Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Hafal Hadis Itu Keren

Avatar photo
21
×

Hafal Hadis Itu Keren

Share this article

Di masyarakat kita, para penghafal
hadis
kalah tenar dengan penghafal Al-Qur’an. Hal tersebut lantaran
ajakan kyai, ustadz, ulama serta guru agama untuk mendahulukan menghafal
Al-Qur’an dibandingkan hadis.

Nabi juga mengisyaratkan dan mendorong
umat Islam untuk menghafalkan Al-Qur’an.
Melalui sabdanya, Nabi menyampaikan salah satu keutamaan penghafal Al-Qur’an: “Bacalah
(hafalkanlah) Al-Qur’an! Sesungguhnya Al-Qur’an kelak akan menjadi syafaat bagi
penghafalnya di hari kiamat.”
 

Atau sabda lainnya: “Barang siapa
yang menghafal Al-Qur’an, mengkajinya, dan mengamalkannya, maka Allah akan
memberikan mahkota bagi kedua orang tuanya dari cahaya yang terangnya seperti
matahari.”

Di samping itu, gelar Hâfidhul Qur’ân
yang disematkan bagi penghafal al-Qur’an sudah familiar di telinga umat Islam.
Berbeda dengan sebutan Muhaddits yang belum melekat erat bagi para
penghafal hadis. Hal tersebut disinyalir karena jumlah ayat dan surat yang
dihafal dalam Al-Qur’an sudah pasti. Sedangkan jumlah hadis yang dihafal tidak pakem
karena tersebar di
banyak kitab
hadis
.   

Namun hafal al-Qur’an tanpa hafal hadis,
rasanya kurang keren. Kita lihat kecakapan para ulama terhadap pemahaman agama
lebih komprehensif saat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadis-hadis yang
mereka hafalkan. Sebab memahami ayat al-Qur’an tanpa penjelasan dari hadis akan
banyak ‘blunder’nya.

Di sini posisi menghafalkan hadis
menjadi penting. Hadis berfungsi mensupport pemahaman dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Maka dalam sumber Islam, hadis Nabi menempati urutan kedua setelah Al-Qur’an. Wajar
jika kemudian menghafalkan hadis menjadi sebuah keharusan bagi seorang ulama. Karena
hafalan hadis akan menempel erat dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an.

Secara otomatis, mereka yang Hâfidhul
Qur’an
juga bisa memiliki gelar lain dari bidang hadis dengan jumlah hadis
yang dihafalkannya.

Syamsuddin As-Syakhawi (831-902 H) dalam
kitab ‘Al-Jawâhir Al-Mukallalah fi al-Ahâdîts al-Musalsalah’ merinci gelar
yang diperoleh para penghafal hadis. Tidak hanya satu. Tapi ada beberapa
tingkatan gelar yang telah diklasifikasikannya.

Yang pertama, Amîrul Mukminîn fi al-hadîs. Gelar ini lebih
familiar dengan gelar politis yang dilekatkan kepada Khulafaur Rasyidin karena
memegang tampuk kekuasaan sepeninggal Rasulullah. Dalam ilmu hadis, Amîrul
Mukminîn
merupakan gelar
tertinggi. Mereka
adalah para khalifah yang senantiasa menyampaikan hadis-hadis
Nabi. Di antaranya yaitu Syu’ban bin Hujjaj (w. 160 H), Sufyan A
ts-Tsauri (w. 161 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Ishaq bin Rawahaih
(w. 238 H), Imam Bukhari (w. 256 H) dan Imam Muslim (w. 261 H).

Yang kedua, Al-Hâkim. Mereka adalah orang-orang yang menguasai ilmu-ilmu hadis, menghafalkan seluruh
hadis yang marwiyyah (diriwayatkan), baik matan (isi) maupun sanad
(jalur periwayatan)-nya. Serta mengetahui ta’dîl dan tarjîh-nya
para rawi. Al-Hâkim juga mengetahui sejarah perjalanan hidup para rawi,
guru-guru dan sifat-sifatnya yang dapat diterima maupun ditolak.

Mereka yang
masuk dalam kategori Al-Hâkim mampu menghafalkan lebih dari 300.000
hadits beserta sanad-nya. Di
antaranya ada Ibnu Dinar (w. 162 H), Imam Al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Imam
Malik bin Anas (w. 179 H) dan Imam Syafi’i (w. 204 H).

 Yang
ketiga
, Al-Hujjah. Mereka adalah para ahli hadis yang
menghafalkan kurang lebih 300.000 hadis. Mereka juga mampu menghafalkan matan,
sanad maupun perihal si rawi tentang
ta’dil, tarjih dan sejarah hidupnya. Para muhadditsîn yang
mendapatkan gelar ini di antaranya adalah Hisyam bin Urwah (w. 146 H), Abu
Hudzail Muhammad bin Al-Walid (w. 149 H), dan Muhammad Abdullah bin Amr (w. 242
H).

Yang keempat, Al-Hâfidz. Yang
termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang dapat men-shahih-kan sanad
dan matan hadis serta mampu men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan
rawinya. Mereka mempunyai kapasitas rata-rata dengan menghafalkan 100.000
hadis. Di antaranya adalah Ibn Daqiq al-‘Id (w. 702 H), Syarifuddin Al-Dimyati
(w. 705 H), Al-‘Iraqi (w. 806 H) dan Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H).

Yang kelima, Al-Muhaddits. Gelar
yang tidak asing di telinga kita semua, baik yang berkecimpung dalam penelitian
hadis maupun tidak. Rata-rata umat Islam menyematkan gelar ini bagi mereka yang
mumpuni dalam hadis.

Namun dalam ilmu Hadis, gelar ini secara
spesifik lebih disematkan kepada mereka yang dapat mengetahui sanad, illat,
nama-nama rawi dan memahami kitab-kitab hadis serta menghafal
sekurang-kurangnya 100 hadis. Ahli hadis yang mendapatkan gelar ini antara lain
Atha’ bin Rabbah (w. 115 H), Ibn Katsir (w. 774 H), Imam Az-Zabidi dan masih
banyak lagi.

Yang keenam,
Al-Musnid
. Gelar terakhir ini diperuntukkan bagi
mereka yang ahli dalam meriwatkan sanad, baik menguasai ilmunya ataukah tidak.
Dalam ilmu Hadis, gelar ini punya padanan yaitu Al-Thâlib (murid) dan Al-Mubtadi’
(pemula). Gelar terakhir ini diperuntukkan bagi pemula yang konsen dalam studi
hadis. Baik mulai hafalan dan memahami matan,
mempelajari nama perawi, meniliti sanad, serta istilah-istilah lain dalam ilmu
Hadis.

Dengan demikian, gelar untuk para
penghafal hadis jauh lebih banyak dibandingkan dengan penghafal al-Qur’an.
Alangkah bahagianya jika di antara umat Islam sekarang ini banyak bermunculan ahli
hadis yang mampu mencapai tingkat seorang al-Hafidz.
 Tentunya umat Islam akan terbantu dengan
banyak mendengarkan untaian sabda-sabda Nabi melalui lisan para al-Hafidz dalam ilmu Hadis.

Sependek pengetahuan penulis, jika definisi
Al-Muhaddits dan Al-Musnid dapat menjadi acuan dalam pemberian gelar, maka masih
banyak umat Islam saat ini yang berusaha untuk menjajaki gelar Al-Musnid dan Al-Muhaddits. Bagi penuntut ilmu, kedua gelar ini masih
memungkinkan untuk diraih. Walaupun akhirnya tidak ada penyematan gelar secara
akademik. Karena yang akan menilai adalah gurunya dan masyarakat yang mendapat
faedah dari hafalan hadisnya.

Mungkin Al-Muhaddits adalah gelar ‘mentok’ yang bisa diraih oleh umat Islam
yang ingin menghafalkan hadis. Untuk naik ke tingkat al-Hafidz, rasa-rasanya sangat berat karena harus menghafalkan
100.000 hadis. Jumlah yang fantastis jika dibandingkan dengan ayat Al-Qur’an
yang sebatas 6666 ayat.

Memperoleh gelar Al-Muhaddits
itu sangat keren. Karena mereka sudah ada usaha dalam menjaga sunnah-sunnah
Rasulullah. Dan Nabi memberinya jaminan: “Barang
siapa yang menjaga sunnahku, berarti dia mencintaiku. Dan barang siapa yang
mencintaiku, maka dia akan ditempatkan di surga bersamaku.
Wallâhu
a’lam bi
As-Shawâb.

Kontributor

  • Andi Luqmanul Qosim

    Mengenyam pendidikan agama di Ta'mirul Islam Surakarta dan Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai pengajar di Fakultas Syariah IAIN Salatiga dan Guru Agama di SMAN 1 Parakan Temanggung.