Dalam sebuah postingan IG officialazhareg (akun resmi Al-Azhar), Syekh Ahmad Al-Tayeb (Grand Syaikh Al-Azhar) memberi pernyataan: dunia Islam dan Arab (sekarang) belum mampu mempersiapkan dirinya dalam menghadapi tantangan zaman, mereka masih terjebak dengan krisis (fanatisme) bermazhab dan perpecahan kelompok.
Jika melihat catatan sejarah, umat Islam pernah meraih kegemilangan dalam bidang keilmuan dan politik di saat Bangsa Eropa sedang dalam keadaan terpuruk. Setidaknya, abad ketiga Hijriah hingga enam Hijriah adalah saksi bisu periode kodifikasi. Banyak disiplin ilmu yang muncul ke permukaan, mulai fikih hingga akidah. Di sisi lain, gerakan penerjemahan filsafat Yunani sedang masif dilakukan pada masa tersebut.
Tidak hanya bidang keilmuan Islam yang menemukan masa keemasannya. Banyak ilmuwan muslim yang mengembangkan intelektual mereka di bidang humaniora hingga sains. Bahkan karya mereka -pada masa selanjutnya- memberi kontribusi besar bagi Bangsa Eropa dan sains modern. Seperti Al-Khawrizmi dengan penemuan al-jabar yang menjadi dasar algoritma, Ibnu Sina melalui karyanya Al-Qanûn fi Aṭ–ṭib (The Canon of Medicine) yang menjadi rujukan medis di berbagai belahan dunia selama berabad-abad, hingga Ibnu Al-Haitham lewat karyanya Al-Manâẓir (Book of Optics) yang tidak hanya merevisi teori ekstramisi filsuf klasik -seperti Euklides dan Ptolemy- tetapi metode ilmiahnya juga mendahului Fransis Bacon dalam penggunaan logika induktif.
Kekuatan politik Islam juga disegani oleh kalangan musuh. Ekspansi Islam mencapai puncaknya pada masa khalifah Umar bin Khatab. Banyak wilayah Bizantium (Romawi Timur) dan Persia yang jatuh ke tangan umat Islam. Militer muslim menjadi kekuatan besar yang mengimbangi dua kerajaan adidaya pada masanya: Romawi dan Persia. Kendati demikian, penaklukan Islam terhadap beberapa wilayah kekuasaan Romawi dan Persia tidak didasari motif kekuasaan. Penaklukan adalah opsi terakhir untuk melawan kezaliman pemerintah Romawi dan Persia terhadap rakyat mereka sendiri, sekaligus memuluskan jalan dakwah yang aman. Kebijakan politik pemerintah muslim dikenal masyarakat luas sebagai bentuk keadilan sosial. Tidak heran jika banyak masyarakat Romawi dan Persia yang akhirnya bergabung dengan masyarakat muslim.
Namun sejarah tersebut tinggal catatan usang. Umat Islam sekarang sedang dalam performa terpuruk. Mungkin beberapa negara muslim seperti wilayah Arab Teluk bisa dikatakan negara kaya secara ekonomi. Tetapi, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) mereka masih bisa dikatakan kurang. Di pentas geopolitik global negara-negara muslim hampir tidak berdaya melawan kebijakan Amerika yang selalu menguntungkan Israel dan merugikan Palestina. Amerika dengan hak veto yang ia miliki mampu memberi ruang bagi Israel untuk berbuat sesuka hati terhadap Bangsa Palestina. Tidak hanya di situ, Amerika selalu mencukupi segala kebutuhan Israel mulai persenjataan hingga sistem keamanan. Ibarat Bapak dan anak yang solid membuat onar di mata dunia.
Di wilayah sosial masyarakat muslim lebih mudah terpengaruh dengan westernisasi. Gaya hidup Barat sudah mulai marak digemari masyarakat muslim hampir di seluruh dunia. Tanpa disadari globalisasi telah merenggut ajaran Islam untuk menghargai kearifan lokal. Dalam bidang pendidikan, tidak sedikit lembaga pendidikan yang menanggalkan turâst (warisan intelektual muslim) dari kurikulum pendidikan. Suatu kebijakan yang tanpa disadari telah menjauhkan umat Islam dari karakter intelektual pendahulunya. Lebih ekstrim dari itu adalah munculnya metode penafsiran keagamaan ala Barat. Banyak yang berspekulasi bahwa metode penafsiran Islam klasik sudah tidak relevan dengan tuntutan zaman.
Perlu dicatat, yang menjadi objek di sini adalah metode penafsiran; bukan tafsiran keagamaan itu sendiri. Sebab, tafsiran tentang wacana keagamaan bisa berubah tidak hanya dengan perubahan zaman, tetapi juga perbedaan ruang. Seperti konsep bernegara di dalam Islam, relasi negara dan rakyatnya, suksesi kepemimpinan, dan beberapa problem lain yang bersifat dinamis. Buktinya, fikih Islam yang tegas dengan konsep pemimpin tunggal pada akhirnya harus beradaptasi dengan realita dualisme kepemimpinan saat Abdurrahman Ad-Dakhil mendeklarasikan diri sebagai khalifah di wilayah Barat Islam (Andalusia), sedangkan di wilayah Timur Islam kekhilafahan dipegang oleh Dinasti Abbasiyah.
Sedangakan metode dalam menafsirkan wacana keagamaan di dalam Islam sendiri sangat beragam, dan sangat kaya. Konsep-konsep memahami teks yang diperkenalkan disiplin ilmu ushul fikih, misalnya, tidak terbatas dengan satu tipologi saja. Memang benar, tidak semua yang datang dari Barat selalu salah. Penulis sendiri lebih memilih pola dialog peradaban antara Barat dan Timur. Namun, menyalahkan metode klasik secara total merupakan pandangan yang sangat subjektif. Dan mengadopsi semua produk intelektual Barat tanpa usaha infiltrasi merupakan tindakan yang sangat prematur.
Fanatisme Kelompok Pangkal Kejumudan dan Kemunduran
Jika bukan metode penafsiran klasik yang bersalah atas fenomena kemunduran umat Islam, apakah ada faktor lain yang kiranya layak menjadi indikator kemunduran? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita patut melihat pola keberagamaan umat Islam terlebih dahulu. Fenomena ta’aṣṣub al-mazhabi (fanatisme bermazhab) masih banyak ditemukan di permukaan. Mulai fanatisme dalam lingkup ideologi sekterian hingga fanatisme dalam mengamalkan fikih Islam. Tidak sedikit penganut ideologi sekterian yang merasa dirinya paling lurus dalam berkeyakinan, sedangakan sekte lain sudah dilebeli penghuni neraka jahanam. Bila mereka adalah pengikut Asyairah Imam Abul Hasan Al-Asyari sendiri berwasiat untuk tidak mengafirkan kelompok yang masih bersyahadat.
Disadari atau tidak perasaan paling benar dalam berakidah telah membangung benteng sosial yang memisahkan antara individu masyarakat muslim. Mereka yang beraliran Sunni merasa harus berhati-hati dengan penganut Syiah. Mereka yang terlalu mendewakan Ibnu Taimiah dalam berakidah lebih menjaga jarak dengan pengikut Asyairah-Maturidiyah dan Syiah. Sejatinya masing-masing anggota memiliki niat baik demi menjaga kemurnian akidah mereka. Tetapi di sisi lain, kondisi ini telah menciptakan distingsi yang tajam bagi sosial umat Islam. Setiap keompok akan saling mewaspadai satu sama lain. Kondisi ini pada akhirnya akan melahirkan perpecahan di tubuh umat Islam sendiri.
Di sisi lain, kepentingan hampir seluruh negara muslim lebih mengedepankan kepentingan regional mereka. Istilah muslim saling bersaudara telah lama hilang dari peredaran sosial umat Islam. Sejatinya, Islam sendiri tidak pernah melarang membentuk persaudaraan sebangsa dan setanah air. Namun, Islam juga menekankan persaudaraan seiman. Tentunya persudaraan yang ditekankan oleh Islam bertujuan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia dalam skala global. Bukan untuk mencapai kepentingan kelompok atau perorangan.
Perbedaan Bukan Penghalang Persatuan
Dalam kaidah logika yang diperkenalkan oleh turâst Islam terdapat satu kaidah yang berbunyi: mâ bihî al-isytirâk ghairu mâ bihî al-imtiyâz (titik kesamaan bukan lah titik perbedaan). Kaidah logis ini menggambarkan bahwa entitas alam semesta selalu memiliki sisi kesamaan dan selalu memiliki sisi perbedaan. Contoh sederhananya seperti kuda dan manusia, sisi perbedaannya ada pada potensi berpikir sedangkan sisi kesamaannya adalah mahluk hidup.
Demikian juga dengan manusia. Setiap individu manusia memiliki sisi kesamaan sebagai mahluk hidup yang berpotensi untuk berpikir. Meskipun dibedakan dengan ras, bahasa, agama, budaya, wilayah teritorial, dan sebagainya. ‘Sebagai mahluk yang bisa berpikir objektif dan sebagai umat penganut agama samawi sisi kesamaan harusnya perlu mendapat apresiasi, bukan perbedaan yang selalu dijunjung tinggi. Sebab, manusia -tanpa melihat segala sisi perbedaannya- layak untuk dihormati. Sebagaimana yang tertera di dalam surat Al-Isra: 70.
Di dalam syariat Islam sendiri perbedaan sudah menjadi kehendak Tuhan. Tidak sedikit ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang hal ini. Bahkan, dengan tegas Al-Qur’an menyatakan bahwa perbedaan di muka bumi diciptakan dalam rangka saling mengenal (Al-Hujurat:13). Syariat tidak pernah memerintahkan penganutnya untuk saling memusuhi. Yang ditekankan oleh syariat Islam adalah persatuan dan saling membantu dalam kebaikan. Betapa pun tajamnya perbedaan -baik di dalam wilayah akidah atau fikih- selama kiblatnya masih ke arah Ka’bah maka mereka masih dituntut bersama untuk merealisasikan nilai-nilai Islam yang ramah dan santun.
Rasulullah SAW adalah panutan yang layak untuk diikuti. Agenda pertama yang dilakukan Rasulullah sesaat setelah hijrah ke Madinah bukan menghunus pedang dan menabuh genderang permusuhan. Tetapi, mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, dilanjutkan dengan membangun persatuan antara elemen masyarakat yang diabadikan dalam Piagam Madinah.
Sebagaiamana lazim diketahui di dalam catatan sejarah, struktur masyarakat Madinah saat Rasulullah hijrah sangat beragam. Ada komunitas Yahudi dan Nasrani yang lebih dahulu mendiami kota tersebut. Sehingga penting untuk dicatat, Rasulullah SAW dengan Piagam Madinah-Nya sedang memberi contoh untuk umat Islam bahwa perbedaan -hingga dalam taraf keyakinan- tidak boleh melahirkan rasa saling curiga, terlebih menjadi alasan perpecahan.
Persaudaraan dan persatuan adalah kunci utama terbentuknya masyarakat madani. Sebuah peradaban besar tidak akan lahir dari ruang konflik dengan struktur masyarakat yang gemar bermusuhan. Sebab, peradaban hanya terwujud dengan langkah-langkah yang terorganisir dan jaringan yang kuat dalam segala sektor kehidupan. Bila salah satu jaringan tersebut mengalami kerusakan parah akibat pertikaian niscaya agenda kemajuan akan terhambat, bahkan bisa menjadi stagnan. Lebih penting lagi untuk dicatat bahwa ‘peradaban yang dicita-citakan Islam adalah peradaban kemanusiaan, bukan peradaban kekuasaan yang membuat kelas superior dan inferior.