Syekh Yusri Rusydi hafizhahullah menerangkan
bahwa banyak yang tidak mengetahui kalau pada tiga abad pertama Hijriyah, yakni
masa kodifikasi hadits di kutubus sittah yang ditandai dengan masa kekuasaan
Dinasi Umayyah Umayah hingga awal Abbasiyah,
Ahlul Bait alias keturunan Rasulullah diburu oleh para penguasa. Mereka
bahkan dibunuh saat ditemukan.
Mengapa mereka berbuat demikian terhadap Ahlul Bait?
Menurut Syeikh Yusri, karena para penguasa takut umat Islam berkumpul dan
bersatu mendukung Ahlul Bait kemudian menyaingi mereka dalam kekuasaan.
Lihat saja bagaimana Sayyiduna Husain dibunuh padahal
beliau sudah berkata, “Biarkan aku menyembah Allah di mana pun kamu mau.”
Tetapi beliau hanya diberi dua pilihan: membaiat Yazid atau dibunuh. Seperti
sejarah katakana, beliau pun dibunuh.
Pemburuan Ahlul Bait, terutama para ulama berlangsung
sampai sekitar 750 tahun. Mereka bahkan dilarang untuk ikut shalat Jumat supaya
tidak ada yang mengikuti mereka. Mereka terkurung dalam rumah supaya tidak ada
yang mengenal mereka. Bahkan orang yang mengenal salah satu dari mereka pun
ikut diburu, ditangkap, dipenjara, disiksa dan dibunuh.
Jadi, para ulama yang mengumpulkan hadits, demi
memperoleh kebebasan bergerak dari satu tempat ke tempat lain dan supaya tidak
diganggu oleg para penguasa, maka mereka menghindari periwayatan hadits dari Ahlul
Bait. Hal itu mereka lakukan agar tidak dilarang dan dijebloskan ke dalam
penjara.
“Makanya kamu tidak menemukan banyak hadits yang
diriwayatkan mereka,” terang Syeikh Ysuri.
“Bukan karena mereka tidak ada,” lanjut beliau.
Pada masa pemerintahan Turki Utsmani, Ahlul Bait kembali
muncul dari wilayah Maghrib dan negeri-negeri lain. Mereka sudah bisa leluasa
hidup dan menetap, serta menyebarkan ilmu-ilmu sunnah.
Oleh sebab itu, kita menemukan dalam 700 tahun ini para
periwayat hadits adalah kalangan Asyraf (keturunan Nabi Muhammad) dari Asyraf.
Adapun Asyraf adalah jamak dari kata syarif. Pada era sebelumnya, para perawi bukan dari kalangan Ahlul Bit atau tidak
bernisbat kepada Ahlul Bait.
Pada masa pemerintahan Turki Utsmani, penguasa
membiarkan Ahlul Bait hidup dalam kebebasan. Imam besar hadits seperti Imam
al-Bukhari dan lain-lain tidak boleh dicela karena hal itu.
Kisah Meninggal Imam An-Nasai
Ketika pergi ke Syam, Imam an-Nasai menemui warga yang bersikap
fanatik kepada Muawiyah dan membenci Ali. Mereka mengatakan, “Riwayatkan
hadits-hadits kepada kami!”
Imam an-Nasai kemudian mengadakan majelis-majelis hadits
di Syam. Beliau membacakan pada mereka
keutamaan-keutamaan Sayyidina Ali dalam kitab yang berjudul Khashaish Ali.
Ketika selesai, setelah beberapa hari, mereka
mengatakan,”Riwayatkan pada kami hadits-hadits tentang Muawiyah.”
Imam an-Nasai berkata, “Tidak ada yang kudapati
kecuali hadits, ‘Allah tidak mengenyangkan perutnya.’”
Hadirin pun mulai memukuli Imam an-Nasai, padahal beliau
sudah lanjut usia, di atas 80 tahun.
Pada saat itu, ada rombongan kafilah yang hendak berangkat
haji. Imam an-Nasai ikut pergi bersama mereka dalam keadaan sakit. Sampai di
sana, beliau menghembuskan nafas terakhir kemudian dikuburkan antara Shafa dan Marwah.
“Bayangkan, seorang imam yang hanya bicara tentang
keutamaan salah satu Ahlul Bait,” kata Syeikh Yusri, “bagaimana nasib yang menimpa beliau. Balasannya adalah
maut.”
Bijak sekali kesimpulan yang diambil oleh Syeikh Yusri.
Beliau mengatakan bahwa pada setiap masa ada keadaan tententu. “Sebelum kamu
menghukumi seseorang, kamu perlu melihat dulu keadaan di masa orang itu berada,”
pesan beliau.
Contoh lain adalah Imam Ali ar-Ridha yang tidak pernah
keluar dari rumah. Yang pergi berdakwah adalah Sayyidina Ma’ruf al-Karkhi,
padahal tuannya tidak keluar. Hal-hal seperti ini wajib disampaikan luas.