Sayyiduna Nabi Muhammad Saw. berada dalam penjagaan Allah.
Datanglah ‘amul huzn (tahun kesedihan) setelah
wafat sang istri yang dikasihi, Sayyidah Khadijah ‘alaihassalam, yang
meninggalkan beberapa anak, sedangkan Sayyiduna Nabi memikul tanggung jawab
risalah dan menghadapi berbagai permusuhan. Begitu banyak derita periode Makkah,
keadaan sulit dari berbagai arah.
Di rumah penuh dengan 5 anak sementara di luar penuh
dengan musuh-musuh.
Tidak ada dada yang penuh kasih sayang untuk beliau
kecuali Sayyidah Khadijah, maka beliau sangat merasa kehilangan.
Di bagian luar, ada sang paman yang berusaha menjaga.
Bahkan demi menjaga itu, sang paman tidak mau menampakkan keimanan, beliau
tidak mengatakan secara terang-terangan demi menjaga kehormatan keponakan. Beliau
memerintahkan istri dan anak-anak untuk beriman.
Makanya dalam pandangan mazhab kita: beliau adalah
mukmin yang bukan muslim.
Kalau kamu membaca syair beliau, maka kamu akan tahu
hal itu.
Beliau mengatakan pada anak-anak beliau, “Ikuti sepupu
kalian, dia tidak berdusta.”
Tapi beliau memilih untuk tidak mengucapkan secara
terang-terangan karena itu ijtihad beliau sendiri yang menganggap pilihan itu
berguna.
Ijtihad itu bisa benar dan bisa saja salah, tapi
ijtihad itu tidak menafikan keimanan di hati.
Keimanan menghalangi dari keabadian di neraka.
Dan ketidakislaman menghalangi untuk masuk surga dalam
golongan faizin (orang-orang beruntung). Dalam artian, masuk neraka yang
kemudian ke surga.
Sayyiduna Nabi Muhammad saw. kehilangan istri tercinta.
Kemudian setelah beberapa bulan, beliau kehilangan paman yang mulia. Tahun itu
dinamai beliau sebagai ‘amul huzn (tahun kesedihan).
Lihat, bagaimana Allah menghibur hati kekasih-Nya?
“Apabila dunia sempit untukmu wahai Kekasih-Ku,
maka kekuasaan-Ku sangat luas.”
Allah swt. menganugerahi Isra dan Mikraj untuk menghibur
beliau dan menunjukkan bahwa beliau selalu
dalam penjagaan-Nya.
Maka ketika Allah menyempitkanmu pada suatu hal, maka
Allah meluaskan untukmu segalanya.
Isra dan Mikraj terjadi pada tahun kesedihan sehingga beliau berada di atas segalanya,
berada paling dekat di posisi yang tidak diciptakan hanya untuk satu ciptaan-Nya,
tidak untuk malaikat, juga tidak untuk nabi lain.
فَكَانَ
قَابَ قَوۡسَیۡنِ أَوۡ أَدۡنَى
Aw dalam ayat itu berarti
“bal” (tapi), menggunakan aw untuk merahasiakan posisi tinggi ini dari
orang-orang yang berakal sempit.
Aw bermakna bal banyak ditemukan
di al-Quran, dipahami oleh para ulama ahli bahasa Arab seperti:
أَفَإِی۟ن
مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ
Apakah jika wafat di kasur bahkan dibunuh
secara hakikat karena beliau wafat dengan pengaruh racun Khaibar?!
وَلَا
تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِینَ قُتِلُوا۟ فِی سَبِیلِ ٱللَّهِ أَمۡوَ ٰتَۢاۚ بَلۡ أَحۡیَاۤءٌ عِندَ
رَبِّهِمۡ یُرۡزَقُونَ
Beliau syahid, hidup dan diberi rezeki. Para nabi juga
hidup di dalam kubur-kubur mereka, lalu bagaimana dengan sang pemimpin mereka?
Tentu lebih mulia lagi.
Sebagaimana kehidupan baru itu lebih kuat daripada
kehidupan duniawi yang membutuhkan berbagai syarat penunjang seperti makanan,
minuman dan lain-lain termasuk tidur. Sementara kehidupan baru itu terjaga
tanpa tidur dan kelalaian.
قَالَ
لَوۡ أَنَّ لِی بِكُمۡ قُوَّةً أَوۡ ءَاوِیۤ إِلَىٰ رُكۡنࣲ شَدِید
Aw di ayat itu juga berarti bal.
Dan ruknun syadid adalah Allah, sebagaimana yang disampaikan oleh
Sayyiduna Rasulullah saw. Beliau menjelaskan itu agar tidak ada yang salah paham
sehingga mengira kalau ada Nabi yang berlari pada makhluk.
Beliau menjaga kehormatan para nabi karena cahaya mereka
bersumber dari beliau. Beliaulah yang membangun rumah kenabian.
“Perempumaan aku dan para nabi adalah
seseorang yang membangun rumah dan mempercantiknya kecuali satu labinah sampai
orang-orang takjub dan mengatakan, ‘Alangkah indahnya rumah ini seandainya ada
yang meletakkan labinah di tempat itu.’ Akulah labinah itu.”
Labinah itu bukan berarti satu batu di bangunan tetapi
batu nama pemilik rumah.
Jadi orang-orang tidak mengetahui siapa pemilik rumah
sebenarnya, yaitu sumber kehebatan para nabi.
Nabimu yang penuh penjagaan-Nya, pada tahun kesedihan,
diberi anugerah Isra dan Mikraj, suatu perjalanan yang tidak terjadi pada seorang
pun selain beliau.
Para Nabi terdahulu mengalami Isra dan Mikraj tapi
secara tidur, sementara Nabi kita secara
sadar. Sebelumnya sudah beberapa kali, hal itu terjadì dalam tidur untuk
menyiapkan mental beliau agar siap dan tidak keheranan hingga akhirnya terjadi
dalam kondisi terjaga.
وَمَا
جَعَلۡنَا ٱلرُّءۡیَا ٱلَّتِیۤ أَرَیۡنَـٰكَ إِلَّا فِتۡنَةࣰ لِّلنَّاسِ وَٱلشَّجَرَةَ
ٱلۡمَلۡعُونَةَ فِی ٱلۡقُرۡءَانِ
رؤيا dalam
ayat itu adalah secara mimpi.
الرؤية: dalam pandangan mata.
رَأي: dalam pandangan pemikiran.
Jadi mimpi (Isra Mikraj) tidak menjadi suatu hal yang
dipermasalahkan. Yang dipermasalahkan adalah ketika itu adalah suatu kenyataan
(betul-betul terjadi).
Penduduk Makkah mengetahui jalur perjalanan antara
Makkah dan Baitul Maqdis. Mereka menuntut bukti kebenarannya..
Dan masalah Mikraj, mereka tidak menuntut karena mereka
memang tidak mengetahui hal itu dan tidak bisa membuktikan kebenarannya.
Ayat itu tidak membahas perjalanan Isra yang secara nyata
karena itu berbicara mimpi. Sebagian orang lemah bahasanya mengatakan ayat itu
dalil bahwa perjalanan Isra dan Mikraj adalah hanya mimpi.
Padahal dalil perjalanan Isra dan Mikraj Nabi dalam kondisi
sadar dan terjaga adalah:
سُبۡحَـٰنَ
ٱلَّذِیۤ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَیۡلࣰا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ
ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِی بَـٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِیَهُۥ مِنۡ ءَایَـٰتِنَاۤۚ
إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ
‘Abdun artinya hamba;
tidak digunakan kecuali untuk jasad dan ruh, yaitu sempurna.
Perjalanan itu untuk menunjukkan pada beliau semesta di
mana beliau merupakan sumber imdadnya.
Itulah hiburan untuk beliau di tahun kesedihan. Diberi
hadiah shalat.
Beliau berada di posisi yang tidak bisa dijamah oleh
siapapun sampai beliau mendengar gerakan qalam qudrah (pena kekuasaan).
Oleh karena itu, beliau termasuk para nabi mukallamin
(yang berbicara langsung dengan Allah) seperti Nabi Adam, Ibrahim, Musa.
Bedanya, mereka berada di bumi sementara Sayyiduna Nabi saw. dalam posisi
puncak.
Nabi Musa ketika berbicara di gunung Sinai diminta
untuk membuka sandal. Sementara Sayyiduna Nabi saw. tetap dengan sandal beliau. Agar kalian mengetahui
bahwa beliau dalam kesempurnaan penjagaan.
فَإِنَّكَ
بِأَعۡیُنِنَاۖ
Dan ketahuilah bahwa umat beliau pun diberi
penjagaan-Nya karena kita berada di hati beliau. Agar kamu mengetahui
kemuliaanmu, wahai orang muslim dengan menjadi bagian dari agama ini. Kita
berada di zaman yang berusaha membuatmu ragu terhadap agama Islam dan Nabimu,
supaya kamu mensyukuri kenikmatan tertinggi setelah penciptaan adalah
dihidayahi Islam lewat Sayyiduna Nabi Muhammad saw.
Semoga Allah memberi kita manfaat dengan
cahaya-cahayaKekasih kita. Semoga bisa mensyukuri kenikmatan berada di hati beliau
dan semoga Allah menjadikan kita orang yang memang layak untuk anugerah ini.
~ Sebagian khotbah Jumat Maulana Syekh
Yusri Rusydi al-Hasani hafizhahullah pada Jumat, 5 Maret 2021 M.