Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur dan
terpisah-pisah. Kurang lebih selama 23 tahun, disesuaikan dengan peristiwa dan
momentum. Tidak seperti Kitab-kitab suci sebelumnya yang diturunkan satu paket.
Oleh karena itu, orang-orang Yahudi dulu sering meminta Rasulullah saw. agar membawakan sebuah Kitab suci sekaligus dari langit,
layaknya Nabi Musa AS dengan Tauratnya. Di antara mereka yang meminta demikian
adalah Rafi’ bin Khuzaimah dan Wahb bin Zaid.
Bahkan ketika ada perubahan atau penghapusan suatu
hukum, atau yang dikenal dengan istilah nasakh, mereka berkomentar, “Coba
lihat Muhammad itu, ia memerintahkan sesuatu kepada sahabatnya, kemudian
melarang mereka melakukannya. Ia menyuruh mereka mengerjakan hal yang berbeda.
Hari ini ia mengucapkan sesuatu, tetapi besok ia mencabutnya. Al-Qur’an ini
isinya tidak lain adalah perkataan Muhammad sendiri, dan ia
mereka-rekanya.”
Padahal ada beberapa faktor atau hikmah dari proses
turunnya Al-Qur’an yang secara berangsur-angsur dan juga nasakh, di antaranya:
Pertama: Menerangkan prinsip pendidikan yang efektif,
yaitu bertahap dalam menetapkan hukum syariat, untuk memperbaiki keadaan
masyarakat jahiliyah Arab sedikit demi sedikit.
Kedua: Memperhatikan kemaslahatan manusia.
Ketiga: Agar memungkinkan untuk membersihkan
kebiasaan-kebiasaan dan tradisi nenek moyang mereka yang keliru sedikit demi
sedikit.
Keempat: Mempersiapkan pondasi hukum syariat yang final
dan bisa diterima oleh jiwa manusia setelah mereka dididik sesuai dengan Maqashid
Syariah (tujuan-tujuan utama syariat) secara perlahan-lahan sehingga mereka
mengakui sepenuhnya pandangan dan tujuan syariat yang sifatnya melampaui zaman.
Apabila kemaslahatan umum umat manusia tidak terpenuhi
maka hukum itu dimodifikasi, diganti, atau dihapus, disesuaikan dengan kebutuhan
dan kemaslahatan.
Hal ini seperti seorang dokter yang memberikan variasi
obat dan nutrisi sesuai dengan waktu, suasana hati, dan keadaan kesehatan
pasien.
Para Nabi adalah dokter bagi umatnya. Mereka adalah orang
yang bertugas membersihkan serta memperbaiki jiwa manusia. Mereka mendapatkan
perintah dari Allah swt. melalui wahyu untuk mengganti hukum syariat sesuai
dengan perubahan kondisi sekarang maupun masa depan. Karena apa yang bisa
dijadikan solusi bagi masa silam, terkadang tidak bisa diterapkan untuk masa depan,
dan ini menunjukkan Islam adalah agama yang luwes.
Allah swt. Maha Mengetahui segala hal di masa lampau,
sekarang, dan masa depan. Langkah tahapan yang diambil untuk memperbaiki
keadaan sesuai dengan perkembangan situasi
dan kondisi agar tidak menimbulkan kejutan dan hukum-hukum lompatan yang
mengagetkan. Seperti hukum pengharaman minuman keras yang diberlakukan melalui
beberapa fase.
Wallahu A’lam.