Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Hukum Merayakan Ulang Tahun dalam Islam

Avatar photo
42
×

Hukum Merayakan Ulang Tahun dalam Islam

Share this article

Ulang tahun merupakan perayaan yang dilakukan oleh seseorang atau sebuah instansi untuk merayakan hari kelahirannya. Mereka biasanya mengundang teman-teman dan saudara untuk ikut bersama-sama merayakannya. Biasanya acara tersebut diisi dengan serangkaian acara mulai dari jamuan makan sampai pesta besar-besaran.

Sebagai seorang muslim, tentu apapun yang dilakukan harus sesuai dengan pedoman syariat yang sudah Allah SWT turunkan. Karena Islam merupakan sebuah agama yang menjadi pedoman hidup bagi para pemeluknya. Mulai hal yang kecil layaknya kegiatan sebelum tidur sampai hal yang besar seperti urusan pemerintahan diatur dengan sangat baik di dalam Islam.

Lantas bagaimana Islam memandang hukum ulang tahun itu sendiri?

Beberapa kalangan berbeda pendapat dalam penetapan hukum merayakan ulang tahun. Sebagian kalangan ulama memperbolehkan dan sebagian yang lainnya mengharamkan.

Alasan Pengharaman Ulang Tahun

Alasan beberapa ulama mengharamkan perayaan ulang tahun biasanya dikarenakan karena tidak adanya dalil nash baik Al-Quran atau hadits yang menganjurkan untuk melakukannya.

Mereka juga beranggapan bahwa perayaan ulang tahun merupakan sebuah tradisi dari kalangan nonmuslim. Hal ini berimplikasi kepada seseorang yang melakukannya akan dianggap mengikuti tradisi agama lain dan otomatis menjadi pengikut tersebut. Benarkah demikian?

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pada dasarnya perayaan ulang tahun sendiri tidak diatur secara jelas baik di dalam nash Al-Quran ataupun hadits. Oleh karena itu perlu kiranya kita memahami metode-metode istinbath yang digunakan sebagai mashadir al-ahkam oleh para imam mujtahid. Metode-metode ini biasa digunakan ketika suatu perkara tidak dijelaskan secara rinci baik di dalam al-Qur’an maupun hadis. Beberapa metode ijtihad tersebut antara lain ijmak, qiyas, istihsan, istihlah, istishab dll.

Ulang Tahun dalam Tinjauan Maslahah Mursalah

Salah satu metode ijtihad yang dilakukan para ulama mazhab dalam menentukan sebuah hukum, jika hal tersebut tidak diatur dalam Al-Quran dan hadits adalah dengan menggunakan metode maslahah mursalah.

Metode ini merupakan sebuah metode istinbath yang banyak digunakan oleh kalangan mazhab Maliki. Mazhab lain seperti mazhab Hanafi dan Syafi’i juga menggunakan metode ini walau penggunaannya tidak seintens dari mazhab Maliki.

Maslahah mursalah sendiri menurut Syekh Abdul Wahab Khallaf adalah “sebuah kemaslahatan yang tidak ada dalil syara’ yang datang untuk mengakuinya atau menolaknya”. Metode ini digunakan ketika suatu perkara tidak diketemukan dalilnya dalam Al-Quran dan hadits baik dalil yang menganjurkannya ataupun dalil yang melarang hal tersebut.

Dalam penggunaan metode ini seseorang harus memetakan secara objektif hal-hal yang terdapat dalam suatu perkara. Kemudian hasilnya diklasifikasikan guna memisahkan antara hal-hal dilarang dan yang diperbolehkan.

Dalam kasus ulang tahun misalnya, hal-hal positif yang terdapat di dalamnya antara lain, merekatkan silaturahmi, memuliakan tamu, saling bertukar kado hadiah dll. Kemudian hal-hal buruk yang dilarang oleh agama, seperti menyerupai tradisi agama lain, pemborosan, ketidakadanya manfaat di dalamnya dan semacamnya.

Dari klasifikasi di atas jika kemanfaatan yang dikandungnya lebih banyak dan kemafsadatan yang ada di dalamnya dapat diminimalisir maka hal tersebut sah-sah saja dilakukan.

Alasan beberapa tokoh ulama mengharamkan perayaan ulang tahun di antaranya adalah dikarenakan ulang tahun sendiri merupakan tradisi dari non muslim. Mereka berpegang pada hadits yang menyebutkan bahwa “Barangsiapa yang meniru suatu kaum, ia seolah-olah adalah bagian dari kaum tersebut.”(HR. Abu Daud)

Dalam masalah menyerupainya ulang tahun dengan tradisi nonmuslim ini, Prof. Quraish Shihab (2018) memberikan penjelasan bahwa meniru nonmuslim itu dilarang sesuai hadis di atas jika hal tersebut berkaitan dengan agama, akidah atau simbol-simbol keagamaan.

Meniru budaya ataupun adat istiadat, tradisi, seni, pakaian dan semacamnya dari nonmuslim itu diperbolehkan. Selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Jadi sudah jelas bahwa merayakan ulang tahun sah-sah saja karena tidak berkaitan dengan simbol-simbol kegamaan.

Alasan lain yang digunakan yaitu, perayaan ulang tahun merupakan sebuah perbuatan yang sia-sia karena di dalamnya tidak ada nilai ibadahnya sama sekali. Alasan ini pun penulis rasa kurang sesuai. Karena jika kita mau menilik lebih jauh, ulang tahun merupakan waktu dimana biasanya seseorang melakukan sedekah dalam rangka mensyukuri nikmat panjang umur yang sudah diberikan oleh Allah kepadanya.

Selain itu, peringatan ulang tahun juga merupakan salah satu sarana untuk merekatkan hubungan silaturahmi antara seseorang dengan orang lain di sekelilingnya. Ulang tahun yang biasa dirayakan dengan si tuan rumah yang menjamu tamunya sebaik mungkin, kemudian umumnya sang tamu juga memberikan hadiah kepada yang sedang merayakan ulang tahun.

Bukankah hal demikian juga dicontohkan oleh Nabi SAW? Berapa banyak anjuran Nabi SAW untuk senantiasa menjaga tali silaturahmi, memuliakan tamu dan saling memberi hadiah kepada sesama? Wallahu a’lam.

Kontributor

  • Muhammad Ali Magfur

    Mahasantri di PPM Al Ghazali Sleman, Yogyakarta dan mahasiswa aktif Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab