Pada dasarnya, mengikuti mazhab adalah suatu
keharusan bagi kita. Namun persoalan yang tengah ramai, apakah boleh atau tidak
mengikuti lebih dari satu mazhab dalam satu waktu sekaligus?
Berkaitan dengan ini, ulama telah memberikan syarat-syarat
agar mengambil pendapat mazhab lain diperbolehkan,
yaitu:
·
Mengetahui
persoalan masalah mazhab lain yang ia ikuti secara detail seperti syarat, rukun
dll.
·
Pendapat
mazhab lain yang ia ikuti tidak bertentangan dengan fatwa hakim di dalam mazhab
yang sedang ia anut.
·
Tidak
hanya mengikuti pendapat hukum yang ringan saja.
·
Tidak
membuat-buat pendapat baru dengan menggabungkan dua perkataan ulama mazhab.
·
Tidak
mengambil perkataan satu imam
dalam sebuah persoalan, kemudian
dia mengaplikasikan dengan mengambil perkataan yang sebaliknya.
Sebagai contoh, Ahmad bermazhab Syafi’i, kemudian
dia berwudhu dengan tata cara mazhab Syafi’i. Akan tetapi, dia ingin mengambil
pendapat mazhab Maliki dalam hal yang tidak membatalkan wudhu, yaitu
bersentuhan dengan lawan jenis tanpa syahwat. Hal ini tentunya adalah perbuatan
yang batil (tidak sah) menurut ulama manapun. Karena di dalam mazhab Syafi’i,
bersentuhan dengan lawan jenis yang sudah besar balig tanpa penghalang akan membatalkan
wudhu secara mutlak. Alasan lain, karena dia tidak berwudhu sesuai tata cara mazhab Maliki, yaitu dengan membasuh
seluruh kepala.
Selain itu, dibentuknya syarat-syarat ini
adalah demi membatasi dan menjaga diri kita dari menyepelekan hasil ijtihad
para ulama mazhab, atau dalam kata lain, untuk menjaga adab serta akhlak kepada
para mujtahid. Namun, daripada beralih kepada pendapat mazhab lain, akan lebih
baik jika kita tetap mengikuti ulama mazhab kita, walaupun pendapatnya adalah
dhaif (lemah).
Dan yang sekarang marak di kalangan khayalak ialah
persoalan bahwa orang awam itu tidak memiliki mazhab. Maksud dari perkataan tersebut
adalah bahwa mereka tidak diwajibkan untuk menetap pada satu mazhab tertentu.
Dan hal ini diperbolehkan jika dalam masalah ibadah, beda halnya dengan
permasalahan akidah. Karena dalam akidah, seorang awam yang tidak mumpuni dalam
memperdalam ilmu dibolehkan untuk taqlid, sedangkan jika ia termasuk orang
mumpuni dalam hal tersebut maka tidak diperbolehkan atau tidak sah taqlidnya.
Imam Qoffal menyatakan bahwa orang awam pasti
memiliki mazhab tertentu. Sedangkan Imam Ibnu Hajar di dalam kitab At-Tuhfah
menyebutkan bahwa orang awam tidak wajib mengikuti mazhab tertentu, karena dia
memiliki mazhab tersendiri. Dan inilah pendapat yang paling benar.
Imam Al-Karmani berpendapat bahwa tidak sah
menisbatkan orang awam kepada mazhab tertentu, walau dia mengaku sebagai pengikut
suatu mazhab. Karena dalam mengikuti mazhab, dia harus mengetahui mana pendapat
yang lebih unggul dan mana pendapat yang dhaif (lemah) dalam mazhabnya sendiri.
Sedangkan orang awam tidak sanggup mengetahui hal tersebut dikarenakan tiada
ilmu yang membantunya.
Hukum Ibadah dan Muamalah Orang Awam
Hukumnya adalah sah secara mutlak, jika dalam
semua amalan ibadah dan muamalahnya masih dalam koridor salah satu pendapat 4 mazhab.
Namun ada yang berpendapat, bahwa tidak sah secara mutlak (menyeluruh). Akan
tetapi sah hanya dalam muamalah saja, bukan ibadah. Karena di dalam ibadah,
semuanya membutuhkan niat dan orang awam tidak mengetahui wajibnya niat dalam
hal tersebut. Wallahu a’lam bisshawab.
Referensi:
Bughyatul Mustarsyidin, Abdurrahman bin Muhammad
bin Husein Al-Mashyur.
I’anatut Thaalibin ala Hilli Alfadhzi Fathil
Mu’in, Abu Bakar Usman bin Muhammad Syata’.
Tuhfatul Muhtaj ala Syarh Al-Minhaj, Imam Ibnu
Hajar Al-Haitami.