Sementara kalangan Muslim beranggapan negatif terhadap Filsafat dengan berbagai sebab dan alasan. Salah satu alasan yang paling primordial adalah karena Filsafat merupakan “barang impor” yang didatangkan dari luar Islam. Ada juga yang berasumsi Filsafat itu identik dengan pemikiran-pemikiran nyeleneh, membuat orang yang mempelajarinya menjadi tidak waras, sesat dan menyesatkan.
Berangkat dari situ, penulis akan menguak sebisa mungkin sisi lain dari Filsafat yang jarang diketahui dan kiranya perlu diketahui oleh banyak kalangan. Betulkah Filsafat itu sesuatu yang baru dalam Islam? Dan acap kali orang yang bergelut dalam bidang tersebut tergolong orang-orang yang sesat dan merugi? Memang bukan hal mudah untuk menjawab dua pertanyaan itu, namun penulis akan berusaha menyajikan sebuah jawaban historis-realistis dari berbagai sumber dan referensi.
Filsafat Islam merupakan tema besar yang dikaji, dipelajari dan dikritisi oleh sarjana Barat maupun Timur. Bukan itu saja, Filsafat Islam sudah menjadi bidang studi lazim di berbagai universitas di belahan dunia, termasuk di Universitas Indonesia (UI).
Ada satu soal yang menarik terkait pembahasan ini yaitu, apakah Islam sebagai agama memiliki naluri berfilsafat? Dengan kata lain, apakah Filsafat itu murni ada di dalam tubuh kaum muslimin?
Seorang orientalis abad dua puluh asal Belanda T.J. De Boer yang notabenenya Profesor di universitas Amsterdam secara eksplisit menjelaskan dalam bukunya berjudul History of Philosophy in Islam dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh sarjana Muslim Mesir, Profesor di Cairo University Muhammad Abdul Hadi Abu Raidah dengan judul Tarikh al-Falsafah fi al-Islam. Di situ De Boer menjelaskan bahwa Filsafat Islam itu bersifat “Copy Paste” yang senatiasa comot sana-sini, dan kitab-kitab Filsafat Yunani yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab-lah yang menjadi sumber utama para filsuf muslim.
Masih menurut De Boer, dalam Filsafat Islam tidak ada suatu inovasi baru, sehingga hampir tidak bisa dikatakan bahwa di luar sana ada yang namanya Filsafat Islam. Satu abad sebelumnya, sebuah tuduhan serupa sudah tiba lebih dulu lewat orientalis Renan yang mengatakan bahwa Filsafat Arab (baca: Islam) tidak lain tidak bukan hanyalah sebuah dongeng dan imitation, tiruan dari pemikiran-pemikiran Aristoteles dan Yunani yang ditulis ke dalam bahasa Arab. Dari kalangan muslim sendiri ada yang mengatakan sebagaimana apa yang dikatakan Renan, sejarawan besar muslim Ibnu Khaldun dan sarjana muslim pakar sekte-sekte Islam Asy-Syahrastani misalnya.
Judgment yang dilayangkan De Boer terhadap Filsafat Islam jelas merupakan suatu kezaliman. Walaupun pada nyatanya tidak ada di panggung sejarah suatu Filsafat atau suatu Pemikiran yang bersifat independen alias berdiri sendiri, bahkan Filsafat Yunani sendiri nir-independen.
Baca juga: Al-Farabi: Filsuf Kazakhstan Penyambung Filsafat Islam dan Barat
Kendati demikian Filsafat Islam memiliki ciri khasnya tersendiri. Sebab pada dasarnya setiap Filsafat itu memiliki watak, bentuk dan karakternya masing-masing di dalam warisan intelektual manusia. Kurang lebih seperti itu komentar penerjemah, Prof. Abdul Hadi. Sebuah komentar yang berintrik Counter-Attack terhadap De Bour.
Apa yang dikatakan Prof. Abdul Hadi itu betul bahwa setiap Filsafat memiliki corak pemikirannya masing-masing, bahkan Filsafat Yunani sendiri terintervensi berbagai macam peradaban; Mesir kuno, Babel (Kerajaan kuno di Tigris dan Eufrat) dan Persia.
Adapun Judgment yang mengatakan Filsafat Islam merupakan imitasi dari Yunani terkesan terlalu tergesa-gesa, demikian menurut Grand Syekh Al-Azhar Mesir Prof. Mustafa Abdurraziq yang notabenenya filsuf besar Muslim juga. Sebab masyarakat Arab di masa Khalifah Al-Makmun (811-833 M) sudah terbiasa mangkaji dan mengkritisi kitab-kitab Yunani. “Sampai pada taraf cukup memuaskan, mampu mengimbangi pemikiran mereka, bahkan sukses memfiksasi kerancuan sebagian pemikiran mereka (filsuf Yunani).” kata Abdurraziq.
Seorang sejarawan Lebanon Philp K. Hitti dalam bukunya History of The Arabs menuliskan bahwa kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah lebih dahulu mapan dalam masyarakat Muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Semisal Fiqh (Yurisprudensi) dan Kalam (Teologi) telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam. Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode Istinbath dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (w.767 M), Malik (w.796 M), Asy-Syafi’i (w.820 M), Ibnu Hanbal (w.855 M), hidup sebelum kedatangan Yunani.
Baca juga: Kitab Al-Akhlaq Aristoteles Eticha Nicomachea
Carra De Vaux dan S. Munk orientalis senior sekaligus guru De Bour, justru memiliki sikap berseberangan dengan sang murid De Bour. Keduanya malah menyatakan bahwa masyarakat Muslim jauh sebelum era penerjemahan ‘Asru al-Tarjamah sudah memiliki flsafat. Filsafat ini sudah menjadi tema klasik penting di kalangan Muslim sebelum mereka mengenal filsafat Grecce.
Tema-tema pokok berbau metafisik seperti manifestasi Tuhan dan monoteisme, keazalian dan keabadian Tuhan, kesempurnaan, kekuasaan dan kealiman Tuhan, dan kemustahilan atau kemungkinan melihat-Nya dengan panca indera. Juga seperti tema kekal atau tidaknya ruh, ada tidaknya kehidupan setelah mati dan hari pembalasan, dan tema lainnya yang terkesan rumit, yang ternyata juga dibahas dan digandrungi oleh para filsuf Yunani di madrasah Elliya’. Semua pokok pembahasan dialektis tersebut terkenal dengan sebutan Ilmu Kalam, adapun orang yang bergelut dalam bidang itu disebut sebagai Mutakalimin.
Kemudian bagaimana dengan orang yang bergelut dalam bidang Filsafat?
Seorang sarjana muslim terkemuka juga eksponen al-‘Asyari sekaligus argumentator Islam dan kaum muslimin Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w.1111 M) dalam kitab monumentalnya berjudul Ihya ‘Ulumuddin pernah menyinggung masalah ini. Namun, sebelum itu beliau mengklasifikasi Filsafat ke dalam empat kompenen: pertama, Arsitek dan Matematika. Kedua, Ilmu Logika. Ketiga, Ilmu Ketuhanan (metafisika). Keempat, Ilmu Fisika.
Baca juga: Pengaruh Musik pada Psikologi Manusia dalam Pandangan Al-Ghazali
Selanjutnya beliau menganalogikan orang yang bergelut dalam bidang Filsafat, khususnya Ilmu Kalam yang menggunakan metode jidal (dialektika) dengan seorang pengawal (al-Badzriqoh) yang mengawal orang-orang pergi berangkat haji ke Baitullah saat itu abad kelima Hijriah.
Jika al-Badzriqoh mengawal jemaah haji dari ancaman musuh, maka al-Mutakalimin (filsuf muslim) mengawal orang-orang awam dari pemahaman-pemahaman yang berbau bid’ah dan sesat. Maka hukum mempelajari Filsafat atau Ilmu Kalam masuk dalam Fardu Kifayah, tidak semua muslim wajib mempelajari ilmu Filsafat dan pandai berdialektika, sebagaimana tidak semua orang mesti berprofesi sebagai pengawal jemaah haji. Wallahu’alam bi ash-Shawab.