Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Fikih tradisional dalam pusara modernitas

Avatar photo
58
×

Fikih tradisional dalam pusara modernitas

Share this article

Diakui atau tidak, fikih merupakan hasil peradaban dan kekayaan intelektual muslim masa lalu. Fikih -dalam bentuk disiplin ilmu yang terkodifikasi- sudah menemani perjalanan umat Islam sejak era Abbasiyah. Pada perkembangannya tentu ada pelbagai elaborasi dan transformasi. Tidak dimungkiri lagi fikih mampu memainkan peran penting dalam dinamika sosial-politik masa itu. Asusmsi tentang produk fikih yang dibangun dari nalar teks (Al-Qur’an dan Hadis) adalah asumsi yang tidak salah, namun teks adalah prosedur awal dalam penentuan hukum, pada tahap berikutnya fikih juga melibatkan realitas kontekstual. Hasil pergumulan antara teks dan konteks inilah yang melahirkan banyak produk fikih.

Salah satu pergumulan teks dan konteks di dalam fikih adalah transformasi mekanisme pengangkatan pemimpin dari ikhtiyâr (pemilihan oleh dewan semacam MPR) menjadi al-qahru (militokrasi), yakni pemimpin yang naik tahta melalui kudeta atau kemenangan perang dengan angkatan militer sebagai instrumennya. Generasi muslim awal hanya mengenal dua mekanisme pengangkatan pemimpin: ikhtiyâr (pemilihan) dan istikhlâf (penunjukkan oleh pemimpin sebelumnya). Istilah al-qahru atau istiylâ` baru dikenal sejak Abdul Malik bin Marwan berhasil mengkudeta kepemimpinan Abdullah bin Zubair.

Sejak Indonesia merdeka pola pembacaan fikih di negara ini terlihat cenderung stagnan. Meski terdapat beberapa pembaca fikih yang produktif seperti K.H Sahal Mahfudz, K.H. Ahmad Siddiq, dan sebagainya, tetapi fenomena berfikih di Indonesia lebih didominasi oleh para pembaca fikih permukaan saja (tekstual).

Mereka hanya membaca produk fikih yang sudah jadi tanpa analisis konteks budaya, politik, sosial, dan perkembangan ekonomi konvensional. Ada banyak faktor yang menjadikan fenomena tersebut muncul ke permukaan sosial. Mungkin salah satunya adalah jargon “pintu ijtihad telah tertutup”. Disadari atau tidak pola pembacaan fikih seperti ini telah berhasil menempatkan fikih klasik pada wilayah sakral yang tidak membuka ruang telaah ulang, baik dalam bentuk revisi, revitalisasi, dan yang lainnya.

Oleh sebagian kelompok, pola pembacaan fikih seperti itu dianggap sebagai faktor kemunduran. Mereka menilai tantangan zaman tidak bisa diselesaikan dengan mengandalkan fikih klasik. Bagi kelompok ini produk fikih masa lalu sudah dalam fase kadaluarsa. Tersebab, fikih tradisional hanya terikat dengan masanya. Tanpa basa basi mereka menanggalkan fikih dan melakukan oksidentalisasi wacana untuk menyesuaikan tuntutan zaman.

Dualisme paradigma berfikih di Indonesia sejatinya menandakan kekakuan dan frustasi dalam menghadapi perubahan zaman. Kelompok pertama terlalu percaya diri dengan kesempurnaan produk fikih tradisional hingga menutup mata dengan perubahan zaman. Kelompok kedua seperti orang yang tidak pernah menemukan jawaban memuaskan dalam memenuhi kebutuhan zaman hingga mengambil langkah oksidentalisasi.

Memang benar, permukaan kitab kunig sudah terlihat usang sehingga tidak sesuai dengan fenomena kekinian. Sebagai contoh, konsep perbudakan yang sudah dihapuskan oleh dunia internasional puluhan tahun lalu masih eksis di dalam literatur fikih seperti Fathul Qarib. Kelihatannya, mengajarkan materi perbudakan sudah tidak bermanfaat bagi generasi sekarang.

Namun, jika dibaca dengan pola metodologis asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Perbudakan memang sudah dihapuskan, hanya saja nilai-nilai konseptualnya tidak sepenuhnya usang. Ada beberap masalah kontemporer yang masih bisa dirujuk ke dalam bagian-bagian pembahasan budak (riqq).

Seperti masalah Perseoran Terbatas (PT) yang memegang prinsip tanggung jawab pemilik saham terbatas pada saham yang dimiliki. Dalam fikih tradisional, masalah ‘pembatasan tanggung jawab dalam wilayah transaksi finansial’ sudah pernah dibahas lewat kasus budak yang tidak diberi wewenang mengalokasikan hartanya berhutang melebihi harga jualnya sendiri. Menurut salah satu mazhab fikih (Hanbali) tanggung jawab pemilik budak terbatas pada hutang yang sesuai harga si budak saja, selebihnya adalah urusan pribadi si budak. 

Di sisi lain ada banyak nilai-nilai universal, seperti ma`âlâtul af’âl, yang masih relevan untuk membangun solusi problematika aktual. Secara sederhana ma`âlâtul af’âl adalah membentuk rumusan hukum dengan memepertimbangkan unsur-unsur manfaat di masa depan. Salah satu permasalahan yang dibangun dengan konsep ini adalah larangan mengihna Tuhan agama lain, seperti ditegaskan di dalam Al-Qur’an surat Al-An’am:108. Al-Qur’an dengan tegas mengingkari Tuhan selain Allah, namun Al-Qur’an juga mencontohkan bagaimana membuat kebijakan yang futuristik untuk menjaga stabilitas sosial.

Bagi sebagian pembaca mungkin masalah tersebut adalah salah satu contoh sad-adzarâi`, namun dalam pembacaan komparatif asumsi ini secara tidak disadari menandakan bahwa mazhab syafii yang tidak memakai sad-adzarâ`i’ tidak setuju dengan ayat tersebut. Sad-adzrâ`i, istiḥsân, dan murâ’âtul khilâf adalah varian dari ma`âlâtul af’âl. Artinya, mereka yang tidak mau menggunakan sad-dzarâ`i’ memiliki konsep lain yang setara, dimana konsep-konsep tersebut dipayungi oleh konsep besar yang disebut ma`âlâtul af’âl.

Di dalam kitab kuning tidak sedikit masalah fikih yang dibangung dengan konsep ma`âlât. Jika ditelisik dengan teliti setiap jual beli yang mengandung penipuan, seperti menjual hewan yang masih di dalam kandungan ibunya, merupakan salah satu representasi asas ma`âlât. Tersebab, jual beli tidak hanya dibangun dengan kepercayaan bersama (ridha bir ridha), lebih dari itu, jual beli merupakan salah satu media mencapai pemerataan ekonomi. Sedangkan penipuan adalah salah satu unsur yang menghambat tujuan tersebut.

Problem pembaca kitab kuning

Jika mau objektif, stagnasi fikih dalam menjawab tantangan zaman tidak terletak pada materinya. Sumber stagnasi tersebut sebenarnya ada pada pola pembacaannya. Kealpaan “telaah ulang” terhadap “bangunan epistemologi fikih” adalah sentral dari kekurangan kita sebagai para pembaca fikih. Secara umum ada dua hal besar yang perlu diperhatikan para pegiat literatur fikih:

Pertama, perlunya studi komprehensif. Yang dimaksud studi komprehensif adalah studi multidisipliner dengan melibatkan metodologi beragam. Hal ini  sangat urgen mengingat karakter fikih sebagai respon amaliah mukalaf. Tentunya aspek amaliah tidak hanya seputar ibadah, ia meliputi wilayah transaksi finansial, perdata, politik dan sebagainya.

Fungsi dari keragaman metodologi adalah untuk menciptakan formulasi hukum yang holistik dan futuristik. Sebagai contoh, mayoritas tatanan negara modern yang memakai konsep trias politika. Realitas ini menimbulkan beberapa masalah baru seperti kepemimpinan wanita dalam satu negara. Meskipun kasus-kasus seperti itu sudah pernah dibahas oleh fikih klasik, namun konteks politiknya berbeda. Jika para pembaca fikih melengkapi pendekatan fikihnya dengan ilmu politik modern niscaya mereka akan membedakan antara konsep imâmatul ‘udzma yang dibangun dengan asas pemimpin personal (sakhṣiyyah ṭabiy’iyyah) dan trias politika yang dibangun dengan institusi kelembagaan (syakhṣiyyah i’tibâriyyah).

Tanpa pendekatan ekonomi modern, politik modern, filsafat klasik-modern, sosiologi, dan sebagainya, fikih akan kehilangan esensinya. Dari mana kasus ini berasal, mengapa, dan apa motif di balik kemunculan kasus terebut? Pertanyaan-pertanyaan demikian tidak boleh dilewatkan sebelum menjawab problem aktual. Pengharaman Facebook oleh beberapa pegiat fikih di awal kemunculannya menjadi salah satu bukti hilangnya pertanyaan-pertanyaan tersebut. Model pengharaman seperti ini mungkin tidak akan terjadi jika para pembaca fikih memahami realitas dunia digital.       

Kedua, perlunya studi komparatif-kritis. Diakui atau tidak, fikih adalah ilmu yang kaya akan perspektif. Di dalam satu mazhab fikih saja terkadang ada dua hingga tiga pendapat, belum lagi jika dikalkulasi dengan lintas mazhab. Kekayaan perspektif fikih seharusnya menjadi perhatian para pembaca fikih sebagai salah satu pertimbangan penyelesaian problem kekinian. An-Nawawi sendiri pernah mencontohkan langkah ini dalam masalah jual beli tanpa akad (bai’ul mu`âṭah).

Studi lintas mazhab sangat bermanfaat untuk menentukan formulasi fikih yang realistis dan dinamis jika dipadukan dengan pembacaan kritis. Artinya, rumusan fikih di luar mazhab syafii, misalnay, bukan sekadar respon terhadap masalah yang tidak ditemukan hukumnya     di dalam mazhab. Tetapi ia juga memiliki jangkauan diskursif yang kontekstual dan sesuai kebutuhan zaman. Barangkali, sebagai warga Indonesia dengan tradisi amaliah fikih syafii kita akan mencukupkan diri dengan formulasi hukum syafiiah dalam satu permasalahan, tanpa melibatkan analisis konteks yang sesuai. Pola demikian tidak jarang melahirkan rumusan yang menciderai tatanan sosial sendiri. 

Sebagai contoh, hak kepemilikan lahan kosong yang dihidupkan oleh seseorang. Jika masalah ini dibaca dengan fikih syafii tentu negara tidak bisa melarang orang tersebut untuk memiliki hak tanah, sebab hak kepemilikan lahan kosong adalah hak bagi mereka yang menemukan dan mengelolanya. Di sisi lain, menurut fikih hanafi pemerintah bisa mengatur sepenuhnya tata kelola lahan kosong. Jika rumusan fikih syafii diterapkan untuk zaman sekarang yang memegang prinsip ekonomi kapitalis, niscaya perusahaan korporasi akan semakin mudah mendapatkan tempat. Hal ini justru dapat menimbulkan lebih banyak sisi negatif dibanding sisi positifnya.  

Dua studi di atas (komprehensif dan komparatif-kritis) merupakan langkah yang sering terlupakan. Padahal keduanya sudah menjadi tradisi ulama klasik sebelum merumuskan hukum fikih. Harus diakui, di zaman praktis seperti sekarang ini sulit menemukan seseorang yang memiliki kepakaran multidisipliner. Namun, persoalan ini bisa diantisipasi dengan mendatangkan pakar dari bidangnya masing-masing. Bukankah ulama kontemporer sudah sering mewacanakan ijtihad komunal yang mereka sebut dengan istilah ijtihad jamā’iy?

Kontributor

  • Hadi Abdul Fattah

    Santri asal Cirebon. Penikmat kopi, kebijaksanaan, dan Syair Arab. Dapat dihubungi melalui IG: @hadi_abd.fattah