Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Imamah Al-Azhar dan Simbol Warna dalam Seni Islam

Avatar photo
49
×

Imamah Al-Azhar dan Simbol Warna dalam Seni Islam

Share this article

Suatu ketika Syeikh Ali Jum’ah pernah ditanya, “Mengapa anda memakai syal berwarna merah? Bukankah itu bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW: Jauhilah pakaian warna merah, karena sesungguhnya itu adalah pakaian setan?”

Beberapa tahun sebelumnya, Mufti Besar Mesir 2003-2013 itu juga pernah mendapatkan pertanyaan yang mirip: mengapa serban atau imamah Al-Azhar berwarna merah?

Pakar ushul fikih dari Mesir ini menjelaskan bahwa imamah Al-Azhar sebenarnya berwana putih, bukan merah. “Mungkin dia mengira bahwa tarbus (peci, songkok atau kopyah) adalah imamah padahal bukan,” terang beliau.

Anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar itu menerangkan bahwa warna merah yang dilarang oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas adalah merah secara mutlak. Yakni yang dikenakan seluruhnya berwarna merah menyala dari ujung satu ke ujung lainnya, layaknya setan.

“Akan tetapi, warna merah dalam seni Islam menunjukkan pengertian apa?” tanya beliau kemudian.

Dalam seni Islam, warna emas merupakan simbol pengetahuan dan petunjuk (hidayah) karena warna emas merupakan pencerminan sinar matahari. Matahari bersinar pada siang hari dan menyinari jalan untuk manusia. Ketika orang-orang melapisi mushaf Al-Qur’an dengan emas, mereka membubuhkan warna emas sebagai simbol hidayah.

Seni kaligrafi mushaf Al-Quran berhiasan emas

Sedangkan warna biru merupakan simbol kemutlakan dan ketidakterbatasan, karena segala perintah dan larangan Allah SWT serta akhlak Islam bersifat mutlak tidak akan berubah selamanya.

Allah SWT berfirman:

وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8)

Jadi berlaku adil dalam Islam merupakan sebuah kemutlakan, bahkan kepada musuh sekalipun, karena kezaliman akan menyebabkan kegelapan kelak pada hari kiamat.

Sementara itu warna hijau merupakan simbol kemuliaan. Oleh sebab itu putra-putra Sayyidina Hasan RA suka berpakaian dan menggunakan imamah berwarna hijau.

Warna hitam merupakan simbol kehormatan (siyadah), dan warna putih menunjukkan kesucian dan kejernihan atau transparansi. Adapun warna merah menunjukkan suka cita dan kebahagiaan.

Syekh Ali Jum’ah melanjutkan: Oleh  karena itu mereka meletakkan warna merah di tengah tarbus. Karena kebahagiaan merupakan hasil dari petunjuk atau hidayah. Mereka menghadirkan sifat keemasan dengan memberinya warna merah.

Bagi ulama generasi salafus shalih, warna merah merupakan simbol kebahagiaan, maka dari itu ulama-ulama Al-Azhar memilih simbol kebahagiaan tersebut. Bukankah Allah SWT berfirman melalui lidah kekasih-Nya Nabi Muhammad SAW:

تبسمك في وجه أخيك لك صدقة

“Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu.”

Meskipun ini adalah sabda Rasulullah SAW, bukankah sabda beliau sejatinya merupakan wahyu dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى * عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى

“Dan tiada yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (QS. An-Najm:3-5)

Begitu pula dengan warna putih yang menunjukkan bahwa segala yang ada dalam hati kita itu tampak pada lisan-lisan (ucapan) kita, atau yang dikenal dalam istilah modern sebagai transparansi.

Dalam imamah Al-Azhar terdapat warna putih dan merah serta dihiasi dengan rumbai berwarna hitam. Kenapa berwarna hitam? Karena ia adalah simbol kehormatan. Kemuliaan ilmu di atas segala bentuk kemuliaan. Barang siapa merasakannya, maka ia akan tahu, dan barang siapa yang sudah mengetahuinya maka ia akan semakin menikmatinya. Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28)

Kata ‘ulamâ` merupakan bentuk jamak dari kata ‘alîm (عليم), bukan dari kata âlim (عالم).

Allah SWT berfirman:

 وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

“Dan di atas orang yang berilmu selalu ada yang Lebih Besar dan Lebih Berilmu. Selalu ada saja yang lebih tahu.” (QS. Yusuf: 76)

Seperti lafal khabîr (خبير), bentuk jamaknya adalah khubaraâ` (خبراء). Begitu juga dengan lafal syarîf (شريف). bentuk jamaknya adalah syurafâ` (شرفاء). Adapun jamak ‘âlim adalah ‘âlimûn (عالمون) sedangkan jamak ‘alîm adalah ‘ulamâ` (علماء). Pertanyaannya, siapa yang takut kepada Allah? Jawabnya: ulama!

Karena bagi mereka (ulama Al-Azhar), ulama adalah gelar prestisius, status kehormatan, kewibawaan dan kejernihan hati. Mereka mengajak manusia pada kemudahan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Demikian alasan mengapa mereka menjelmakan seluruh maksud tersebut dalam imamah yang seperti kita lihat sekarang.

Kontributor

  • Arif Khoiruddin

    Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Tinggal di Pati. Pecinta kopi. Penggila Real Madrid.