Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Empat makna al-Qadr menurut Quraish Shihab

Avatar photo
18
×

Empat makna al-Qadr menurut Quraish Shihab

Share this article

Lailatul qadri khairun min alfi syahrin. Malam itu lebih baik dari seribu bulan. Begitu bunyi terjemah surat al-Qadr ayat 3.

Secara umum, Lailatul Qadar dimaknai oleh para ulama sebagai malam kemuliaan, penuh keagungan dan keberkahan sehingga barang siapa yang beribadah atau beramal di malam itu, maka amalnya bernilai lebih baik dari beribadah seribu bulan tanpa Lailatul Qadar.

Berangkat dari itu, kita akan mengulas makna al-Qadr dari mufassir kenamaaan kontemporer asal Indonesia, Prof. Quraish Shihab.

Dalam Tafsir al-Mishbah, sebelum mendefinisikan makna al-Qadr, Quraish Shihab terlebih dahulu mengetengahkan penafsiran ayat pertama dari Surat al-Qadr. Wa ma adraka ma Lailatul Qadar? (Dan apakah yang menjadi engkau tahu apakah Lailatul Qadar?)

Dan apakah yang menjadikan engkau (wa ma adraka), Quraish Shihab menuturkan bahwa itu adalah siapapun engkau walau Nabi Muhammad saw.

Kemudian “tahu apakah Lailatul Qadar?” (ma Lailatul Qadar) ditafsiri oleh Quraish Shihab dengan engkau tidak akan mampu mengetahui dan menjangkau secara keseluruhan betapa hebat dan mulia malam itu.

Sebab menurut Allah, istilah yang digunakan manusia untuk melukiskan malam itu teramat sulit dan sukar dijangkau.

Dalam melihat Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, Quraish Shihab memaknai al-Qadr ke dalam empat makna sebagai berikut:

Pertama, penetapan.

Lailatul Qadar adalah malam penetapan Allah atas perjalanan hidup makhluk selama setahun. Pendapat ini dikuatkan antara lain dengan firman Allah dalam QS. al-Dukhan [44]: 3-4:

إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. al-Dukhan [44]: 3-4)

Makna yang dikemukakan Quraish Shihab senada dengan yang disampaikan al-Mawardi dalam al-Nukat wal ‘Uyun bahwa segala urusan di tiap-tiap tahun ditetapkan pada malam itu, sebagaimana dituturkan Mujahid.

Menurut Mujahid, seperti yang dikutip Al-Qurtubi dalam al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, dinamakan malam penetapan karena pada saat itu Allah menetapkan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya, dari malam itu hingga malam yang sama di tahun berikutnya. Semua hal yang menyangkut dengan kematian, jodoh, kelahiran, rezeki dan lain-lain.

Lebih dari itu, al-Qurtubi menuturkan bahwa semua ketetapan tersebut diserahkan kepada “staf-staf” sesuai dengan bidangnya masing-masing. Para staf tersebut antara lain terdiri dari empat malaikat, yakni Jibril, Israfil, Mikail dan Izrail.

Kedua, pengaturan.

Di malam itu diturunkan pula Al-Quran. Quraish Shihab memaknai al-Qadr dengan malam pengaturan di mana Allah mengatur khitah atau strategi bagi Nabi  Muhammad saw guna mengajak manusia kepada kebaikan.

Tidak jauh berbeda dengan makna yang pertama, bahwa ditetapkannya segala urusan di malam itu sudah include dengan mekanisme yang terstruktur dan sistematis sehingga tidak ada satu pun yang terlewatkan dan tidak pula bertambah, demikian penafsiran al-Qurtubi.

Ketiga, kemuliaan.

Ini berarti, bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan Al-Quran pada malam yang mulia. Malam tersebut menjadi mulia, karena kemuliaan Al-Quran sebagaimana Nabi Muhammad saw mendapat kemuliaan dengan wahyu yang beliau terima.

Ada juga yang memahami kemuliaan tersebut dalam kaitannya dengan ibadah. Dalam arti, bahwa ibadah pada malam tersebut mempunyai nilai tambah berupa kemuliaan dan ganjaran tersendiri, berbeda dengan malam-malam lain.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang tadinya tidak memiliki kedudukan yang tinggi, akan mendapatkan kemuliaan. Apabila pada malam itu, mereka dengan khusyuk tunduk kepada Allah, menyadari dosa-doanya serta bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.

Lebih jauh, beberapa ulama juga berpendapat bahwa penamaan malam itu dengan sebutan Lailatul Qadar karena keutamaan, keagungan dan kadar yang tinggi yang dimiliki oleh malam tersebut.

Dalam pemaknaan yang lain, Lailatul Qadar–sebagaimana ditafsirkan al-Mawardi–adalah malam penuh ketaatan sebab di malam itu segala amal saleh diganjar dengan pahala yang besar. Di malam itu, Allah menurunkan banyak sekali kebaikan, keberkahan dan juga ampunan.

Keempat, sempit.

Pada malam turunnya Al-Quran, malaikat begitu banyak yang turun sehingga bumi menjadi penuh sesak bagaikan sempit. Senada dengan Quraish Shihab, Khalil seperti yang dikutip al-Qurtubi, memaknai al-Qadr dengan sempit dikarenakan bumi saat itu begitu sesak oleh para malaikat yang turun dari langit. Makna ini senada dengan firman-Nya,

وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ آتَاهُ ٱللَّهُ

“Dan orang yang terbatas (sempit) rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. al-Thalaq [65]: 7)

Dari penafsiran mufasir di atas, poin penting yang dapat diambil adalah yang pasti malam tersebut adalah malam mulia lagi hebat. Kemudian dan kehebatan itu, kata Quraish Shihab, bukan saja dipahami dari kata al-Qadr saja, melainkan dari kandungan ayat ke-2 di atas, wa ma adraka ma Lailatul Qadar.

Ungkapan wa ma adraka tidak digunakan Al-Quran kecuali menyangkut persoalan-persoalan besar dan hebat yang tidak mudah diketahui. Karena itu, pada hakikatnya penggunaan ungkapan tersebut berkaitan dengan Lailatul Qadar dan menunjukkan pula kehebatan malam itu serta hakikatnya yang tidak mudah diungkap kecuali dengan bantuan ilahi. Wallahu a’lam.

Kontributor

  • Senata Adi Prasetia

    Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Penikmat kajian keislaman, pendidikan Islam, pemikiran dan filsafat Islam, sosiologi dan studi al-Quran.