Film Cairo Conspiracy meraih dua penghargaan sebagai Best Screenplay (naskah terbaik) dalam Cannes Film Festival (Perancis) dan Guldbagge Awards (Swedia). Film ini juga menjadi nominasi di 19 penghargaan lain, termasuk di menjadi nominasi di penghargaan Palme d’Or (Palem Emas), sebuah penghargaan tertinggi dalam Cannes Film Festival tahun 2022.
Film Cairo Conspiracy pertama rilis pada Cannes Film Festival 2022, dan baru beberapa hari ini rilis di kanal film-film berbayar di Indonesia. Film berdurasi 1 jam 33 menit ini tersedia subtitle dalam bahasa Indonesia, karena sepanjang film, film ini menggunakan bahasa Arab ‘ammiyah (pasaran) Mesir yang kadang bagi orang yang mampu berbahasa Arab pun susah memahaminya.
Cairo Conspiracy (aka Boy Form Heaven), ketika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia berarti Konspirasi Kairo (alias Bocah Lelaki dari Surga). Sebagaimana lugas dalam judulnya, film ini menceritakan tentang konspirasi yang terjadi di Kairo. Sebuah konspirasi untuk menyukseskan rencana suksesi seorang pemimpin tertinggi agama Islam di Mesir, yang pengaruhnya terhadap tatanan masyarakat muslim global.
Sebagaimana judul lain dalam film ini (Boy from Heaven), film ini berpusat pada cerita seorang anak lelaki yang berasal dari desa yang berperan besar dalam sebuah konspirasi. Konspirasi yang diceritakan dalam film ini bukan sembarang konspirasi, tetapi tentang pengangkatan Grand Syaikh/Grand Imam atau dalam bahasa Arab disebut Al-Imam Al-Akbar Al-Azhar Asy-Syarif. Tapi perlu digarisbawahi, film ini adalah cerita fiksi, bukan cerita nyata, atau diangkat dari kisah nyata. Meski jabatan yang diperankan oleh para karakter dalam film ini memang benar-benar ada. Namun tak sesederhana yang diceritakan oleh Tarik Saleh.
Al-Azhar adalah pusat pendidikan Islam Sunni tertua dan terbesar di dunia. Al-Azhar memilliki institusi pendidikan dari jenjang paling rendah, hingga paling tinggi. Al-Azhar telah menelurkan banyak sekali tokoh masyarakat, terutama tokoh keagamaan Islam di berbagai belahan dunia. Kiprah Al-Azhar sudah tidak bisa dipungkiri sepanjang jaman.
Dalam film ini, Al-Azhar sebagai pusat pendidikan Islam dunia cukup ringkas namun tegas digambarkan, cara Tarik Saleh, sang sutradara dalam menggambarkan keagungan Al-Azhar sebagai sebuah lembaga pendidikan yang mulia cukup sederhana namun mengena. Beberapa kali diungkapkan dalam dialog beberapa karakter film ini bahwa Al-Azhar adalah menara ilmu (umat Islam). Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan bukan hanya memiliki institusi pendidikan keagamaan Islam saja, namun berbagai ilmu-ilmu yang dianggap non keagamaan, seperti ilmu kedokteran dan teknik juga terdapat di Al-Azhar. Bisa dibilang, Al-Azhar adalah bagian dari bangunan peradaban Mesir, bahkan peradaban muslim dunia. Sehingga wajar, suksesi pemimpin tertinggi di lembaga Al-Azhar bukan hal yang biasa saja, namun hal yang luar biasa, istimewa, dan tentunya ada terdapat berbagai kompromi dalam prosesnya.
Grand Syaikh atau Grand Imam Al-Azhar adalah jabatan yang sudah ada sejak abad 17 M, sudah hampir 4 Abad lebih jabatan ini ada. Syaikh Usamah Sayyid Al-Azhari, salah satu ulama kenamaan Mesir, mengungkapkan dalam bukunya Jamharah Al-A’lam Al-Azhar Asy-Syarif (2019) bahwa jabatan Syaikhul Azhar (Grand Syakh), adalah jabatan tertinggi dan paling mentok dalam keulamaan Al-Azhar, bahkan untuk masyarakat muslim secara luas. Karena Syaikhul Azhar akan memimpin lembaga pendidikan kesilaman tertua dan terbesar di dunia.
Syaikh Usamah juga mengutip perkataan Dr. Ashem Ad-Dasuqi bahwa jabatan Syaikhul Azhar adalah kedudukan tertinggi dalam lembaga keagamaan di Mesir, jabatan ini sama halnya dengan jabatan Syaikhul Islam pada masa dinasti Turki Ustmani. Otoritas dan power (kekuatan) yang dimiliki oleh seorang Syaikhul Azhar sangat berpengaruh pada stabilitas masyarakat Mesir, dan masyarakat muslim dunia pada umumnya. Sehingga adanya suksesi pada jabatan ini memang tidak bisa hanya dipandang sebagai sebuah pergantian pimpinan lembaga saja, namun juga berkaitan dengan keamanan nasional negara Mesir. Seperti diungkapkan oleh salah satu karakter jenderal yang ada dalam film ini bahwa suksesi Grand Syaikh adalah perkara keamanan nasional.
Namun menariknya, dalam film ini diceritakan bahwa pemerintah (dalam hal ini Keamanan Nasional – State Security) tidak ingin terlihat terlibat langsung dalam proses suksesi, meski memiliki misi dan kepentingan terhadap terpilihnya salah satu kandidat. Sehingga cerita yang ditawarkan dalam film ini adalah sebuah konspirasi untuk menyukseskan salah satu kandidat melalui peran seorang murid Al-Azhar baru bernama Adam yang menjadi “mata-mata” atau dalam film ini disebut sebagai “malaikat” demi terwujudnya kepentingan tersebut.
Adam, seorang mahasiswa baru yang mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Al-Azhar dianggap menjadi sosok yang mampu menjalankan tugas spionase pemerintah dalam lembaga Al-Azhar, karena ia bersih dari afiliasi terhadap gerakan terlarang di Mesir seperti Ikhwanul Muslimin.
Adam adalah anak seorang nelayan pinggiran dari daerah Manzala, provinsi Daqhalia, wilayah bagian utara Mesir yang memiliki danau dan berbatasan langsung dengan laut mediterania. Ayah Adam adalah seorang nelayan miskin yang tidak mampu baca-tulis. Realita yang diceritakan cukup jujur oleh sang sutradara. Mesir memang memiliki masalah dalam tingkat kemampuan baca tulis rakyatnya, tingkat ketidakmampuan baca tulis di Mesir masih cukup tinggi hingga sekarang.
Meski sedikit ada kejanggalan seorang mahasiswa baru dapat andil dalam prosesi pemilihan jabatan tertinggi di Al-Azhar, namun sang sutradara cukup bisa memanfaatkan logika kepolosan dan keluguan seorang mahasiswa baru untuk menjadi agen spionase keamanan nasional. Karakter Adam ini juga didukung oleh akting bagus sang pemeran Adam, Tawfeek Bahrom, yang sudah cukup banyak membintangi beberapa judul film dan serial.
Tarik Saleh, sang sutradara yang berkebangsaan Swedia, yang sudah cukup berpengalaman membuahkan karya film bergenre thriller – konspirasi – dan spionase, dalam film ini cukup berhasil menghantarkan cerita konspirasi tersebut. Meski dalam senyatanya, pemilihan Grand Syaikh tidak berproses demikian.
Namun dengan cara Tarik Saleh menyuguhkan logika cerita, serta memanfaatkan ketidaktahuan para penonton dalam proses asli pemilihan Grand Syaikh Al-Azhar, Tarik Saleh cukup memuaskan menghantarkan sebuah cerita konspirasi dalam pemilihan jabatan tinggi dan prestisius yang bersinggungan langsung dengan politik dan keamanan negara.
Film bergenre thriller ini cukup apik dan epik dikemas oleh Tarik Saleh, tanpa perlu adegan yang memompa jantung, tapi emosi penonton diajak berjalan-berjalan seperti menelusuri labirin.
Tarik Saleh juga berhasil memberikan kejutan di akhir plot yang tidak begitu bisa diperkirakan sepanjang cerita. Tarik Saleh juga berhasil menyiasati pengambilan gambar yang tidak dilakukan di Kairo, Mesir secara langsung, mengingat Tarik Saleh termasuk daftar yang dicekal untuk menginjakkan kaki di Bumi Kinanah sejak tahun 2015.
Pengambilan gambar film dalam agedan-adegan pengajaran dan proses pembelajaran dalam film ini dilakukan di Hagya Shophia (Blue Mosque), Turki. Bagi yang pernah mengenyam pendidikan di Al-Azhar, mungkin suasana pembelajaran di Universitas Al-Azhar masih kurang terasa vibes dan hype-nya. Hiruk pikuk suasana kelas Al-Azhar di bangunan-bangunan tuanya, serta suasana ramai masjid Al-Azhar Kairo memang tidak terlalu bisa digambarkan.
Suasana Kairo yang sepotong-potong dalam pengambilan gambar, betul-betul terkesan hanya seperti gambar “curian” yang direkam diam-diam di sela-sela perjalanan dan jalanan di kota Kairo. Meski begitu, hype suasana kota Kairo cukup bisa didapatkan, meski tidak dalam.
Bagi saya, keputusan untuk mengambil tempat pengambilan gambar di Turki untuk menguatkan bahwa film ini benar-benar fiksi, bukan diangkat dari kisah nyata. Tidak terbayang rasanya bila shooting film ini dilakukan di Mesir secara langsung, dengan berbagai suasana asli Al-Azhar. Bisa jadi membawa para penonton mengira bahwa film ini adalah kisah nyata.
Film ini cukup berani dan lugas sekali dalam mengisahkan bagaimana pemerintah ikut campur dalam pemilihan jabatan keagamaan di Mesir. Melalui berbagai setting ruangan yang menempatkan foto Presiden Mesir, Abd el-Fatah As-Sisi yang sangat besar yang terulang, dan dengan dialog-dialog yang menunjukkan keinginan pemerintah dalam pemilihan Grand Syaikh Al-Azhar yang diungkapkan oleh karakter Jenderal Al-Sakran.
Salah satu dialog yang cukup menggelitik adalah ketika Jenderal Al-Sakran mengkritik peraturan durasi jabatan Grand Syaikh Al-Azhar yang seumur hidup, Al-Sakran menyatakan bagaimana bisa ada “dua Fir’aun” dalam satu negara. Kata-kata dua Fir’aun ini menunjuk pada Sang Presiden, Abd el-Fattah As-Sisi, dan Grand Syaikh Al-Azhar yang memiliki durasi jabatan seumur hidup. Perlu dipahami bahwa Fir’aun pada kata-kata Jenderal Al-Sakran ini bukan Fir’aun dalam konotasi negatif yang dipahami oleh kebanyakan muslim di Indonesia bahwa Fir’aun adalah musuh Nabi Musa A.S. Fir’aun adalah gelar jabatan untuk raja-raja pada jaman Mesir kuno, terdapat gelar Fir’aun I, II, dan seterusnya. Jadi tidak selamanya gelar Fir’aun itu berarti pemimpin yang tirani dan semena-mena seperti diceritakan dalam berbagai kisah Nabi Musa saja.
Bagi sebagian kalangan, mungkin film ini memang cukup menyinggung perasaan beragama. Karena film ini menyoal tentang proses tentang pemimpin tertinggi agama Islam di Mesir yang berpengaruh pada masyarakat muslim dunia. Namun tenang saja, proses pemilihan Grand Syaikh aslinya tidak semacam itu, bahkan para kandidatnya, tidak sebermasalah yang diandaikan oleh Tarik Saleh.
Kandidat Grand Syaikh biasanya memang para ulama “sepuh” atau yang disepuhkan, serta memiliki keadalaman ilmu serta akhlak yang baik. Meski tidak bisa dipungkiri, bahwa penunjukan Grand Syaikh Al-Azhar memang dekat dengan lingkaran politik. Tapi semua itu sesuai dengan argumen yang terdapat di dialog dalam film ini yang diungkapkan oleh Grand Syaikh terpilih, “hal yang baik untuk Al-Azhar harus pula baik untuk negara, dan hal yang baik untuk negara, juga merupakan hal yang baik untuk Al-Azhar. Agama dan negara harus bekerja sama untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.”
Dan juga saat Adam menyatakan bahwa “Al-Azhar dan negara tidak boleh berkonflik, bisa menimbulkan perang saudara.” Pernyataan ini bisa dibenarkan, karena negara dan agama bukanlah dua hal yang perlu ditarungkan dalam konflik. Begitu pula dua pemangku otoritas ini: otoritas keagamaan dan otoritas pemerintahan harus berjalan berdampingan membangun peradaban.
Sebenarnya masih cukup banyak hal tentang suasana ke-Al-Azhar-an yang masih kurang mendalam di film ini, mengingat pengambilan gambar memang tidak dilakukan di Mesir langsung. Terlebih suasana talaqqi (pengajian) di Masjid Al-Azhar, yang di film ini menggunakan Hagia Sophia yang dianggap sebagai masjid Al-Azhar tetap kurang mengena.
Proses talaqqi dalam film ini hanya memberikan gambaran pengajian ceramah dan halaqah Al-Qur’an, padahal talaqqi di masjid Al-Azhar juga didominasi oleh pengajian khazanah literatur klasik. Tapi wajar, menemukan pemeran untuk memerankan membaca khazanah literatur klasik memang tidak mudah.
Dari sisi tempat, bagi yang pernah menginjakkan kaki di Masjid Al-Azhar, dan yang mengenal betul khas menara Al-Azhar yang memiliki dua tower silinder dan dua kubah kecil di atasnya, penggunaan Hagia Sophia bisa jadi tidak bisa menggantikan kekhasan masjid Al-Azhar.
Begitu pula adegan sholat Subuh yang hanya diikuti oleh sekelompok gank Ikhawanul Muslimin, sangat jauh berbeda dengan suasana shalat sehari-hari di masjid Al-Azhar. Tapi detail semacam ini tidak perlu diperdebatkan terlalu jauh, karena detail semacam ini hanya bisa dirasakan bagi orang-orang yang rindu hiruk pikuk suasana pembelajaran di Al-Azhar, lagipula film ini hanya fiksi.
Terlepas dari kenyataan bahwa film ini adalah fiksi, satu hal yang cukup mengena dari film ini adalah tentang kompromi dalam jabatan. Sekecil apapun sebuah jabatan – termasuk jabatan keagamaan – pasti politis: memiliki potensi memiliki kekuatan (power), otoritas, dan harga tawar-menawar.
Semakin besar dan tingi jabatan, maka semakin besar pula harus bernegosiasi secara politis. Dan tidak selamanya yang berkaitan dengan politik itu kotor serta tak baik. Karena sebagaimana para ulama jaman dahulu memahami politik dalam bahasa Arab yang menggunakan kata “sāsa – yasūsu – siyāsatan” yang jika dialihhasakan bermakna strategi, dan diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata “siasat”. Kompromi dalam jabatan selayaknya bukan sekedar tentang siapa, namun tentang mengapa dan untuk apa: demi kemaslahatan dan kebaikan dunia-akhirat.
Selamat menonton dan menikmati tontonan.