Mekanika kuantum merupakan suatu teori yang ditujukan untuk mendeteksi entitas suatu partikel baik dari sisi karakteristik maupun cara ia berinteraksi dengan energi, yang wujudnya berskala atomik ataupun subatomik.
Teori ini muncul pada awal abad ke-20, sebagai bentuk antitesa atas fisika klasik yang tidak mampu menganalisa dan menjelaskan fenomena pada benda yang berskala makro atau mikro, sehingga mekanika yang diterapkannya tidak universal, meski kita akui mekanika klasik ini lebih valid dan mudah diterapkan dalam sains, seperti yang terjadi dalam mekanika Newton dan teori relativitas.
Hanya saja konsepsi matematika dan teori yang digunakan oleh mekanika kuantum cukup abstrak, sehingga terjadilah dekoherensi dalam membaca gelombang gerak partikel/zat. Hal tersebut memunculkan adanya diferensiasi pendapat dalam menginterpretasi karakter dan interaksi zat sejak pertama kali dikemukakan. Dan penafsiran yang sering kali digunakan dalam mekanika kuantum adalah Interpretasi Kopenhagen.
Belakangan ini, teori mekanika kuantum senantiasa dikaitkan dengan teori kausalitas Imam Al-Ghazali dalam Al-Iqtishād fīl I’tiqād dan Tahāfutul Falāsifah. Para peneliti dan fisikawan memandang bahwa banyak similarity (kesamaan) antara ide Al-Ghazali pada abad ke-12 dengan ide mekanika kuantum yang baru muncul pada abad ke-20.
Meski keduanya ada tenggat waktu beberapa abad, akan tetapi kedua ide tersebut saling berhubungan. Di antara kesamaan konsepsi yang dirasa penting dari dua paradigma tadi, ialah ketidakpastian teori kausalitas (unnecessary causality) yang terlihat dalam fenomena alam, sifat objek fisika, dan sejauh mana pergerakan objek barusan tidak dapat diramal (determinism and nondeterminism behavior).
Di sisi lain, para pemikir Barat telah lama memisahkan objek kajian fisika dengan ontologi dan ketuhanan. Objek kajian sains lebih diarahkan pada fenomena alam dan hal yang melatarbelakanginya, sedangkan kajian tentang Tuhan hanya dimasukkan dalam filsafat, teologi, ontologi, dan metafisika.
Namun, lambat laun mereka mulai sadar bahwa pemisahan tersebut menambah persoalan baru bagi perkembangan sains. Terlebih dengan adanya pengembangan teori mekanika kuantum, telah mendorong mereka untuk mengkaji metafisika dan menjawab persoalannya yang memiliki ikatan dengan sains, sehingga dari situ banyak para saintis yang merekonstruksi ulang paradigma dari pijakan awal sains.
Kemajuan ilmiah dan teori yang muncul telah mendorong para ilmuan untuk mengkaji elemen metafisika yang memiliki hubungan erat dengan hal-hal yang bersifat saintifik. Dan secara tidak langsung mereka mendapati banyak persamaan antara ide kausalitas yang digagas oleh Imam Al-Ghazali dan para ahli kuantum.
Namun similarity yang dimaksud tidak berarti ada kesamaan seratus persen, baik dari tinjauan identitas maupun konteks kajian yang diidentifikasi. Pembahasan yang diwacanakan oleh Imam Al-Ghazali adalah dari arah seperti apakah dan bagimanakah peranan Allah SWT dalam menciptakan perilaku fenomena alam dan perbuatan makhluk di setiap ruang dan waktu.
Dari sisi yang berlainan, para ahli mekanika kuantum mencoba untuk menganalisa hal di atas dari sudut pandang “Adakah keterikatan circle sebab-akibat (causal relation) antara dua peristiwa (events)?” Atau “Sejauh manakah kita dapat mengobservasi perilaku suatu objek seperti gerakan energi pada elektron, atom, subatom dan yang lain-lain?”
Meski konteks yang dibawa oleh keduanya berbeda alurnya, namun sejatinya jika ditelaah lebih dalam akan mengarah pada entitas pemaknaan yang sama. Berdasarkan kenyataan tersebut, dua metode yang ditawarkan oleh Imam Al-Ghazali dan fisikawan kuantum hanya berkutat pada relasi sebab-akibat yang senantiasa terjadi pada fenomena alam semesta. Begitu juga sejauh mana kita mampu menganalisa dan mengobservasi fenomena barusan.
Circle kausalitas Al-Ghazali dan teori kuantum ini seolah-olah menyetujui bahwa segala bentuk peristiwa yang berlaku di alam semesta sejatinya tidak dapat diprediksi secara valid seperti halnya yang terjadi pada teori fisika klasik.
Dari hal itu, kedua paradigma pemikiran ini terlihat menerima adanya konklusi bahwa peristiwa di alam semesta tidak sepenuhnya dapat diprediksi atau diramal entitas pergerakannya. Dalam perspektif Imam Al-Ghazali, setiap detik dari peristiwa dan fenomena alam terjadi berdasarkan atas perbuatan Allah SWT, baik dengan sifat Ilmu, Irādah, dan Qudrah-Nya (Idea of Occasionalism).
Sedangkan dalam teori mekanika kuantum, Interpretasi Kopenhagen juga menuturkan bahwa mustahil bagi kita untuk meramal atau mengidentifikasi gerak laku yang sebenarnya dari objek yang hanya berdasarkan hukum fisika (In-deterministic behavior).
Alhasil dapat diambil kesimpulan bahwa, “Seseorang yang melempar bola ke atas, ia akan jatuh ke bawah sebab adanya gravitasi bumi, hanya saja akan ada berbagai kemungkinan bahwa bola yang dilemparkan akan memantul ke bawah, atau akan tetap mengawang di atas”.
Seperti itulah mekanisme okkasionalisme Asy’arian dan mekanika kuatum ala Kopenhagen bekerja. Wallāhu `a’lam bi haqīqatil hāl.