Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Kesesatan Teori Penegakan Khilafah HTI

Avatar photo
21
×

Kesesatan Teori Penegakan Khilafah HTI

Share this article

Ketika menyinggung seputar khilafah, penting juga kita menyorot pandangan HTI. Hal ini karena, ketika ditelisik lebih teliti, banyak sekali penipuan publik yang dilakukan HTI atas teks-teks ulama yang didistorsi oleh hawa nafsu mereka, sehingga terjadi distorsi pemahaman khilafah mengatasnamakan para ulama muktabar.

Masalah distorsi ini sebenarnya bukan murni kreatifitas syabab HTI, melainkan sejak dari HT, bahkan pendirinya, Syekh Taqiyyuddin an Nabhani, juga melakukan kesalahan fatal. Kesalahan ini menjadi distorsi atas teks para ulama, sehingga menimbulkan fitnah di setiap negara dimana HT mulai menginduk-semangkan diri mereka secara lokal.

Diantara distorsi itu, adalah persoalan:

Atas Siapa Kewajiban Menegakkan Khilafah Itu?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu kita pahami satu hal penting. Bahwa yang dimaksud oleh para ulama sebagai wajib menegakkan khilafah, dalam semua bab karya yang mereka tulis, di kitab kalam maupun fikih, tak lain adalah persoalan wajibnya mengangkat khalifah. Tegasnya, wajib menegakkan khilafah (إقامة الخلافة والإمامة) maksudnya wajib mengangkat khaliafah .(نصب الخليفة والإمام)

Al Qadhi Abu Ya’la dalam al Ahkam as Sulthaniyyah hlm. 19 menulis:

فصول في الإمامة: نصبة الإمام واجبة

“Fasal Mengenai Imamah: Mengangkat imam itu wajib.”

Demikian juga Imam al Ghazali dalam al Iqtishad fil I’tiqad, sebuah kitab kalam, ketika menganggit bab ketiga, tentang Imamah, beliau menulis dalam hlm. 127:

النظر فيه يدور على ثلاثة أطراف: الطرف الأول: في بيان وجوب نصب الإمام

“Pembahasan tentang imamah/khilafah berkisar pada tiga sisi. Sisi pertama: tentang penegasan wajibnya mengangkat imam.”

Artinya, dalam pembahasan imamah/khilafah, yang dimaksud oleh para ulama sebagai kewajiban khilafah, tak lain adalah persoalan tentang wajibnya mengangkat khalifah atau imam sebagai pemimpin negara/khilafah. Ini sangat logis, karena tanpa seorang khalifah, mustahil khilafah ditegakkan. Dalam bahasa fukaha’, adanya khalifah adalah rukun dari khilafah itu sendiri.

Dalam bab ini pula, akan selalu disinggung tentang: apakah dasar kewajiban mengangkat khalifah ini adalah bersumber dari syariat – sebagaimana itu pendapat ahlussunnah wal jama’ah – atau kewajiban ini berdasarkan akal – sebagaimana itu pendapat muktazilah. Artinya, kedua kelompok ini sepakat tentang satu hal: bahwa khalifah wajib diangkat. Mereka hanya berbeda pendapat tentang landasan kewajiban ini, apakah syariat atau akal. Kita tak perlu membahas implikasi perbedaan di level ushul ini, karena toh keduanya sepakat di level fikih.

Selanjutnya yang penting kita ketahui, kewajiban dalam syari’at selalu memiliki ahliyyatul wujub (pengemban khithab wajib). Tak mungkin ada hukum wajib dalam syariat, namun tak ditentukan atas siapa kewajiban ini. Sehingga para ulama muktabar dan amanah, ketika menjelaskan sebuah kewajiban, selalu memaparkan pula atas siapa kewajiban ini harus ditunaikan.

Misalnya sholat dan puasa. Ia hanya wajib atas orang baligh dan berakal. Orang gila, anak kecil dan wanita haidh sama sekali tidak wajib shalat. Bahkan ketika mereka memaksakan diri untuk melakukan shalat, dalam kacamata syariat, mereka sama sekali tak dianggap menggugurkan kewajiban atau terlepas dari ‘uhdat at taklif. Bagaimana mereka menggugurkan kewajiban, lha sejak awal mereka tidak wajib kok? Bahkan, wanita haidh yang memaksakan diri melaksanakan shalat, bukan pahala yang didapat, melainkan justru dosa.

Demikian juga zakat. Ia wajib atas orang yang memiliki nishab. Fakir-miskin sama sekali tak wajib mengeluarkan zakat. Ibadah haji pun demikian. Ia diwajibkan atas orang yang mampu berangkat ke Baitul Haram. Oleh para ulama, mampu ini diartikulasikan ke dalam dua hal: mampu materi dan keadaan aman. Jika salah satu tak terpenuhi, maka seorang muslim tak wajib melaksanakan ibadah haji.

Keempat hal di atas termasuk rukun Islam, yang artinya benar-benar wajib dilaksanakan segenap muslim – dengan melihat syarat siapa yang wajib melaksanakannya tentu saja. Wajib dikerjakan semua muslim memang, namun dengan catatan, hanya bagi mereka yang memiliki ahliyyatul wujub. Kewajiban bersyarat ini, dalam bahasa logika disebut قضية مشروطة . Yakni statemen yang bersyarat.

Demikian juga kewajiban khilafah atau kewajiban mengangkat khalifah. Kewajiban itu harus punya ahliyyatul wujub atau para pengemban kewajiban ini. Lalu bagaimana HTI menentukan pengemban kewajiban khilafah ini? Mari kita amati!

Pendiri HT, Syekh Taqiyyuddin an Nabhani, menuliskan dalam as Syakhshiyyah al Islamiyyah, juz 2, hlm. 13:

،الخلافة هي رياسة عامة للمسلمين جميعا في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم، وهي عينها الإمامة؛ فالإمامة والخلافة بمعنى واحد
وإقامة خليفة فرض على المسلمين كافة في جميع أقطار العالم، والقيام به – كالقيام بأي فرض من الفروض التي فرضها الله على المسلمين – هو أمر محتم لا تخيير فيه
ولا هوادة في شأنه، والتقصير في القيام به معصية من أكبر المعاصي يعذب الله عليها أشد العذاب.

“Khilafah adalah kepemimpinan global umat Islam di dunia seluruhnya, demi menegakkan hukum syariat dan menyebar dakwah ke alam semesta. Khilafah sama dengan imamah itu sendiri, keduanya adalah sinonim..

Mengangkat khalifah adalah kewajiban atas seluruh umat Islam di segenap penjuru bumi. Melaksanakannya – sebagaimana melaksanakan kewajiban lain yang diwajibkan pada umat Islam – adalah persoalan tegas yang tiada pilihan dan keringanan disana. Teledor dalam menjalankannya adalah maksiat terbesar yang akan mendapat siksa terpedih.”

Dalam karya berjudul Ajhizat Daulat al Khilafah fil Hukm wal Idarah, sebuah karya yang ditabanni secara resmi oleh HT pusat dan mengabrogasi seluruh ketentuan yang bertentangan dengannya, juga mengafirmasi pendapat di atas:

فالمسلمون آثمون لعدم إقامتهم الخلافة منذ إلغاء الخلافة في 28 رجب 1342 هـ، إلى أن يقيموها، ولا يبرأ من الإثم إلا من تلبس بالعمل الجاد لها مع جماعة مخلصة صادقة، فبذلك ينجو من الإثم، وهو إثم عظيم.

“Kaum muslim terus berdosa karena mereka tak menegakkan khilafah sejak penghapusan khilafah pada 28 Rajab 1342 H, hingga mereka menegakkannya. Tak bisa lepas dari dosa kecuali mereka yang ikut berusaha kuat menegakkannya bersama kelompok ikhlas yang bersungguh-sungguh. Hanya dengan itu, bisa lepas dari dosa yang sangat besar itu.”

Dari kedua teks di atas, bisa kita ambil kesimpulan beberapa poin:

  1. Bagi HT, hanya khilafah global saja yang bisa menggugurkan kewajiban seluruh umat Islam.
  2. Menegakkan khilafah, yang bermakna mengangkat khalifah, adalah kewajiban atas semua umat Islam. Karena kewajiban ini berada di pundak semua umat Islam, sehingga konsekuensinya, mereka semua berdosa besar saat tak melaksanakan kewajiban ini.
  3. Dosa besar ini dibebankan kepada semua umat Islam sejak dihapusnya khilafah di Turki, karena mereka sampai saat ini belum mampu mengangkat khalifah.
  4. Bagi HT, dosa besar ini tak dibebankan kepada mereka, karena mereka adalah kelompok yang ikhlas berjuang menegakkan khilafah. Selain mereka, atau selain kelompok sevisi, dosa besar ini terus melekat.

Sehingga jelas, bagi HT, ahliyyatul wujub mengangkat khalifah ini adalah semua umat Islam. Siapapun yang tak berusaha menegakkannya, maka berdosa besar. Demikian teori HT, ketika menjelaskan kewajiban khilafah ini.

(bersambung)

Kontributor

  • Muhammad Nora Burhanuddin

    Nama lengkapnya Muhammad Nora Burhanuddin, Lc. MA. Seorang cendekiawan muda muslim lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Selain disibukkan mengajar dan mengisi seminar, juga menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah PCINU Mesir.