Pada umumnya ulama atau tokoh agama yang diperingati adalah hari wafatnya. Acara peringatan ini dikenal dengan istilah haul.
Hampir kesemuanya, yang diperingati adalah hari wafatnya, bukan hari lahirnya. Lalu kenapa dalam konteks Rasulullah saw, yang diperingati adalah hari lahirnya? Hari lahir ini dikenal dengan istilah maulid.
Imam Al-Suyuthi mengatakan:
وَقَوْلُهُ: مَعَ أَنَّ الشَّهْرَ الَّذِي وُلِدَ فِيهِ، إِلَى آخِرِهِ. جَوَابُهُ أَنْ يُقَالَ أَوَّلًا: إِنَّ وِلَادَتَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْظَمُ النِّعَمِ عَلَيْنَا، وَوَفَاتَهُ أَعْظَمُ الْمَصَائِبِ لَنَا، وَالشَّرِيعَةُ حَثَّتْ عَلَى إِظْهَارِ شُكْرِ النِّعَمِ وَالصَّبْرِ وَالسُّكُونِ وَالْكَتْمِ عِنْدَ الْمَصَائِبِ، وَقَدْ أَمَرَ الشَّرْعُ بِالْعَقِيقَةِ عِنْدَ الْوِلَادَةِ، وَهِيَ إِظْهَارُ شُكْرٍ وَفَرَحٍ بِالْمَوْلُودِ، وَلَمْ يَأْمُرْ عِنْدَ الْمَوْتِ بِذَبْحٍ وَلَا بِغَيْرِهِ بَلْ نَهَى عَنِ النِّيَاحَةِ وَإِظْهَارِ الْجَزَعِ، فَدَلَّتْ قَوَاعِدُ الشَّرِيعَةِ عَلَى أَنَّهُ يَحْسُنُ فِي هَذَا الشَّهْرِ إِظْهَارُ الْفَرَحِ بِوِلَادَتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دُونَ إِظْهَارِ الْحُزْنِ فِيهِ بِوَفَاتِهِ.
Sesungguhnya kelahiran Nabi saw merupakan agung-agungnya semua nikmat dan meninggalnya beliau merupakan paling agungnya segala musibah.
Syariat Islam selalu mendorong untuk menampakkan syukur atas nikmat-nikmat dan sabar serta diam (tidak mengeluh) ketika tertimpa musibah-musibah.
Sungguh syara’ telah memerintahkan untuk melaksanakan akikah saat kelahiran bayi. Dan syara’ tidak pernah memerintahkan pada saat ada kematian untuk menyembelih hewan akidah dan juga tidak dengan yang lainnya. Akan tetapi syara’ juga melarang untuk menangis meratapi dan menampakkan rasa duka.
Maka, kaidah-kaidah syariat menunjukkan bahwasanya sangat bagus dalam bulan ini (Rabiul Awal) untuk menampakkan kebahagiaan sebab lahirnya Nabi saw, bukan menampakkan duka sebab meninggalnya beliau.” (Imam Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Hawi li al-fatawi, PDF Juz 1 Halaman 226)
Adapun terkait kelahiran Nabi Muhammad saw, ada beberapa pendapat. Secara khusus, Ibnu Katsir dalam karya sejarahnya mencatat beberapa pendapat.
Ada yang mengatakan pada tanggal 2 Rabiul Awal, demikian dikatakan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr didalam kitab al-Isti’ab. Ada yang mengatakan tanggal 8 Rabiul Awal, demikian diceritakan oleh Imam Humaidi dari Imam Ibnu Hazm. Dan juga diriwayatkan oleh Imam Malik, Imam Aqil, Imam Yunus bin Yazid dan yang lainnya dari Imam Muhammad bin Jubair bin Muth’im.
Ada yang mengatakan tanggal 10 Rabiul Awal, sebaimana dikutip oleh Imam Ibnu Dihyah di dalam kitabnya. Dan diriwayatkan oleh Imam Ibnu Asakir dari Imam Abu Ja’far al Baqir.
Namun versi mayoritas ulama, Rasulullah saw dilahirkan pada senin 12 Rabiul Awal dan beliau juga wafat dalam tanggal, hari dan bulan yang sama, sebagaimana yang familiar kita ketahui. (Al-Bidayah wa al-Nihayah, PDF Juz 2 H. 260)
Maka, meski hari lahir dan wafatnya Nabi Muhammad saw bersamaan, kita tetap merayakan kelahiran nabi, bukan memperingati wafatnya Nabi Muhammad saw. Sebab kelahiran beliau merupakan nikmat yang patut kita syukuri, dan kepergiannya (ke rafiq al-a’la) patut kita tangisi. Allahumma shalli wa sallim ala sayyidina Muhammad.