Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Hukum kurban bila terjadi perbedaan hari raya Idul Adha

Avatar photo
21
×

Hukum kurban bila terjadi perbedaan hari raya Idul Adha

Share this article

Tahun ini, umat muslim Indonesia kembali berbeda dalam penentuan hari raya Idul Adha.

Pemerintah melalui sidang itsbat (29/6) menetapkan bahwa 1 Dzulhijjah 1443 H bertepatan dengan hari Jumat tanggal 1 Juli 2022, dan hari raya Idul Adha jatuh pada hari Ahad tanggal 10 Juli 2022.

Sementara sebelumnya, Muhammadiyah telah jauh-jauh hari menetapkan bahwa 1 Dzulhijjah bertepatan dengan hari Kamis 30 Juni 2022, sehingga hari raya Idul Adha jatuh pada hari Sabtu tanggal 9 Juli 2022.

Kabar baiknya adalah umat Islam di Indonesia telah menjadi umat yang cukup dewasa dalam menyikapi perbedaan hari raya. Bahwa perbedaan hari raya Idul Adha tahun ini harus dibawa santai dan woles, sebagaimana woles dan santainya umat ini ketika kerap melewati perbedaan penentuan awal Ramadan dan hari raya Idul Fitri di tahun-tahun sebelumnya.

Keduanya mempunyai teknis dan latar belakang yang sama persis sehingga meniscayakan adanya perbedaan. Jadi ini bukan barang baru, sehingga bersikap pun biasa-biasa saja.

Namun, tetap saja ada beberapa konsekuensi logis yang harus dipahami dalam perbedaan ini. Misalnya ketika satu masjid (panitia kurban) mengikuti pendapat yang menetapkan hari raya Idul Adha jatuh di hari Sabtu, sementara sebagian pekurban meyakini dan ikut pendapat Idul Adha-nya hari Ahad.

Pertanyaannya, kapan hewan tersebut boleh disembelih sehingga sah menjadi ibadah kurban? Apakah ikut ‘hajatan’-nya panitia kurban (hari Sabtu) atau disesuaikan dengan penanggalan pekurban (hari Ahad)?

Maka jawabannya adalah hewan tersebut disembelih sesuai dengan jadwal dan penanggalan pekurban. Bukan ikut panitia kurban.

Hal ini berdasarkan dua hal; definisi ibadah kurban itu sendiri dan status panitia kurban yang ‘hanya’ sebagai wakil dari pekurban. Mari kita bahas satu per satu.

Satu, definisi kurban adalah ritual menyembelih hewan-dengan syarat dan ketentuan tertentu-sebagai bentuk taqarrub kepada Allah swt, yang dilakukan pada waktu tertentu, yaitu yaum al-nahr (tanggal 10 Dzulhijjah) dan ayyaam al-tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah).  Waktu penyembelihan hewan kurban terbentang selama 4 hari lamanya.

Dari pengertian ini, dapat disimpulkan hal-hal berikut:

a. Hewan tersebut sah menjadi kurban, jika disembelih pada hari Ahad, yang artinya itu tanggal 10 bagi pekurban, dan tanggal 11 bagi panitia kurban. Kenapa sah? Karena dari sisi pekurban sudah benar masuk tanggal 10 dan dari sisi panitia memang masih boleh juga menyembelih di tanggal 11 bahkan sampai 13.

b. Hewan tersebut tidak sah menjadi kurban, jika disembelih pada hari Sabtu, yang artinya itu tanggal 9 bagi pekurban, dan tanggal 10 bagi panitia kurban. Kenapa tidak sah? Ya karena hewan tersebut milik pekurban yang diniatkan untuk berkurban, maka otomatis terikat dengan ketentuan waktu kurban yang baru sah ketika masuk tanggal 10.

Ok, clear ya, insyaallah.

Dua, dilihat dari statusnya, panitia kurban biasanya diposisikan sebagai wakil dari pekurban. Sementara pekurban adalah muwakkil atau yang memberi mandat perwakilan.

Dalam bahasa yang lain, panitia kurban itu tâbi’ (yang mengikuti), sedangkan pekurban adalah matbû’ (yang diikuti). Dan sebagaimana lazimnya, wakil harus menyesuaikan dengan yang diwakili. Yang mengikuti kudu sejalan dan searah dengan yang diikuti. Begitu kan?!

Seorang wakil presiden tidak boleh menyelisihi presiden dalam kebijakan publik yang dikeluarkan. Juga misalnya, wakil khitbah atau nikah tidak boleh kemudian malah mengkhitbah atau menikahi mempelai wanita untuk dirinya sendiri, dan mengesampingkan muwakkil. Keliru dan tentu saja tidak etis.

Kesimpulan; yang menjadi patokan kapan hewan tersebut disembelih sehingga sah menjadi kurban adalah tentu saja dari sisi pekurban, bukan panitia kurban (masjid).

Lalu bagaimana jika sebaliknya, pekurban ikut Idul Adha hari Sabtu, sementara panitia ikut di hari Ahad?

Maka pada prinsipnya sama bahwa yang menjadi patokan adalah dari sisi pekurban. Hanya saja bagus jika pekurban berbaik hati mengakhirkan satu hari penyembelihannya agar memberi kesempatan bagi panitia bekerja lebih baik dan optimal.

Jadi, menyembelihnya tetap hari Ahad saja, yang itu berarti tanggal 11 bagi pekurban, dan tanggal 10 bagi panitia kurban. Kenapa bagus? Karena dari sisi pekurban masih tetap sah, dan dari sisi panitia juga tiddak berat. Karena kalau hari Sabtu, panitia masih menjalankan puasa Arafah (tanggal 9).

Akhir kata, semoga panduan sederhana ini bisa dipahami dan bermanfaat untuk semua. Kita bisa saling menghargai satu sama lain dalam perbedaan yang terjadi.

Pada ujungnya, masih ada solusi fiqhiyah yang menjadi win-win solution; yaitu panitia sebagai wakil pekurban mulai menyembelih di hari Ahad tanggal 10 Juli 2022. Itu tanggal aman dilihat dari kedua sisi, baik panitia maupun pekurban. Juga efisien dalam hal tenaga dan biaya.

Tentu saja tulisan ini hadir dalam konteks adanya perbedaan antara panitia kurban dan pekurban soal penentuan hari raya Iduladha. Jika di wilayah pembaca masing-masing sudah satu suara dan sepakat mengikuti salah satunya, maka ini yang paling ideal dan maslahah.

Semoga Allah swt menerima ibadah kurban dan rangkaian ibadah lainnya di awal bulan Dzulhijjah ini, dan keberkahan untuk seluruh Umat Islam di Indonesia dan dunia. Amin.

Kontributor

  • Jauhari Wildan

    Asal Solo, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan S1 - LIPIA Jakarta. Aktif di Rumah Fiqih Indonesia.