Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Jihad qadha’ puasa menjelang Ramadhan

Avatar photo
19
×

Jihad qadha’ puasa menjelang Ramadhan

Share this article

Ramadhan tahun 1443 H tinggal menghitung hari. Lebaran seperti baru berlangsung bulan kemarin. Eh, puasa sudah datang lagi.

Yang terbiasa menonton televisi, rasanya tidak asing menyaksikan iklan ‘sirup Marjan’. Pertanda Ramadhan akan datang. Beberapa tahun belakangan, iklan tersebut menampilkan para pendekar tangguh.

Mereka diibaratkan sebagai hamba Allah yang sedang berpuasa. Kuat, tangguh dan energik. Kuat menjalani puasa selama sehari penuh, tangguh menahan godaan hawa nafsu dan energik dalam menghidupkan malam-malam Ramadhan.

Barangkali semacam itu pemahaman para ahli media pertelevisian dan periklanan menggambarkan hadis Nabi yang sering disampaikan di bulan Ramadhan. Man shâma ramadhâna îmânan wah tisâban ghufiro lahû mâ taqaddama min dzanbihi. Dalam riwayat lain menggunakan redaksi ‘man qâma’.

Pada dasarnya, kaum muslimin yang beriman kuat akan memaksimalkan waktu di bulan Ramadhan untuk beribadah. Baik mahdhah maupun ghairu mahdhah. Hal ini lantaran pahalanya yang dilipatgandakan dibandingkan di bulan-bulan yang lain. Maka fenomena fastabiqul khairât sangat mudah dijumpai saat-saat seperti ini.

Namun, kita tidak bisa mengesampingkan kaum muslimin yang tidak bisa memaksimalkan ibadahnya di bulan Ramadhan, khususnya berpuasa. Karena sebagian dari kaum muslimin ada yang berhalangan dalam melaksanakan puasa. Mereka mampu berpuasa namun ada uzur. Misalnya para wanita yang setiap bulan mempunyai siklus menstruasi. Pastinya ada beberapa hari puasanya yang ‘bolong’.

Ada juga yang sakit saat Ramadhan. Saat sehat, mereka berpuasa. Namun karena sakit yang membahayakan dirinya, akhirnya tetap harus makan dan minum demi memulihkan kondisi fisiknya. Ada pula yang melaksanakan perjalanan jauh. Terpaksa tidak berpuasa karena payah saat melakukan perjalanan. Dan barangkali ada alasan-alasan lain bersifat personal yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an dan hadis.

Sebagai kaum muslimin, mereka wajib meng-qadha’ (ganti) puasa yang ditinggalkan pada hari lainnya. Betul alasan-alasan di atas merupakan rukhsah (keringanan), tapi qadha’ puasa merupakan pengganti ‘hutang’ yang belum lunas pada Ramadhan sebelumnya. Hal tersebut tidak terlepas agar keafdhalan Ramadhan tahun ini tetap terjaga saat hutang-hutangnya telah lunas.

Masa paling rawan yang sering digunakan untuk mengganti puasa adalah bulan-bulan menjelang Ramadhan. Yaitu bulan Rajab dan Sya’ban. Bulan Sya’ban jauh lebih rawan karena jumlah harinya terkadang hanya sampai 29. Apalagi sidang Isbat penentuan awal Ramadhan yang dipelopori Kementerian Agama biasa dilaksanakan pada malam 29 Sya’ban.

Qadha’  puasa sebagai jihad nafsi

Kenapa qadha’ puasa disebut jihad? Karena melaksanakan puasa qadha’ kurang ada dorongan eksternal. Keluarga jarang ada yang menemani baik saat sahur maupun berbuka. Apalagi mau mengadakan acara ‘bukber’ bareng kawan-kawan, pastinya susah dilaksanakan. Hal ini membuat pelaksanaan puasa qadha’ semakin berat.

Faktanya, banyak di antara kaum muslimin yang masih memiliki hutang puasa. Mereka lantas mengganti puasa yang ditinggalkan dengan berbagai skema. Bulan Sya’ban menjadi alternatif paling diminati. Sebab pada bulan ini banyak keutamaan-keutamaan melakasanakan ibadah. Di antaranya puasa Nishfu Sya’ban atau puasa pada tanggal 15 Sya’ban.

Banyak kaum muslimin memilih hari ini untuk mengganti puasanya yang dibarengkan dengan puasa sunnah. Boleh ataukah tidak? Boleh asalkan mendahulukan niat dalam mengganti puasa. Toh urusan pahala menjadi hak prerogratif Allah semata. Lantas sisa hutang puasanya disempurnakan setelah puasa ini. Akhirnya lunas.

Walaupun qadha’ puasa seperti ini ada yang menghukumi makruh atas dasar hadis Nabi: “Tidak ada puasa setelah pertengahan Sya’ban sampai datangnya Ramadhan.” Namun ada juga yang membolehkan. Sebab hadis ini lebih dikhususkan untuk puasa Sunnah. Sedangkan qadha’ puasa hukumnya adalah wajib.

Di samping itu, ada hadis dari Ummu Salamah yang menyampaikan: “Aku belum pernah melihat Rasulullah berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali puasa Sya’ban dan Ramadhan.” Ibnu Umar juga menguatkan hadis ini dengan menyampaikan hal serupa bahwa Rasulullah pernah menyambung puasa Sya’ban dengan Ramadhan.

Barangkali alternatif lainnya lebih longgar waktunya. Qadha’ puasa bisa dilaksanakan pada bulan Syawwal. Mumpung perut masih terbiasa merasakan lapar, qadha’ puasa dilakukan setelah hari raya. Kebiasaan ini dilaksanakan sekaligus berbarengan dengan puasa Syawwal yang disunnahkan selama 6 hari. Bisa dilakukan secara berturut-turut setelah lebaran, maupun tidak. Yang penting masih dilaksankan di bulan Syawwal.

Bagi yang terbiasa puasa Senin/Kamis, atau puasa Daud, maka mengganti puasa bukanlah hal yang sulit. Kebiasaan hamba Allah yang seperti ini akan segera mengganti puasa Ramadhan yang terlewati. Walaupun tidak sama suasananya, namun melaparkan perut telah menjadi kebiasaan demi menjalankan sunnah Nabi.  

Sejatinya, perut manusia memang harus merasakan kenyang dan lapar. Saat kenyang, dia bisa bersyukur kepada Allah dengan mengucapkan alhamdulillah atas nikmat makanan dan minuman yang diberikan kepadanya. Sebaliknya saat lapar, dia bisa merasakan penderitaan orang-orang di luar sana yang masih serba kekurangan. Dengan demikian, dia bisa berbagi kepada sesama.

Qadha’ puasa menjelang Ramadhan adalah sesuatu hal yang tidak mudah. Walaupun masyarakat Indonesia mayoritas muslim, namun melaksanakan puasa di tengah-tengah orang yang tidak berpuasa menjadi tantangan tersendiri. Hal ini yang membuat qadha’ puasa menjelang ramadhan sebagai jihad nafsi, yaitu jihad yang membutuhkan dorongan kuat dari dalam diri sendiri. Wallâhu a’lam.

Kontributor

  • Andi Luqmanul Qosim

    Mengenyam pendidikan agama di Ta'mirul Islam Surakarta dan Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai pengajar di Fakultas Syariah IAIN Salatiga dan Guru Agama di SMAN 1 Parakan Temanggung.