Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Islam dan Pancasila: Sebuah Titik Temu

Avatar photo
20
×

Islam dan Pancasila: Sebuah Titik Temu

Share this article

Upaya untuk melacak titik temu antara Islam dan Pancasila pada setiap butir silanya dapat kita lakukan dengan banyak cara. Dalam ilmu ushul fikih, Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum (mashadir al-ahkam) dan dalil hukum (adillah al-ahkam) sekaligus dapat kita fungsikan sebagai salah satu cara untuk mencari titik temu tersebut.

Lain dari pada itu, pengambilan kebijakan oleh para Shahabat dahulu (atsar al-shahabah), selain sebagai sejarah hukum, juga dapat kita gunakan untuk mempertegas bahwa titik temu antara Islam dan Pancasila bukanlah hal yang mustahil untuk diterima.

 Pertama, sila
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip yang menegaskan bahwa masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang berketuhanan, meskipun memiliki kepercayaan dan agama
yang beragam. Untuk itu, kandungan sila pertama itu berkesesuaian dengan spirit
ketuhanan dalam ajaran Islam, lebih-lebih karena Islam menegaskan bahwa Allah
adalah Tuhan Yang Esa (QS. al Baqarah: 163 dan QS. al-Ikhlas: 1).

Kedua, sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab merupakan prinsip tentang bersikap dan bertindak dalam pergaulan dengan sesama warga negara tanpa membeda-bedakan suku, agama dan budaya.

Hal itu juga sejalan dengan prinsip-prinsip dasar dalam Islam bahwa semua orang memiliki kedudukan yang setara di hadapan Tuhan dan bahwa seseorang harus berlaku adil dan bersikap lemah lembut kepada sesama. Ini tertuang dalam surah al-Maidah ayat delapan.

Dalam konteks Nusantara, Islam pertama kali datang ke dalam masyarakat yang sudah beragam, baik suku, budaya maupun agama. Ajaran berlaku adil dan beradab kepada sesama tanpa membeda-bedakan identitas primer menjadi kunci terbangunnya keharmonisan dan kesuksesan penyebaran Islam melalui cara damai.

Ketiga, sila Persatuan Indonesia yang merupakan prinsip untuk saling menerima dan memahami serta komitmen untuk hidup bersama secara harmonis di tengah banyaknya perbedaan. Keragaman merupakan sunnatullah (hukum Allah). Surah al-Hujurat ayat 13 menjelaskan bahwa Allah swt. menciptakan laki-laki dan perempuan kemudian menjadikannya bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.

Keragaman bukan penghalang persatuan. Dengan ikhtiar dan komitmen, persatuan manusia bisa hadir dalam keragaman. Allah juga mengingatkan untuk menghindari perpecahan di antara sesama, yang diibaratkan seperti berada di tepi jurang neraka atau kesengsaraan (QS. Ali Imran: 103).

Prinsip ini juga pernah dicontohkan Nabi saw. pada saat beliau menetap di Madinah, di mana Muslim hidup berdampingan dengan Yahudi dan Nasrani. Adanya rasa persaudaraan dan tuntutan untuk berlaku adil tanpa memandang identitas primer serta dalam rangka mempertahankan kebaikan tanah air maka persatuan dijadikan prioritas utama. Dalam konteks ini, ukhuwah (persaudaraan) adalah salah satu intisari ajaran Islam tentang kehidupan sosial.

Achmad Siddiq, ulama Indonesia menjelaskan bahwa ajaran persaudaraan memiliki tiga dimensi: persaudaraan karena keimanan (ukhuwwah Islamiyyah), persaudaraan atas dasar tanah air (ukhuwwah wathaniyyah) dan persaudaraan atas dasar kemanusiaan (ukhuwwah basyariyah) (Ni’am, 2008).

Muslim Nusantara telah menjalani kehidupan di tengah-tengah keragaman dan menunjukan kesediaan menjadi saudara setanah air dan hidup bersama warga negara non-Muslim. Hal ini tercermin dari budaya gotong royong yang ada di masyarakat Nusantara, baik pada saat menyelenggarakan upacara tertentu atau melakukan aktifitas tertentu seperti bercocok tanam dan bersih desa. Berdasarkan diskusi ini, rumusan sila ketiga Pancasila tidak berbeda dengan nilai yang terdapat dalam Islam tentang hubungan antar sesama manusia.

Keempat, sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan menekankan pentingnya kebersamaan dan saling bertukar pikiran dalam menghadapi dan memecahkan suatu permasalahan. Cara ini diharapkan akan menguntungkan unsur-unsur bangsa yang beragam.

Hal itu juga sejalan dengan prinsip Islam dalam kehidupan bermasyarakat yang menghendaki dilakukannya musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut hajat orang banyak. Firman Allah swt. dalam surah Ali Imran ayat 159 dan surah asy-Syu’ara ayat 38 yang menegaskan pentingnya melakukan musyawarah atau urun rembug untuk urusan publik.

Dalam konteks Islam Indonesia, musyawarah sangat umum dilaksanakan. Hal itu dapat terlihat pada tradisi penetapan awal bulan Qamariah, terutama 1 Ramadhan dan 1 Syawal atau Bahtsul Masail Ummah yang sering dilaksanakan untuk menjawab beragam permasalahan yang dihadapi umat.

Selajutnya, konsep perwakilan yang dalam konteks Indonesia merujuk pada lembaga legislatif dan eksekutif, yaitu sedikit orang yang mendapat amanah sebagai wakil rakyat dan pemimpin dalam melaksanakan tugasnya harus mengutamakan kemaslahatan bersama dengan berlandaskan musyawarah.

Praktik seperti ini juga sudah lama diterapkan dalam Islam, utamanya pada saat Umar bin Khattab membentuk sebuah komite yang dinamakan Ahlul Halli wal Aqdi untuk menentukan khalifah penggantinya. Dengan kata lain, prinsip yang diusung pada sila keempat sejalan dengan praktik Sahabat Nabi saw. dan umat Islam di Indonesia.

Kelima, sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan gambaran cita-cita bangsa yang menghendaki agar setiap warga negaranya bersikap, bertindak dan mendapatkan keadilan secara sosial. Sila kelima ini juga menjadi acuan dalam merumus kebijakan dan program kerja. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar ajaran Islam yang menghendaki adanya pemerataan kesejahteraan.

Untuk itu, kewajiban berlaku adil dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan hubungan antar sesama, namun juga dalam kegiatankegiatan ekonomi, pelayanan kepada masyarakat, pemerintahan, pemberian hukuman dan penghargaan. Firman Allah dalam surah an-Nahl ayat 90 yang dengan tegas memerintahkan untuk senantiasa berlaku adil dan berbuat baik serta mengusahakan terwujudnya pemerataan dengan saling memberi antar satu sama lain, utamanya kepada pihak-pihak yang memang membutuhkan.

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa substansi nilai-nilai Pancasila secara tidak langsung menunjukkan nilai-nilai Islam yang hidup (living values) di kalangan Muslim Nusantara.

Nilai-nilai tersebut meliputi kepercayaan akan adanya Tuhan dan kemahakuasaan-Nya, sikap dan prilaku proporsional serta kesediaan untuk hidup harmonis bersama tanpa memandang identitas yang berbedabeda, mengutamakan musyawarah dengan asas maslahat dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup masyarakat dan harapan akan terwujudnya distribusi keadilan yang merata bagi seluruh warga negara.

Pengamalan nilai-nilai Pancasila akan memupuk tumbuh suburnya Islam ala Indonesia yang ramah bagi semua suku, bangsa dan agama lainnya serta terwujudnya suatu bangsa yang hidup bersama secara harmonis dan sejahtera dalam keragaman.

Dhiaul Haq Mahmudi

Mahasiswa S1 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Perbandingan Madzhab

Kontributor

  • Redaksi Sanad Media

    Sanad Media adalah sebuah media Islam yang berusaha menghubungkan antara literasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Mengampanyekan gerakan pencerahan melalui slogan "membaca sebelum bicara". Kami hadir di website, youtube dan platform media sosial.