Di artikel sebelumnya telah diuraikan bahwa di antara gaya ungkap atau at-ta’bîr al-qur’âni yang digunakan oleh Al-Qur’an dalam mengekspresikan maknanya adalah pemilihan diksi dalam bentuk Fi’il Mudhari’ dan Isim Fa’il.
Fi’il Mudhari’ menunjukkan makna sebuah pekerjaan yang baru dilakukan (للحدوث) atau bisa jadi akan terus mengalami pengulangan (لاستمرار). Sementara Isim Fa’il menunjukkan makna adanya kemantapan sifat yang dimiliki oleh si pelaku (للثبت), walau tidak dipungkiri juga sifat tersebut kadangkala juga bisa terlepas darinya.
Dalam contoh kali ini, kita bisa menelaah Al-Qur’an, bagaimana ia dalam menggunakan kata الإضلال (penyesatan) ketika disandarkan kepada Allah dan setan, sehingga kita bisa menemukan kembali nilai kemukjizatannya.
Baik, mari kita simak uraiannya.
Ketika menyandarkan penyesatan kepada Allah SWT, Al-Qur’an selalu menampilkannya dalam bentuk Fi’il Mudhari’, dan bukan dalam bentuk Isim Fa’il karena hal tersebut bukanlah sesuatu yang biasa dilakukan oleh Allah karena memang itu bukanlah sifat Allah.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman,
(QS. al-Baqarah: 26) وَمَا (يُضِلُّ) بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ
(QS. Ibrahîm: 27) وَ(يُضِلُّ) اللَّهُ الظَّالِمِينَ
(QS. Ghâfir: 34) كَذَٰلِكَ (يُضِلُّ) اللَّهُ مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ مُرْتَابٌ
(QS. Ghâfir: 74) كَذَٰلِكَ (يُضِلُّ) اللَّهُ الْكَافِرِينَ
Semua ayat itu bermaksud “Allah tidak menyesatkan mereka, tetapi membiarkan mereka (siapapun yang dikehendaki-Nya) sesat”.
Baca juga: Sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki: Membaca Al-Qur’an di Kuburan Bukan Bid’ah
Ini berarti bahwa Allah bukanlah aktor utama dibalik kesesatan mereka. Karena bukan Allah yang membuat mereka sesat, tetapi mereka sendiri yang menghendaki kesesatan itu sehingga-dengannya-Allah tidak lagi melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta mencabut taufik Ilahi kepadanya.
Dan ini terjadi setelah sebelumnya ia memilih kesesatan. Karena itu, redaksi ayat yang berbicara tentang kesesatan menetapkan terlebih dahulu kesesatan mereka dengan menyatakan;
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran/sesat), Allah pun memalingkan hati mereka (membiarkan mereka sesat sehingga semakin bertambah jauh dari kebenaran).” (QS. as-Shâff: 5)
Berbeda halnya ketika kata الإضلال (penyesatan) disandarkan kepada setan. Al-Qur’an telah menampilkannya dalam bentuk Isim Fa’il dan Fi’il Mudhari’.
Hal ini menunjukkan bahwa kesesatan tersebut benar-benar telah menjadi watak atau sifat yang mendarah-daging pada diri setan, serta akan dilakukannya dengan cara apapun, dalam keadaan apapun dan sampai kapanpun.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman,
(QS. al-Qashash: 15) هَٰذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ ۖ إِنَّهُ عَدُوٌّ (مُضِلٌّ) مُبِينٌ
(QS. al-Hajj: 4) كُتِبَ عَلَيْهِ أَنَّهُ مَنْ تَوَلَّاهُ فَأَنَّهُ (يُضِلُّهُ) وَيَهْدِيهِ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ
(QS. an-Nisâ’: 119) وَ (لَأُضِلَّنَّهُمْ) وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ
(QS. an-Nisâ’: 60) وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ (يُضِلَّهُمْ) ضَلَالًا بَعِيدًا
Semua ayat di atas berarti “Setan adalah sang penyesat yang akan terus berupaya (bagaimana pun caranya) menyesatkan manusia (dalam keadaan apapun dan sampai kapanpun itu) dengan sesesat-sesatnya”.
Sebagaimana Allah menyifati setan dengan menggunakan bentuk Isim Fa’il (مضل) yang menunjukkan kekokohan sifat tersebut (للثبت) dan Fi’il Mudhari’ (يضل) yang menunjukkan langgengnya perbuatan tersebut (لاستمرار), Allah juga menyifati diri-Nya dengan antonimnya dalam bentuk yang sama, yakni Isim Fa’il (هاد) dan Fi’il Mudhari’ (يهدي) yang berarti Sang Pemberi Petunjuk dan yang Memberi Petunjuk.
Baca juga: Kejeniusan Syekh Nawawi Banten dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman,
(QS. al-Hajj: 54) وَإِنَّ اللَّهَ (لَهَادِ) الَّذِينَ آمَنُوا إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
(QS. Al-Furqân: 31) وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ (هَادِيًا) وَنَصِيرًا
(QS. al-Mâidah: 16) يَهْدِي) بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ )
(QS. Yûnûs: 35) قُلِ اللَّهُ (يَهْدِي) لِلْحَقِّۗ
Yang berarti bahwa “Allah lah Sang Maha Pemberi Petunjuk yang akan (terus-menerus atau selalu) memberikan petunjuk-Nya kepada siapapun yang Dia dikehendaki”.
Dengan demikian, menjadi tertampiklah sementara dugaan yang mengira bahwa Allahlah yang menyesatkan manusia.
Di sinilah letak kemukjizatan Al-Qur’an dalam menggunakan Fi’il Mudhari’ dan Isim Fa’il di dalam mengekspresikan maknanya. Mahabenar Tuhan dengan segenap keindahan dan ketelitian kalam-Nya. Wallahu a’lam.
Sumber:
Fadhil, Shalih. 2016. At-Ta’bîr Al-Qur’âny. Kairo; Dâr Ibn Katsîr.
Shihab, Muhammad Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta; Lentera Hati.