Menurut sebuah riwayat, Imam al-Farra’ an-Nahwi pernah
mengatakan, “Siapa yang piawai dalam satu ilmu maka ilmu-ilmu lain akan
mudah bagi dirinya.”
Atas pernyataan ini, Muhammad bin al-Hasan al-Qadhi, sepupu al-Farra’
dari ibunya (ibnu khalatihi), mengatakan padanya saat menghadiri majelisnya:
“Engkau sangat piawai dalam ilmumu (bidang nahwu), sekarang
perhatikan masalah berikut yang saya ajukan kepadamu, di luar bidang ilmumu:
apa pendapatmu mengenai seseorang yang lupa dalam shalatnya lalu ia sujud
sahwi. Kemudian, dalam sujudnya ini ia juga lupa. (Apakah ia sujud sahwi untuk
kedua kalinya?)
“Dia tidak harus melakukan apapun (termasuk sujud sahwi kembali),”
jawab al-Farra’.
“Kenapa bisa demikian?”
“Taṣġīr, menurut kami (para ahli nahwu), tidak bisa di-taṣġīr.
Begitu pula lupa (sahwu) dalam sujud sahwi tak bisa “ditambal” dengan sujud
sahwi yang lain. (Sujud sahwi sebagai tambalan terhadap kesalahan dalam salat
jika difungsikan untuk kesalahan dalam sujud sahwi) sama dengan taṣġīr
pada isim taṣġīr. Sujud sahwi berfungsi menambal kesalahan dalam shalat,
dan tambalan tak bisa ditambal. Sama dengan isim taṣġīr tak lagi bisa di-taṣġīr.”
“Saya rasa tak akan ada perempuan yang melahirkan orang secerdas
dirimu!” kata al-Qadhi Muhammad bin al-Hasan.[1]
***
Ahli fikih juga memiliki kaidah yang bunyinya berirama: “Al-Masyġūl
lā yusyġal,” yang telah terisi tidak bisa diisi kembali, atau yang telah sibuk
tak dapat diisi dengan kesibukan yang lain.
Ada beberapa contoh, di antaranya:
– Seseorang yang manggadaikan barang sebagai jaminan hutang
kepada orang lain, maka ia tak berhak menggadaikannya kembali kepada yang
lainnya. Barang yang telah digadaikan sebagai jaminan telah penuh dengan satu
fungsi, maka ia tidak bisa diisi dengan fungsi yang sama.
– Imam az-Zaila’i menjelaskan, air jika hanya cukup untuk minum
sebagai kebutuhan pokok, maka tak boleh difungsikan sebagai air wudhu. Air ini
telah dipenuhi dengan fungsinya, maka tidak boleh difungsikan untuk yang
lainnya. Oleh karena itu, boleh melakukan tayamum meski ada air jika hanya
cukup untuk minum. [2]
Tampaknya, kaidah ini juga populer dalam ilmu tasawuf. Imam al-Qusyairi
dalam Risalahnya mengatakan, “(Syahwat-syahwat) yang bermunculan tak akan mampu
mempengaruhi diri seorang sufi.”
Imam Zakariya Al-Anshari dalam Syarahnya menyampaikan, hal itu
karena ia menjauh dari syahwat-syahwat tersebut dengan menyibukkan diri dengan
Tuhannya.
Al-‘Arusi dalam Hasyiahnya memberi catatan: “Al-Masyġūl lā
yusyġal,” [3]: jiwa yang telah terisi dengan kesenangan bersama Tuhannya
tak dapat diisi dengan syahwat-syahwat yang lain.
[1] Al Imām Asy Syāṭibī, Al Muwāfaqāt, jilid 1, hal. 117-118.
[2] Al Imām Az Zaila’ī, Tabyīn al Ḥaqāīq, jilid 1, hal. 253-254.
[3] Ḥāsyiyah Al ‘Allāmah Al Muṣṭafā Al ‘Arūsī al Musammāh bi
Natāij al Afkār Al Qudsiyyah fī Bayān Syarh Ar Risālah Al Qusyairiyyah li
Syaikh Al Islām Zakariyyā Al Anṣāri, jilid 3, hal. 20
Foto:
Di suatu pagi, kami “sibuk”
mengayuh pedal sepeda mengelilingi sejumlah desa di Sarang: Gunung Mulyo,
Nglojo, Dadap Mulyo, Babak-Tulung, dan kembali ke Gondanrojo. Kami mengunjungi
santri-santri kami di STAI Al Anwar yang sedang ber-KKN. Semoga kami “disibukkan”
dengan hal-hal yang positif, sehingga hal-hal negatif tak mampu menempati jiwa
dan raga kami. Al-Masyġūl lā yusyġal.