Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Hikmah Allah Halalkan Jual Beli dan Haramkan Riba

Avatar photo
33
×

Hikmah Allah Halalkan Jual Beli dan Haramkan Riba

Share this article

Islam sebagai agama yang paripurna memiliki perhatian serius terhadap dinamika sosial-ekonomi umat. Konsep sosial-ekonomi yang diperjuangkan Islam adalah konsep kehidupan yang manusiawi, yang berorientasi pada nilai-nilai kemaslahatan dan keadilan.

Karena itu, Islam tidak melegalkan praktek riba yang menindas, praktek manipulasi (gharar) yang merugikan, praktek spekulasi (majhul) yang tidak jelas, dan praktek perjudian (qimar) yang kotor.

Islam melandaskan legalitas setiap transaksi hanya yang dibangun berdasarkan asas saling rela (taradhin) dan dengan hati legawa (thib an-nafs).

Dalil yang mendasari legislasi transaksi jual beli salah satunya adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275, yang berbunyi:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. al-Baqarah: 275).

Tafsir Surat al-Baqarah 275

Dalam kitab tafsirnya yang bejudul Shofwah at-Tafasir, Syekh Ali ash-Shobuni memaparkan penafsiran dari surah al-Baqarah ayat 275 sebagai berikut:

“Allah Swt telah menghalalkan praktek jual beli karena di dalamnya terdapat unsur saling memberikan kemanfaatan (antara penjual dan pembeli). Dan Allah Swt mengharamkan praktek riba karena di dalamnya terdapat unsur bahaya yang menyulitkan, baik dalam lingkup personal maupun masyarakat.” (Shofwah at-Tafasir, 1/147).

Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menyatakan bahwa riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba jahiliah. Prakteknya berupa pungutan tambahan dari utang yang diberikan sebagai imbalan menunda pelunasan. Sedikit atau banyak hukumnya tetap haram.

Lebih jauh, menurut beliau, para ahli fikih sepakat bahwa hukum penambahan dalam tukar-menukar barang yang sejenis adalah haram. Mereka membolehkan penambahan kalau jenisnya berbeda, tetapi haram menunda pembayarannya. Mereka berselisih dalam masalah barang-barang yang disebut di atas.

Pendapat yang paling bisa diterima, semua itu dikiaskan dengan bahan makanan yang dapat disimpan. Dalam hal riba jahiliah, ahli fikih menyepakati keharamannya. Yang mengingkari, berarti telah kafir. Riba tersebut membuat pihak yang terlibat mengalami depresi atau gangguan jiwa sebagai akibat terlalu terfokus pada uang yang dipinjamkan atau diambil. Pihak yang mengutangi gelisah karena jiwanya terbebas dari kerja. Sementara yang berutang dihantui perasaan was-was dan khawatir tak bisa melunasinya.

Hikmah Dilegalkan Akad Jual Beli

Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam salah satu kitabnya yang berjudul al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (5/4) memaparkan hikmah di balik dilegalkannya tranksaksi jual beli.

Beliau menjelaskan hikmah dilegalkannya akad jual beli adalah karena melihat kebutuhan manusia berkaitan dengan sesuatu atau komoditas yang berada di tangan pemiliknya, sedangkan ia tidak bisa memilikinya tanpa memberikan pengganti kepada pemiliknya. Jadi akad jual beli menurut beliau disyariatkan sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan setiap individu.

Lebih jauh, dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji  (6/ 4) dipaparkan bahwa hikmah disyariatkannya akad jual beli adalah karena semua manusia memiliki kebutuhan yang sangat banyak, namun ia tidak mampu memenuhinya secara mandiri sehingga harus bertransaksi dengan orang lain dengan sistem timbal balik. Sedangkan sistem tersebut tidak mungkin dijalani dengan kerelaan satu sama lain tanpa dikemas dengan sistem jual beli.

Hikmah Diharamkan Riba

Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (22/56) dipaparkan bahwa hikmah diharamkannya praktek riba pada emas dan perak (ditukar atau dibarter) dengan jenis emas dan perak yang lain adalah karena praktek tersebut dapat merusak nilai emas dan perak sebagai alat bayar.

Sedangkan hikmah diharamkannya barter makanan pokok dengan jenis yang sama karena praktek tersebut dapat merusak nilai (maksud) yang terkandung di dalam jenis makanan pokok tersebut (yakni untuk dikonsumsi sebagai makanan pokok, bukannya untuk alat bayar tranksaksi).

Lebih jauh, Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah memaparkan bahwa para pakar kedokteran menyimpulkan banyaknya kasus tekanan darah tinggi dan serangan jantung terjadi akibat banyaknya praktek riba yang dilakukan. Pengharaman riba dalam al-Qur’an dan agama-agama samawi lainnya adalah sebuah aturan dalam perilaku ekonomi.

Ini sesuai dengan pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa uang tidak bisa menghasilkan uang. Para ahli ekonomi menetapkan beberapa cara menghasilkan uang. Di antara cara yang produktif adalah dengan bekerja di beberapa bidang usaha seperti industri, pertanian dan perdagangan. Dan yang tidak produktif adalah bunga atau praktek riba, karena tidak berisiko. Pinjaman berbunga selamanya tidak akan merugi, bahkan selalu menghasilkan. Bunga adalah hasil nilai pinjaman. Kalau sebab penghasilannya pinjaman, maka berarti usahanya melalui perantaraan orang lain yang tentunya tidak akan rugi. Banyaknya praktek riba juga menyebabkan dominasi modal di suatu bidang usaha. Dengan begitu, akan mudah terjadi kekosongan dan pengangguran yang menyebabkan kehancuran dan kemalasan.

Demikianlah hikmah dilegalkannya tranksaksi jual beli dan diharamkannya praktek riba. Semoga dengan paparan tersebut menjadikan kita lebih giat dalam menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang menjadi larangan-Nya. Amin. Wallahu a’lam bishowab.

Kontributor

  • Muhammad Ryan Romadhon

    Mahasantri Ma’had Aly Ponpes Al-Iman Bulus Purworejo Jawa Tengah. Sekarang tinggal di Ponpes Al-Iman Bulus Gebang Purworejo Jawa Tengah.