Sudah menjadi tradisi bagi santri Tebuireng untuk berziarah ke maqbaroh Hadhrotusy Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Sejak dulu hingga hari ini tradisi itu tetap terjaga. Dan masyhur di kalangan santri Tebuireng bahwa sowan Muassis yang terbaik adalah dengan membaca surat al-Kahfi. Hal ini tentu berdasar cerita dari generasi ke generasi.
Dalam pandangan Guru Mulia kami, Dr. KH. Musta’in Syafi’i, di antara spirit yang melandasi kegemaran dan kecintaan Hadhrotusy Syeikh terhadap surat ini adalah harapan beliau agar santri-santri Tebuireng bisa menjadi hebat mengambil inspirasi dan pelajaran dari tokoh-tokoh yang diceritakan dalam surat al-Kahfi.
Setidaknya ada empat tokoh yang menjadi acuan para santri, ke depan hendak jadi apa dan harus bersikap seperti apa; pemuda yang kuat lagi hebat, milyarder, ulama cendekiawan dan pejabat.
Yang pertama adalah Ashabul Kahfi. Mereka adalah beberapa anak muda yang memiliki keimanan hebat. Keimanan ini hingga mencapai tingkat tiada memiliki ketakutan kecuali kepada Allah dan sangat meyakini akan adanya hari akhir. Melihat hal ini tentu dengan membaca surat ini kita dituntut untuk memperkuat ideologi kita.
Baca juga: Ada Doa Ibu di Balik Kealiman Imam Bukhari
Sebagaimana yang digariskan oleh Hadhrotusy Syeikh, acuan ideologi yang kita ikuti adalah Asy’ariyah sebagai wujud dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang kita ikuti. Lebih lanjut lagi Hadhrotusy Syeikh meletakkan penguatan ideologi ini dengan menjadikannya sebagai salah satu ilmu wajib yang harus dikuasai sebagai muslim.
Yang kedua adalah cerita seorang milyader yang berakhir bangkrut lagi sengsara lantaran kesombongan dan pengingkarannya terhadap nikmat Allah yang ada padanya. Dari cerita ini, seorang santri boleh menjadi kaya. Namun ideologi, fikih dan akhlaknya harus tetap terjaga.
Secara ideologi dia harus meyakini bahwa Ar-Razzaq adalah Allah. Kita hanya berusaha dan menerima sehingga syukur menjadi jawaban atas nikmat yang ada.
Secara fikih, kekayaan harus dicari dan dibelanjakan dengan cara yang sesuai dengan syariat Allah. Dan secara akhlak, ketergantungan terhadap harta harus ditiadakan sekalipun hidupnya bergelimang dengan harta kekayaan. Inilah urgensi kesatuan tiga ilmu dalam kehidupan kita; tauhid, fikih dan tasawuf. Demikianlah yang dituliskan Hadhrotusy Syeikh dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim.
Yang ketiga adalah cerita Nabi Musa dan Nabi Khidhir ‘alaihima as-salam. Beliau bisa diambil spirit dalam menuntut ilmu. Betapa sabarnya Nabi Musa mencari ilmu. Perjalanan panjang beliau lakukan berikut segala rintangan yang ada. Betapa sabar beliau mengikuti arahan dan menerima teguran demi teguran dari sang Guru dan sang Guru pun selalu mengawasi dan memberi arahan.
Baca juga: Sayyid Utsman Betawi dan Pengenalan Habaib di Nusantara
Sekalipun cerita ini ditutup dengan perpisahan murid dengan guru, namun keduanya adalah tokoh hebat dan panutan umat dengan ragam keilmuan yang berbeda. Keragaman ilmu menjadi informasi penting agar santri tidak segera merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya. Ngaji dan ngaji terus dilakukan di manapun dan kapanpun hingga ajal menjemput kita.
Inilah kiranya yang bisa kita pahami dari ungkapan Hadhrotusy Syeikh yang dikutip oleh M. Asad Syihab dalam karyanya, yaitu:
لا خير في أمة إذا كان أبناؤها جهلاء ولا تصلح أمة إلا بالعلم
Jika generasi penerus adalah orang-orang yang bodoh tiada kecakapan baginya maka umat akan binasa tiada kebaikan baginya. Umat ini bisa menjadi baik hanya dengan ilmu.
Yang ke empat adalah cerita Dzul Qarnain. Beliau sosok pemimpin yang baik lagi adil. Pemimpin yang melindungi dan membela kaum lemah lagi teraniaya. Pemimpin yang dengan ikhlas tanpa pamrih menghilangkan mara bahaya yang mengancam rakyatnya.
Dari kisah ini, seorang santri bukan pantangan baginya untuk penjadi seorang pemimpin atau pejabat. Asal ideologi masih kuat, fikih masih menjadi landasan kebijakan dan akhlak masih menjadi prioritas yang dikedepankan maka dia sangat layak menempati jabatan apapun.
Mari membaca surat hebat ini, pahami maknanya dan temukan inspirasinya. Li Hadhrotisy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari wa Ushulih wa Furu’ih wa Masyayikh Tebuireng al Fatihah.
Referensi:
1. Tafsir al-Wasith karya Prof. Dr. Syeikh Sayyid Tanthawi.
2. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Hadhrotusy Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
3. Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah karya Hadhrotusy Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
4. Al ‘Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari Awwal Wadhi Labinat Istiqlal Indonesia karya Muhammad Asad Syihab.
5. Ceramah Dr. KH. Musta’in Syafi’i.