Apabila kita ingin menggabungkan dua buah kata atau dua buah kalimat yang mempunyai keterkaitan khusus, kita dapat menggunakan beberapa huruf Athaf.
Dengan wawu (و) jika hanya untuk menunjukkan sekadar penggabungan. Fa’ (ف) menunjukkan penggabungan serta menunjukkan berurutan tanpa jeda waktu. Tsumma (ثم) menunjukkan penggabungan dan jeda waktu. Dan banyak huruf Athaf lain yang bisa diketahui dalam ilmu Nahwu.
Ada beberapa kalimat yang penggabungannya tak perlu menggunakan perantara huruf. Tapi secara tabiat dua kalimat itu mempunyai keterikatan khusus. Karena huruf Athaf meskipun menunjukkan makna penggabungan tapi juga menunjukkan makna at-taghayur bainal ma’thuf wal ma’thuf alaih; perbedaan antara dua kata atau kalimat.
Misal Zaid sudah makan dan minum. Makan dan minum meskipun bisa digabungkan dalam satu kalimat tapi dia mempunyai makna yang berbeda. Zaid lelaki yang shaleh, ini contoh penggabungan beberapa kata yang tak perlu menggunakan huruf athaf, karena punya keterkaitan khusus yaitu sifat dan mausuf.
Mengetahui kapan dua buah kalimat harus digabungkan dengan huruf Athaf atau tanpa perlu huruf Athaf, salah satu bab paling rumit dalam Balaghah. Dikenal dengan bab al-Fashl wal Wasl. Saking rumit dan pentingnya pembahasan ini para ulama bahkan mendefenisakan Balaghah dengan “mengetahui al-Fashl wal Wasl.”
Syaikh Ibnu Abil Isba’ ulama besar dan mufassir abad ke-6 dengan gamblang menyebutkan al-Fasl dan wasl adalah salah satu mukjizat al-Quran.
Mari kita mulai dengan ayat kedua dalam surat al-Baqarah.
(ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين)
Al-Quran menggabungkan tiga buah kalimat tanpa menggunakan huruf Athaf, tidak ada wawu, tidak adal fa’, tsumma dan lainnya. Dzalikal kitab. La Raiba Fiih. Hudallilmuttaqin. Tiga kalimat tanpa huruf Athaf.
La Raiba Fiih tidak diathafkan kepada Dzalikal kitab karena La Raiba fiih adalah taukid atau penguat dari dzalikal kitab. Karena makna dzalikal kitab adalah : al-kitab (al-Quran) itu adalah kitab paling agung yang mencapai derajat kesempurnaan , satu-satunya kitab sempurna yang layak disebut dengan al-kitab.
Kata paling agung dan mencapai kesempurnaan dipahami dari isim isyarah lilbu’di, yaitu dzalika. Makna satu-satunya yang sempurna dipahami dari makrifahnya mubtada : Dzalika dan makrifahnya khabar : al-kitab.
Maka kalimat la raiba fiih yang bermakna “tidak ada keraguan di dalamnya” merupakan penguat dari kitab yang sempurna. Maka tak perlu ada huruf athaf.
Mari kita renungkan surat ‘Abasa ayat 17-22:
قُتِلَ ٱلإِنسَانُ مَآ أَكْفَرَهُ ﴿١٧﴾ مِنْ أَيِّ شَيءٍ خَلَقَهُ ﴿١٨﴾ مِن نُّطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ ﴿١٩﴾ ثُمَّ ٱلسَّبِيلَ يَسَّرَهُ ﴿٢٠﴾ ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ ﴿٢١﴾ ثُمَّ إِذَا شَآءَ أَنشَرَهُ ﴿٢٢﴾
“Celakalah manusia! Alangkah kufurnya dia. Dari apakah dia Allah menciptakannya?. Dari setetes mani Allah menciptakannya lalu menakdirkan. Kemudian jalannya Dia mudahkan. Kemudian Dia mematikan lalu menguburkan. Kemudian jika Dia menghendaki Dia membangkitkannya kembali.”
Mari kita lihat antara khalaqahu dan faqaddarahu digabung dengan huruf Fa’. Kemudian selanjutnya dengan tsumma; tsumma as-sabila yassarah.
Fa’ kita terjemahkan dengan ‘lalu’ menunjukkan tanpa jeda waktu. Tsumma kita terjemahkan dengan ‘kemudian’ menunjukkan jeda waktu. Apa rahasia perbedaan huruf athaf ini? Kenapa tidak selalu menggunakan fa’ atau tsuma?
Allah menggabungkan antara ‘menciptakan lalu menakdirkan’, antara ‘mematikan lalu menguburkan’ dengan huruf fa’ karena antara penciptaan dan takdir, antara kematian dan penguburan waktunya singkat.
Kemudian antara memudahkan jalan, kemudian mematikan, kemudian membangkitkan diathafkan dengan tsumma karena ada jeda waktu yang panjang dalam kejadian tersebut.
Baca juga: Urgensi Ilmu Nahwu, Gagal Paham Bisa Salah Tafsir
Banyak ayat yang kalimat-kalimatnya sama tapi diathafkan dengan huruf yang berbeda. Misal : Surat al-An’am ayat 11 dan Surat an-Naml ayat 69.
قل سيروا في الأرض ثم انظروا كيف كان عاقبة المكذبين
Katakanlah (Muhammad), “Berjalanlah kamu di bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.”
قل سيروا في الأرض فانظروا كيف كان عاقبة المجرمين
Katakanlah (Muhammad), “Berjalanlah kamu di bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa.
Pada surat al-An’am diathafkan dengan tsumma kemudian pada Surat an-Naml dengan fa’ padahal sama-sama disuruh berjalan dan memperhatiakan bumi. Apa bedanya? Apa rahasianya?
Pada athaf yang menggunakan fa’, Allah menjadikan perjalanan sebagai sebab untuk memperhatikan kesudahan orang-orang yang berdosa: artinya berjalanlah untuk memperhatikan, jangan berjalan dengan jalannya orang yang lalai.
Adapun athaf dengan tsumma : maknanya adalah Allah membolehkan perjalanan untuk jual beli dan hal-hal bermanfaat lainnya, dan mewajibkan untuk merenungkan kejadian orang-orang yang telah celaka. Makanya Allah menggunakan kata tsumma untuk menunjukkan perbedaan jauh antara mubah dan wajib.
Dalam surat al-Fatihah kita sering membaca Iyyaka na’budu wa Iyyaka Nastain; hanya kepadamu kami menyembah dan hanya kepadamu kami meminta pertolongan. Kenapa Allah mendahulukan ‘Hanya kepadamu kami menyembah’ daripada ‘Hanya kepadamu kami meminta pertolongan’? Padahal dengan pertolongan Allahlah kita mampu beribadah? Harusnya kita minta pertolongan dahulu baru ibadah!
Jawabannya ada pada pembukaan tulisan. Karena di sini athafnya dengan wawu, dan wawu hanya mengumpulkan tanpa mengurutkan mana yang lebih dahulu. Berbeda dengan fa’ dan tsumma yang menunjukkan urutan.
Bersambung.
Tulisan ini mengenang guru saya Prof. Dr Adil Akrat yang wafat 20 september lalu. Dan kitab Dirasah fil al-Fasl wal wasl ini salah satu kitab yang beliau ajarkan pada kami; semoga menjadi amal jariah.