Sebuah postingan di
media sosial yang sangat mencengangkan. Bagaimana tidak? Hanya
karena seorang muslim (yang dalam hatinya terdapat keimanan kepada Allah swt.) membaca al-Quran di sisi kubur, ia
dicap sebagai pengikut Yahudi. Lantas, apa sebenarnya hukum membaca Al-Quran di
depan kubur itu sendiri? Apakah haram?
ataukah bida’h dhalalah?
Dalam menjawab sebuah masalah, seyogianya
jawaban tersebut diperkuat dengan sumber-sumber, referensi serta dalil yang kredibel.
Adapun membaca Al-Quran di depan kubur tidaklah tergolong dari perbuatan bid’ah yang dilarang oleh
syariat. Bahkan Rasulullah saw. memerintahkan salah seorang sahabat untuk
melakukannya. Beliau bersabda:
من زار قبر والديه أو أحدهما
في كل جمعة فقرأ عندهما يس غفر له بعدد كل حرف منها
“Barang siapa menziarahi kubur kedua orang tua
atau salah seorangnya setiap Juma’t, lantas ia membaca di sisi kuburnya surat
Yasin, maka Allah akan mengampuni (dosanya) sebanyak huruf dari (surat Yasin).” (HR.
Ibn A’diy)
Lantas, apakah makna dari perintah Rasulullah
saw. kepada sahabatnya (untuk membaca surat Yasin di sisi kubur orang tuanya)
jika hal tersebut merupakan adat serta kebiasaan Yahudi?
Al-Imam Ibnu Hajar
dalam komentarnya terhadap hadits Rasulullah saw.:
فدعا بعسيب رطب فشقه باثنين
ثم غرس على هذا واحدا وعلى هذا واحدا ثم قال لعله أن يخفف عنهما مالم ييبسا
“(Setelah mengetahui akan siksa 2 orang mayat
dalam kubur) Rasulullah saw. meminta pelepah kurma basah, kemudian ia bagi
menjadi 2 dan ia tancapkan masing-masing pelepah ke setiap kubur. Lantas
Rasulullah berkata, ‘Sungguh 2 pelepah ini meringankan (azab 2 mayat tersebut)
selama tidak mengering.” (HR. Bukhari, no: 1378)
Dalam komentarnya,
beliau menyatakan:
واستحب العلماء قراءة القرآن
عند القبر لهذا الحديث لأنه إذا كان يرجى التخفيف بتسبيح الجريد فتلاوة القرآن
أولى والله أعلم
“Dari hadits ini para ulama menyatakan:
kesunnahan membaca Al-Quran di sisi kubur mayat. Jikalau dengan pelepah kurma
saja diharapkan keringanan azab bagi seorang mayat, maka dengan bacaan Al-Quran
(di sisi kuburnya) sungguh lebih utama.” (Fath
Al-Bari, 3:302)
Dalam kacamata ulama fikih, membaca al-Quran di sisi
kubur bukanlah suatu hal yang diharamkan, bukan
pula suatu hal yang tergolong bid’ah dhalalah.
Al-Imam Syarafuddin Yahya an-Nawawi (salah seorang ulama
mazhab syafi’i) menyatakan:
يستحب لزائر القبور أن يقرأ ما تيسر من القرآن
ويدعو لهم عقبها نص. عليه الشافعي واتفق عليه الأصحاب وزاد في موضع آخر: وإن ختموا
القرآن على القبر كان أفضل.
“Dianjurkan bagi setiap peziarah untuk membaca
semampunya dari bacaan Al-Quran (untuk mayat) serta mendoakan mayat. Hal ini
merupakan keputusan dari Imam Syafi’i yang disepakati oleh murid-muridnya.
Kemudian Imam Nawawi melengkapi keterangannya, seraya berpendapat, ‘Justru
lebih utama jika para peziarah mengkhatamkan Al-Quran di sisi kubur.’ (Al-Majmu’,
5:268)
Beralih kita sekarang
untuk menengok pendapat dari salah seorang ulama dari mazhab Hanbali,
yaitu: Al-Imam Ibnu Muflih, dia berpendapat:
لا تكره القراءة على القبر وفي المقبرة ثم قال:
وهو المذهب.
“Tidaklah dimakruhkan membaca Al-Quran di sisi
kubur maupun membacanya di pemakaman. Ini merupakan pendapat dari mazhab
Hanbali.” (Al-Furu’, 2:304)
Jadi kita tanya balik, darimana si pemosting
mengambil hukum keharaman bacaan Al-Quran di sisi kubur?
Akankah dalih sebuah foto kelompok Yahudi yang
membaca kitabnya, cukup untuk memutuskan keharaman bacaan Al-Quran di sisi
kubur kepada seluruh orang muslim dan mengecap mereka sebagai pengikut yahudi?
Apa ada mazhab baru yang dia anut, setelah
ribuan tahun umat Islam
tunduk serta patuh akan petunjuk dari ulama 4 mazhab dalam ilmu fikih?
Sungguh pertanyaan ini akan diketahui jawabannya
secara jelas dan gamblang oleh pembaca. Selektif dalam memilih suatu keputusan
serta tidak terburu-buru untuk melontarkan tuduhan, sangatlah diperlukan dalam
masalah ini.
Semoga Allah swt. menyematkan sifat kasih
sayang serta persatuan yang kokoh di antara hambanya, yang dengannya
terhindarlah sifat saling menuduh dan memecah belah. Wallahu A’lam bis Showab.
Referensi:
1. Al-Quran Al-Karim.
2. Fath Al-Bari, karya: Al-Imam Ibn Hajar
Al-Asqalaniy.
3. Al-Majmu, karya: Al-Imam An-Nawawi.
4. Tahqiq Al-Amal, karya: As-Sayid Muhammad bin
A’lawy Al-Malikiy.
5. Muhadoroh Sayidil Walid As-Syekh Dr.
Muhammad bin Aly Ba’atiyah (Rektor Univ. Imam Syafi’i-Hadramaut-Yaman).