Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Jalan-Jalan dalam Tradisi Muhadditsin

Avatar photo
33
×

Jalan-Jalan dalam Tradisi Muhadditsin

Share this article

Pandemi Covid-19 memang mengekang berbagai aktifitas kita, terutama jalan-jalan dengan tujuan menikmati keindahan alam, pantai, hutan, tempat wisata maupun yang lainnya. Walaupun sudah diberikan pelonggaran, efek yang muncul sejak awal pandemi membuat banyak orang menjadi lebih berhati-hati, ada yang was-was, ada pula yang takut berlebihan. Tak dapat dipungkiri, tradisi kita ini berkurang drastis. Padahal tiap tahun, bahkan bulan, aktivitas ini menjadi bagian rancangan hidup dari generasi manusia modern.

Beda masa, beda pula cara menikmati dan memaknai jalan-jalan. Abad ke-II Hijriyah adalah tonggak awal kodifikasi hadis. Saat itu, sebagai khalifah yang cinta dengan ilmu, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan Ibnu Syihab Az-Zuhri (w. 124 H) untuk ‘jalan-jalan’ mengumpulkan mutiara-mutiara Nabi yang tercecer seantero Arab. Para sahabat telah wafat satu persatu. Sedangkan generasi tabi’in dan tabi’ tabi’in senantiasa menanti jejak dan petuah Nabi yang ditinggalkan melalui sabda-sabdanya kepada para sahabat.

Walaupun hasilnya tidak berwujud dalam buku utuh, namun sumbangsih pemikiran dari sang Khalifah sangat luar biasa karena berani mendobrak ketakutan-ketakutan yang menghinggapi para sahabat dan tabi’in untuk tidak menuliskan selain Al-Qur’an. Hal tersebut dikarenakan kekhawatiran akan adanya percampuran (iltibas) antara Kalam Allah dengan sabda Nabi.

Imam Malik bin Anas (w.179 H) adalah muhaddits pertama yang melaksanakan tradisi jalan-jalan dan berhasil menulis kitab al-Muwattha’. Keberhasilannya dalam menulis kitab ini tidak terlepas dari dorongan Abu Ja’far Al-Mansyur, khalifah dinasti Abbasiyah yang menjadi pelopor bangkitnya keilmuan Islam.

Secara geografis, ekspedisi keilmuan Imam Malik memang tidak keluar dari kota Madinah. Namun pengembaraan Imam Malik yang getol dalam menuntut ilmu menjadikannya sebagai murid yang mempunyai 900 guru; 300 dari golongan tabi’in dan 600 dari tabi’ tabi’in. Jumlah yang fantastis jika dibandingkan dengan guru/ustadz/kyai yang kita miliki saat ini. Di samping itu, penamaan Al-Muwattha’ yang artinya ‘disepakati’ merupakan kitab Hadis dan Fikih yang telah disepakati oleh 70 gurunya di Madinah.

Baca juga: Traveling Ala Kaum Sufi

Tradisi Jalan-jalan Mencari Hadis

Tradisi bepergian dalam pengembaraan hadis tidak berhenti pada satu abad saja. Abad ke-III jauh lebih menyenangkan. Karena Imam Al-Bukhari (w.256 H) memulai perjalanannya ke berbagai negara untuk mempertegas status hadis, perawi maupun sanadnya.

Imam Bukhari memulai petualangan dalam mempelajari hadis sejak usia 16 tahun. Dengan suka cita, ia keluar-masuk ribuan perkampungan. Menelusuri ratusan kota. Berpindah dari satu negara ke negara lainnya demi menyisir matan-matan hadis nabi Muhammad sekaligus meneliti perawi dan sanadnya. Tidak berakhir sampai disitu, pengembaraan spektakuler Imam Bukhari adalah saat menempuh jarak antara Mesir dan Khurasan (Iran). Hampir 3000 km. Perjalanan udara tanpa transit membutuhkan waktu sekitar 7 jam. Kita bisa bayangkan, jika naik onta atau berjalan kaki untuk menempuh perjalanan tersebut bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Rihlan jalan-jalan Imam Al-Bukhari. Di antara daerah yang dikunjunginya adalah Khurasan, Irak, Mesir dan Syam

Namun kegigihannya berbuah manis. Imam Bukhari mampu mengumpulkan tidak kurang dari 600.000 hadis. Jumlah sebanyak itu kemudian dipilah dan disusun dalam kitabnya yang fenomenal berjudul ‘Shahih Al-Bukari’ sebanyak kurang lebih 7000 hadis. Sehingga ia dinobatkan sebagai muhadits pertama yang diakui keshahihan hadisnya dalam berbagai aspek hingga saat ini.

Muhaddits yang tidak kalah tenar dengan jalan-jalannya adalah Imam Muslim (w.261 H). Memulai perjalanannya dari remaja, ia berpetulang mempelajari Hadis dari Naisabur, tempat asalnya di Iran. Setelah itu, perjalanan panjangnya tidak terbendung hingga ke berbagai pelosok daerah, kota hingga sampai ke Irak, Suriah, Hijaz (Arab Saudi) bahkan sampai ke Mesir. Ekspedisi Imam Muslim menghasilkan karya ‘Shahih Muslim’ yang juga diakui keshahihannya.

Baca juga: Memotret Mezquita de Cordoba, Mengenang Sang Elang Andalusia

Sosok Imam Muslim sangat menghormati Imam Bukhari sebagai guru. Karya mereka diakui dan dinobatkan sebagai ‘shahihain’ dalam kitab hadis. Artinya kedua kitab tersebut merupakan rujukan utama dalam hadis yang merupakan sumber kedua dalam Islam. Bahkan jika ada periwayatan yang sama dari keduanya, biasanya ditulis muttafaq ‘alaih. Dimana penisbatan kata tersebut, perawinya akan ditujukan kepada keduanya. Sungguh perjalanan yang luar biasa dengan hasil yang menakjubkan.

Tradisi jalan-jalan yang membuat iri generasi setelahnya. Barangkali para muhadditsin juga menikmati indahnya gurun, pantai dan alam layaknya kita berwisata. Namun tujuan dari jalan-jalan mereka menghasilkan karya, bukan sekadar menghilangkan penat. Kita memang harus meneladani mereka dalam urusan ini. Agar perjalanan kita tidak sia-sia dan keluar dari koredor hadis Nabi: “Barang siapa yang mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya menuju surga.”. Wallahu A’lamu Bisshawab.

Kontributor

  • Andi Luqmanul Qosim

    Mengenyam pendidikan agama di Ta'mirul Islam Surakarta dan Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai pengajar di Fakultas Syariah IAIN Salatiga dan Guru Agama di SMAN 1 Parakan Temanggung.