Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Fatima Mernissi dan Budaya Masyarakat Maroko (bagian 3)

Avatar photo
32
×

Fatima Mernissi dan Budaya Masyarakat Maroko (bagian 3)

Share this article

Di atas kita telah melihat beberapa tokoh yang mempengaruhi pemikiran Fatima Mernissi. Namun demikian, hal yang tak bisa dinaifkan juga adalah pentingnya melihat sosio-kultur yang melingkupi kehidupannya.

Sebab diakui atau tidak, latar belakang sosio-kultur juga memiliki pengaruh yang cukup signifikan di dalam membentuk pola pikir seseorang tak terkecuali Fatima Mernissi. Seperti perkataan kaum realis dalam tradisi pemikiran filsafat barat bahwa, pemikiran manusia ibarat kertas kosong bila tidak bersentuhan dengan realitas yang ada. Satu contoh misalnya, apa yang telah dialami Imam Syafi’i saat merespon pelbagai persoalan hukum Islam yang kemudian melahirkan rumusan pemikiran fiqih, yang kita kenal dengan qaul qodim dan qaul jadid.

Demikian pula yang terjadi dengan Fatima Mernissi, bahwa pemikirannya tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak berangkat dari ruang kosong. Di samping dipengaruh oleh beberapa tokoh, juga tidak bisa dipisahkan dari sosio-kultur kehidupannya kala itu.

Sebagai seorang wanita yang lahir di sebuah harem pada 1940 di kota Fez, sekitar lima ribu kilo meter di sebelah barat Makkah dan seribu kilo meter di sebelah timur kota Madrid, Mernissi dibesarkan di tengah situasi kacau pasca perang teluk. Dalam situasi demikian, ia kerap menyaksikan kaum perempuan meneriakan kekhawatirannya lebih keras ketimbang di negara lain. Mereka sering kali berperan sebagai pengambil inisiatif pertama untuk turun jalan menuntut perdamaian.

Dengan kondisi seperti itu, Fatima Mernissi menilai bahwa masih lebar jurang ketidakadilan gender dalam masyarakat. Kesadarannya pada ketidakadilan gender dalam dunia Islam diungkapkan dalam bukunya yang berjudul Beyond The Veil Male-Female Dynamic in Modern Muslim Society. Mernissi mengungkapkan: “Pada prinsipnya, ajaran Islam mengajarkan persamaan kedudukan antara lakilaki dan perempuan. Ketidak-samaan yang muncul bukanlah bersumber dari suatu ideologi yang membenarkan sifat inferioritas perempuan, melainkan akibat dari lembaga-lembaga sosial tertentu yang dibentuk untuk membatasi kekuatannya, yang di dalamnya termasuk pemisahan dan subordinasi legal dalam struktur keluarga.

Kritik Fatima Mernissi atas Budaya Masyarakat Maroko

Fatima Mernissi dalam tulisannya menyatakan kebudayaan masyarakat Maroko terlalu memandang rendah kaum perempuan. Misalnya saja, dalam mencintai seorang perempuan digambarkan sebagai orang sakit mentalnya, suatu keadaan jiwa yang cenderung merusak diri sendiri. Bahkan, tanpa sungkan mereka mereka menyatakan bahwa tatanan masyarakat muslim sesungguhnya menghadapi dua ancaman, yaitu orang-orang kafir dari luar negara dan kaum perempuan. Menurut Mernissi, budaya seperti ini merendahkan dan menghina kodrat dan martabat kaum perempuan, yang secara potensial diciptakan sama dengan laki-laki.

Tak hanya itu, ia juga mengkritisi UU Negara Maroko tentang poligami. Bagi Mernissi, UU tersebut telah memberikan ruang yang sangat besar terhadap kaum lelaki untuk beristri lebih dari satu. Padahal, Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa untuk berpoligami ada syarat yang harus dipatuhi yaitu berlaku adil. Tujuannya adalah untuk membatasi poligami tersebut.

Kritikan lainnya juga terhadap UU tersebut menyangkut aturan dalam hubungan suami istri yang tidak memberikan ruang bagi istri. UU Maroko tahun 1957, telah menetapkan hak dan kewajiban diantara keduanya. Namun, dalam tahab pengimplementasinya nampak berat sebelah, seorang suami suami tidak memiliki kewajiban moral terhadap istrinya. Istri juga tidak biasa mengharapkan kesetiaan dari suaminya. Yang ada hanyalah kepatuhan dan ketaatan istri terhadap periintah suami. Ini sekaligus mendapat pembenar dari tatanan sosial masyarakat Maroko untuk memerintah bukan mencintai.

Selain itu, budaya yang melarang perempuan untuk terlibat dalam ruangan atau tempat kerja yang hanya disediakan untuk lelaki. Jika seorang perempuan memaksa untuk masuk ruangan atau tempat kerja tersebut, maka stigma perusak kehidupan lelaki akan melekat padanya. Bahkan, dengan ekstrim mereka menyatakan perempuan tersebut telah merusak tatanan Allah dengan mengundang laki-laki untuk melakukan perbuatan jahat. Pelbagai contoh ketidakadilan yang dialami perempuan Maroko khususnya, dan Islam umumnya, yang kesemuanya itu menurut Mernissi berakar dari tradisi keislaman yang sesungguhnya sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman.

Di tengah kondisi demikian, menurut Mernissi diperlukan suatu usaha untuk melakukan pembaharuan terhadap lembaga-lembaga social agar tercapainya kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, laiknya ajaran Islam. Semua ini tidak lepas dari penghormatan terhadap demokrasi dan HAM yang menghendaki persamaan jenis kelamin, ras dan status yang merupaka subtansi dari ajaran Islam itu sendiri. Dalam usahanya untuk mencapai itu semua Mernissi kerap terlibat dalam pelbagai forum diskusi dengan para intelektual dari pelbagai aliran dan bangsa yang secara bersama-sama mengambil posisi menentang perang dan misis perdamaian serta kesetaraan.

Kendati sudah dilakukannya pembaharuan-pembaharuan hukum keluarga pada tahun 1992, namun masih ditemukannya aspek-aspek yang mendiskreditkan kaum perempuan entah dari segi hukum maupun budaya. Bertolak dari sinilah kemudian Mernissi mengungkapkan kekecewaannya atas situasi perempuan di Maroko:

“Yang terjadi dan masih menjadi isu besar di Maroko bukan ideologi inferioritas perempuan, melainkan seperangkat hukum dan adat yang menjaga agar status perempuan tetap di bawah. Yang pertama hukum keluarga yang didasarkaan pada otoritas laki-laki. Walaupun banyak pranata telah dilepaskan dari control hukum agama (misalnya perjanjian/kontrak bisnis), tetapi hukum keluarga tidak…Maroko mengklaim dirinya sebagai negar modern, Arab dan Muslim sebagai modern, Maroko adalah penanda tangan Deklerasi HAM PBB yang pasal 16-nya menyatakan “Laki-laki dan perempuan, tidak pandang ras, bangsa dan agama, yang telah mencapai usia balig, mempunyai hak untuk nikah dan membagun keluarga. Merekah mempunyai hak yang sama mengenai status yang berkenan dengan pernikahan, dalam dalam pernikahan dan pembubarannya.

Apa yang telah dipaparkan di atas, Mernissi menilai bahwa salah satu faktor yang menjadi penghambat Islam adalah terlalu mengagungkan masa lampau, yang diterapkan kepada kehidupan masa kini, akibatnya menutup diri terhadap pemikiran baru. Untuk itu, menurut dia umat Islam perlu membuka diri dengan menafsirkan ulang masa lampau yang bersumber dari tradisi Islam itu sendiri.

 

Baca juga: 

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.