Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Dua Kunci Kesuksesan Puasa di Bulan Ramadhan

Avatar photo
19
×

Dua Kunci Kesuksesan Puasa di Bulan Ramadhan

Share this article

Menjadi
seorang Muslim yang paripurna adalah memahami dan menjalankan
ketentuan-ketentuan dalam Islam, seperti puasa pada bulan Ramadhan. Islam
mewajibkan semua umat Islam yang sudah memenuhi keriterianya untuk melakukan
berpuasa pada bulan Ramadhan.

Pada
dasarnya, Islam mewajibkan puasa atas mereka yang sudah memenuhi syarat
dan rukunnya dengan tujuan lapar, dahaga, dan merasakan kesulitan. Namun, di
balik semua itu terdapat beberapa tujuan, dan hikmah yang sangat banyak dalam
ibadah yang satu ini, dan tanpa terasa, bulan Ramadhan akan memasuki penghujung
waktunya. Bulan yang selalu dinanti-nanti dan diharapkan kedatangannya ini akan
segera pergi.

Berikut dua tujuan
diwajibkannya puasa yang perlu dijadikan renungan, yang terangkum dalam kitab Ahkamus
Siyam.

Pertama, Meningkatkan Ketakwaan

Puasa menjadi salah satu bahan pokok dalam meningkatkan
takwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan, diantara tujuan
diwajibkannya puasa adalah agar bisa menjadi perantara meningkatkan ketakwaan.
Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sbelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS.
Al-Baqarah: 183)

Puasa menjadi pokok paling utama untuk meningkatkan
imunitas ketakwaan pada Allah swt, dimana peningkatan ketakwaan merupakan harapan
dari-Nya, sebagaimana ayat di atas.

Dengan berpuasa, seseorang sudah berkomitmen
menyempurnakan ketakwaannya kepada Allah swt, sebagaimana definisi dari takwa
sendiri yaitu, mengerjakan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Takwa
bisa sempurna dengan berpuasa, sebagaimana takwa bisa sempurna dengan rukun
Islam yang lain, seperti shalat, zakat, dan haji. Dan yang perlu direnungkan
adalah, sudahkah puasa yang dilakukan selama bulan Ramadhan menjadi perantara
meningkatkan ketakwaan?

Layaknya shalat. Dalam Al-Qur’an Allah swt menjanjikan
kebaikan bagi orang-orang yang melakukannya, dan juga bisa meninggalkan setiap
kejelekan dan keburukan bagi yang melakukannya. Namun, betapa banyak mereka
yang melakukan shalat tapi masih saja melakukan maksiat. Semua itu tidak lain
disebabkan ketika melakukan shalat masih banyak ketentuan-ketentuannya yang tidak
terpenuhi.

Begitupun dengan puasa, jika dengannya tidak bisa meningkatkan imunitas
takwa kepada Allah swt, sementara peningkatan ketakwaan merupakan pokok utama
diwajibkannya puasa, menunjukkan bahwa dalam melakukan puasa ada yang salah,
ada yang kurang baik, dan ada pencegah yang membuatnya tidak bisa meningkatkan
ketakwaan.

Perlu menjadi sebuah renungan, bahwa yang paling penting
ketika melakukan ibadah, disamping menjaga dari semua hal yang bisa membatalkan
ibadah tersebut, juga harus menjaga semua hal yang bisa menghilangkan pahala
dan bekas ibadah pada diri sendiri.

Misalnya puasa, pokok dari puasa adalah
meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt, semua itu bisa didapatkan apabila umat
Islam sudah berhasil menjaga dirinya dari setiap hal-hal yang bisa
menghilangkan pahala puasa, seperti menggunjing orang lain, mengadu domba,
berbohong, riya’, merasa dirinya lebih baik dari orang lain, dan berbuka puasa
dengan makanan haram.

Harus diakui, dalam beberapa hadist Rasulullah
memposisikan puasa sebagai benteng bagi orang-orang yang mengerjakannya. Hanya
saja, benteng itu akan tetap ada dan didapatkan apabila tidak merusaknya. Dalam
sebuah hadist Rasulullah saw bersabda:

الصَّوْم جُنَّةٌ مَا لَمْ يَخْرِقْهَا قَالُوْا
بِأَيِّ شَيْءٍ يخرقها يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكَذْبٍ أَوِ بِسَبَّابٍ أَوْ
بِفُسُوْقٍ

“Puasa adalah benteng selama tidak ada yang menghancurannya.
Para sahabat berkata: dengan sebab apa bisa rusak wahai Rasulullah? Rasulullah
menjawab: dengan berbohong, mencaci-maki, dan berbuat fasik.” (HR Ad-Darimi)

Kedua, Meningkatkan Pengendalian Diri 

Di anatara tujuan diwajibkannya puasa adalah agar umat
Islam bisa mengendalikan syahwatnya dari melakukan maksiat. Hal ini,
sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah melalui hadist yang disampaikan oleh
Ibnu Mas’ud. Rasulullah saw bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ
مِنْكُمْ الْبَاءَة فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda,
barang siapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah
lebih menundukkan pandangan dan lebih mudan menjaga kemaluan. Dan barang siapa
yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, karena puasa bisa menjadi penekan
syahwatnya”. (HR. Imam Ahmad dan Imam Bukhari)

Dengan jelas, pada hadist di atas,
Rasulullah menempatkan puasa pada posisi yang sangat tinggi, yaitu sebagai
pengendali diri dari maksiat serta bisa merendahkan syahwat ketika tidak bisa
menikah.
Dan yang perlu
direnungkan dari hadist ini yaitu, sudahkah puasa yang dilakukan selama bulan
Ramadhan menjadi perantara untuk melemahkan syahwat?

Sebagaimana penjelasan pada poin
pertama, yaitu, puasa bisa menjadi perantara untuk melemahkan syahwat apabila
sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan puasa. Betapa banyak umat Islam setelah
selesainya bulan Ramadhan justru syahwatnya semakin tinggi, bahkan semakin
tidak terkendali. Bagaimana mungkin puasa bisa melemahkan syahwat, sedangkan
saat melakukan puasa masih saja menikmati maksiat, tidak menjauhi semua
larangan-larangan Islam, bahkan sama sekali tidak menambah waktu ibadah di
bulan yang mulia ini.

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.