Kita tahu, bahwa khilafah Utsmaniyah adalah salah satu khilafah besar yang bertahan sampai awal abad 20. Khilafah Utsmaniyah adalah khilafah politik yang menyatukan seluruh wilayah Islam dari ujung ke ujung. Kiai-kiai kita yang belajar di Hijaz, Mekkah dan Madinah pada akhir abad 19 awal abad 20, termasuk Syekh Mahfudz al-Tarmasi, mereka hidup di bawah khilafah Utsmaniyah.
Demikian juga Walisongo hidup di bawah kekhilafahan Utsmaniyah (atau diujung kekhilafahan Mamluk di Mesir dan kemudian diteruskan dengan khilafah Utsmaniyah). Mataram Islam yang berpusat di Jogja kemudian pecah jadi dua Solo dan Jogja, juga hidup di bawah kekhalifahan Utsmani. Itu artinya, kata Gus Ulil, orang Jawa Itu punya hubungan yang cukup erat dengan kekhilafahan Utsmani.
Secara politik, kekhalifahan Utsmani runtuh pada tahun 1923. Akan tetapi, kekhilafahan ini masih berlanjut sampai sekarang di Indonesia. khilafah Ustmaniyah ini di dalamnya ada dua hal: pertama, ada unsur politik yaitu negara (khilafah siyasiyah), kedua, ada khilafah yang bersifat tsaqafiyah madaniyah (khilafah berupa kebudayaan dan peradaban).
Salah satu isi khilafah peradaban adalah peradaban ilmu pengetahuan. Dan, khilafah yang berupa ilmu pengetahuan ini masih berlanjut sekarang di Indonesia, Malaysia, Fatoni, Brunei Darussalam, Filipina bagian Selatan, Mindanau dan di tempat-tempat lainnya. Pertanyaannya adalah apa isi dari khilafah yang bersifat keilmuan itu?
Adalah khilafah yang berupa ilmu yang dulunya berkembang pada masa Turki Ustmani, dan sekarang masih diteruskan di pondok pesantren. Jadi segala ilmu yang sekarang diajarkan di pondok pesantren, mulai dari ilmu alat, nahwu, sharraf, balaghah, fikih, tafsir, hadits, tasawuf, arudh, kalam semuanya adalah ilmu yang dulunya berkembang salah satunya di masa Turki Utsmani.
Gus Ulil menegaskan, itu artinya, satu-satunya lembaga di Indonesia yang mewarisi peradaban ilmu ini adalah pondok pesantren. Tidak ada lembaga lain di Indonesia yang mewarisi ilmu ini selain pesantren. Salah satu ilmunya zaman Turki Utsmani yang sebagian masih lekat diajarkan di pondok-pondok pesantren adalah, kitab tauhid dalam aqidah Asy’ariyah judulnya “Al–Husunul Hamidiyah”. Kitab ini dikarang atau ditulis pada zaman Sultan Abdul Hamid.
Sekali lagi, pondok pesantren walaupun kiai-kiainya menolak khilafah secara politik karena kita sudah punya NKRI, akan tetapi kita ini masih melanjutkan tradisi khilafah dalam bentuk yang lain, yaitu ilmu pengetahuan.
Rupa-rupanya, thariqah yang populer di kalangan warga Nahdliyin yaitu Thariqah Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Syekh Bahauddin an-Naqsyabandi, berdiri pada era Turki Utsmani. Tujuan thariqah ini didirikan adalah “untuk mengislamkan keluarga istana”, supaya warga istana bangsawan-bangsawan Turki Utsmani mereka tetap bisa hidup sesuai dengan aturan syariat Islam. Karena biasanya keluarga istana hidup dalam kememewah dan kadang-kadang meninggalkan syariat Islam.
Sementara itu, cabangnya Thariqah Naqsyabandiyah adalah Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah. Thariqah ini digagas oleh orang Nusantara, yaitu Syekh Ahmad Khatib as-Sambasi pada era Turki Utsmani yang juga hidup di akhir abad 19. Ia adalah seorang Ulama Sufi dari Tanah Air yang Masyhur di Mekkah Mursyid Kamil Mukammil, sekaligus Pengasas Perkumpulan Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Lalu apa kaitannya dengan NU?
Jadi NU ini, kata Gus Ulil, memang secara politik loyal kepada NKRI. Tetapi, secara kebudayaan dan peradaban ilmu pengetahuan, sebenarnya kita ini kelanjutan dari Turki Utsmani. Dan, yang berhak meneruskan Turki Utsmani ini ya kita (orang-orang pesantren) bukan teman-teman HTI, karena mereka tidak tahu-menahu soal ini.
Salah satu tradisi khilafah yang masih bertahan secara politik di Indonesia adalah sidang isbat. Ketika kita ngaji kitab fikih mengenai soal penentuan awal ramadhan, di dalam tradisi khilafah Islam dari dulu sejak dinasti Umayyah, Abbasiyah, Ayyubiyah, Mamlukiyah, Saljuk, Turki Ustmani, Mughal, dan seterusnya penentuan awal Ramadhan memakai sidang isbat.
Kenapa demikian? Karena menurut hukum fikih, hak untuk menentukan awal ramadhan itu ada di tangan seorang imam atau khalifah. Sementara khalifah menentukan awal ramadhan berdasarkan orang yang melihat rembulan yang kemudian disumpah oleh seorang qadhi. Setelah di sumpah, maka imam mengumumkan bahwa inilah awal ramadhan dan akhir ramadhan.
Lalu bagaimana jika ada orang yang berbeda pendapat karena menggunakan hisab? jawabannya dibolehkan. Di dalam fikih Syafi’iyah dikatakan boleh orang menggunakan hisab, tetapi dia tidak boleh mengajak orang lain, dalam hal ini hanya untuk dirinya sendiri. Karena penentuan awal ramadhan dan akhir ramadhan itu ada di tangan kekuasaan politik. Inilah yang masih diteruskan sampai sekarang. Jadi tradisi sidang isbat bukanlah hal baru, melainkan sudah dari dulu.
Sama. Walisongo adalah tokoh yang menyebarkan Islam di Nusantara yang hidup di era kekhilafahan. Mereka menyebarkan Islam di tanah Nusantara serta membawa ilmu-ilmu yang diwarisi oleh para ulama yang diajarkan di pondok pesantren.
Akhiran, inilah yang penting untuk diingat, bahwa pesantren dan warga nahdliyin yang mengembangkan ilmu-ilmu tradisional sebetulnya mewarisi ilmunya para ulama-ulama zaman dulu yang hidup pada zaman kekhilafahan. Inilah peradaban yang sesungguhnya. Pendek kata, tak ada yang patut kita sombongkan karena kita melanjutkan para ulama. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Isra’:
وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا
Artinya: “Dan kamu tidak diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit.” (QS. Al-Isra’ [17]: 85) Wallahu a’lam bisshawab.