Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Kejeniusan Syekh Nawawi Banten dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Avatar photo
37
×

Kejeniusan Syekh Nawawi Banten dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Share this article

Syekh Nawawi Al-Bantani menjelaskan bahwa Al-Qur’an secara komprehensif menjelaskan seluruh aspek hukum. Menurutnya, Allah tidak membebankan makhluknya setelah adanya syari’at yang lama dengan beban syari’at baru. Begitu cara beliau memahami ayat,

مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ

“Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan di dalam Kitab.” (QS. Al-An’am [6]: 38)

Dari ayat itu pula, Syekh Nawawi menyimpulkan, secara tersirat Al-Qur’an menyatakan bahwa ijmak, hadits ahad, qiyas adalah hujah (dalil) dalam syariat. Maka setiap sesuatu yang menyiratkan pada salah satu dari ketiga aspek dasar dalam Ushul al-Tsalatsah (ijmak, hadits ahad dan qiyas) di atas, pada hakekatnya telah tertuang di dalam Al-Qur’an.

Baca juga:Hadis Dha’if tapi Mujarab

Untuk menguatkan pendapatnya, beliau berargumen dengan memaparkan beberapa riwayat. Salah satunya adalah riwayat Ibnu Mas’ud tentang larangan bertato dan meminta dibuatkan tato. Suatu ketika Ibnu Mas’ud berkata,

ما لي لا ألعن من لعنه الله في كتابه

“Tidak ada jalan bagiku melaknat orang yang dilaknat oleh Allah dalam kitabnya.”

Perihal ucapan itu, seorang wanita penasaran dan membaca seluruh Al-Qur’an hingga khatam namun kalimat itu tidak dijumpainya. Kemudian ia mendatangi Ibnu Mas’ud dan berkata, “Wahai Ibnu Mas’ud, kemaren aku mengkhatamkan Al-Qur’an, namun aku tidak menjumpai kalimat yang menyatakan hal tersebut.” Maksud dia adalah kalimat,

لعن الواشمة والمستوشمة

Ibnu Mas’ud menjawab, “Jika kamu benar-benar membaca Al-Qur’an (dengan teliti), tentu saja kamu akan menjumpainya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman,

وَما آتاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)

Ayat ini menyatakan bahwa apa yang disampaikan oleh Nabi harus kita terima, ambil dan diamalkan. Oleh karena itu, apa yang disampaikan oleh Nabi kepada kita tentang larangan membuat dan meminta dibuatkan tato harus kita amalkan.

Baca juga: Fenomena Ulama Muda, Definisi dan Siapa Saja Mereka?

Kedua, riwayat Imam Syafi’i yang menggunakan atsar sahabat, yaitu Umar bin Khattab. Suatu ketika Imam Syafi’i duduk di Masjid Haram. Di depan khalayak umum beliau berkata, “Tidaklah kalian bertanya kepadaku kecuali aku jawab dengan kitab Allah (Al-Qur’an).”

Kemudian seorang laki-laki mengajukan pertanyaan, “Apa pendapatmu bila seorang yang ihram membunuh zunbur (tawon besar atau lalat besar)?”

Imam Syafi’i menjawab, “Tidak apa-apa.”

Laki-laki tersebut bertanya lagi, “Apakah ini dijumpai dalam Al-Qur’an?.”

Beliau menjawab dengan ayat,

وَما آتاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ

“Dan apa yang diberikan kepadamu, maka terimalah.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)

Dan dengan sabda Nabi,

عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي

“Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidun setelahku.”

Salah satu contoh sunnah Khulafaur Rasyidun ialah ucapan Sayyidina Umar, “Bagi yang ihram boleh membunuh tawon”. Maka dari itu, membunuh tawon atau lalat besar boleh meskipun dalam keadaan ihram.

Selain argumen di atas, terdapat argumen ketiga yang mengokohkan pendapat Syekh Nawawi. Yaitu tentang hukuman bagi pezina.

Suatu ketika Abu Asif meminta fatwa kepada Nabi, “Putuskanlah perkara di antara kami dengan Kitab Allah.”

Nabi pun mengatakan, “Sungguh aku akan memutuskan perkara di antara kalian dengan Kitab Allah.” Setelah itu, Nabi memutuskan untuk memberi kedua pelaku hukuman yang berbeda. Abu Asif dihukum dengan cambuk dan pengasingan, dan wanita yang diajak berzina dihukum rajam (dilempar batu hingga tewas).

Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa apa yang diputuskan oleh Nabi pada hakekatnya bersumber dari Kitab Allah (Al-Qur’an), meskipun keputusan tersebut (hukuman cambuk dan pengasingan) tidak tercantum dalam nash Al-Qur’an.

Ibraratnya, Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an yang hidup, Hadits-hadits beliau adalah teks yang terus hidup sebagai dasar pijakan dalam menentukan sebuah keputusan dan istinbath hukum.

Imam al-Wahidi menjelaskan dalam karyanya, Kitab Al-Wajiz fi Tafsir Al-Qur’an al-Aziz, bahwa Allah tidak meninggalkan sesuatu apapun yang dibutuhkan oleh hamba-Nya dalam urusan agama kecuali Dia menjelaskannya, baik penjelasan secara nash (jelas), dilalah (petunjuk), mujmal (global) mufashshal (perinci).

Menurut Imam Ar-Razi dalam karyanya, Mafatih Al-Ghaib atau yang dikenal dengan nama Tafsir Al-Kabir, kata “al-Kitab” memiliki dua makna:

Pertama, catatan kitab Lauh Mahfudz di arsy dan alam langit yang mencakup seluruh aktifitas makhluk secara detail. Pendapat ini senada dengan pendapat Ibnu Asyur dalam karya tafsirnya, At-Tanwir wa At-Tahrir.

Kedua, Al-Qur’an. Pendapat kedua ini lebih jelas, sebab alif dan lam (ال) jika masuk pada isim tunggal, maka ia berarti sesuatu yang mudah diketahui. Menurut umat muslim sesuatu yang mudah diketahui dari kata “al-Kitab” adalah Al-Qur’an.

Maka, menurutnya, dalam ayat ini, kata “al-Kitab” yang dimaksud adalah Al-Qur’an. Hanya saja pendapat ini ditentang oleh Ibnu Asyur, sebab tidak sesuai dengan tujuan penafsiran ayat ini.

Dari sini kita mengetahui bahwa Syekh Nawawi adalah ulama mufasair tanah Jawa yang memiliki kredibelitas dan kapabelitas yang setara dengan para pakar tafsir kenamaan. Ungkapan dan pandangannya cemerlang dalam menafsirkan Al-Qur’an. Argumentasinya dalam menjelaskan detail ayat sangat kokoh, tidak hanya dari sisi nash-nash Al-Qur’an-hadis, tapi dari sisi bahasa.

Kontributor

  • Rozi Nawafi

    Ahli ilmu qira'at Al-Qur'an Asyrah al-mutawatirah bersanad sampai kepada Nabi. Wakil koordinator pendidikan dan pengajian di Pesantren Darussalam Keputih Surabaya dan pengisi acara Kiswah Tv 9 Nusantara NU Jatim. Penulis buku “Mengarungi Samudra Kemuliaan 10 Imam Qira’at.”