوَاَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةٌ ۗاِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.” Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa perhitungan.(Q.S Az-Zumar [39]: 10)

 

Imam An-Nasafi memberikan penafsiran pada kalimat “hasanah” yang berorientasi kepada kebaikan di dunia maupun di akhirat. Salah satu orang yang melakukan perbuatan baik adalah mereka yang senantiasa taat dengan apa yang sudah diperintahkan oleh Allah SWT dan bersabar atasnya. Perrbuatan baik dengan menuruti perintahnya salah satunya adalah berpuasa. Kebahagiaan yang selama ini terkandung di dalam puasa tidak hanya secara batiniah dirasakan akan tetapi secara zahir memberikan pengaruh yang luar biasa yaitu terkekangnya untuk melakukan tindakan kemaksiatan.

Dimensi kebahagiaan dalam berpuasa berpotensi untuk menjalahkan ibadah yang lainnya dengan konsisten. Hal ini terwujud atas dorongan nafsu yang sudah terkubur di dalam diri karena lapisan kesabaran yang sudah mempertebal dengan kehadiran amal berpuasa. Ibnu Asyur dalam tafsirnya at-Tahrir wa At-Tanwir mengatakan bahwa “hasanah” dalam hal ini adalah keadaan baik yang sudah melekat pada sifat seseorang. Setidaknya kebaikan yang terpancar sudah menyelimuti setiap gerak geriknya.

Bagaimanapun ketika zaman saat ini memberikan konsekuensi kepada umat muslim untuk tetap menjalankan syariat, di satu sisi dimensi puasa tidak terhalang dengan masifnya perubahan keadaan dan kondisi saat ini. Di sisi yang lain, konsep berpuasa berpeluang untuk menjadikan kegiatan ibadah yang lain berpotensi kepada kekhusyuan, sebagaimana imam Al-Baidhowi menjelaskan intensitas puasa memberikan ruang sebagai media pengharapan kepada Tuhan agar titik kekhusyuan seorang hamba sampai pada keridhaan Tuhannya.

Dalam dimensi “kebahagiaan bertemu Tuhannya” hal ini mengindikasikan bahwa hakikat kebahagiaan tidak berhenti pada kebahagiaan dunia saja, melainkan bagaimana kehadiran seorang hamba dinantikan oleh Tuhannya. Tidak menutup kemungkinan bahwa wasilah dari berpuasa memberikan kontribusi terhadap kehidupan seseorang untuk terus mengingat Allah. Hal ini jelas bahwa relasi antara kata “ihsan” dan “puasa” memiliki orientasi makna yang sama, dengan jelas Nabi memberikan pengertian bahwa beribadahlah seakan akan engkau melihat Tuhanmu, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu.

Hemat penulis, kebahagiaan yang didasari dengan berpuasa adalah wujud pembuktian sebagai seorang hamba yang bersabar dan bertaqwa. Ajang pembuktian bukan sebagai kontestasi kebaikan yang harus dipajang ditengah masyarakat, tetapi sebagai sayembara untuk menemukan cinta sejati dari Sang Pencipta. Kebahagiaan tidak diukur dengan seberapa banyak yang didapat, tapi seberapa banyak yang disyukuri. Puasa bukan ajang untuk melepaskan rasa lapar menjadi kenyang, akan tetapi puasa adalah media untuk melatih bagaimana kesederhanaan  memberikan ekspresi kebahagiaan dalam ruang kebaikan dan kesabaran.

 

Kontributor

  • Umar Kustiadi

    Mahasiswa Magister Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.