Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Ketika Islam Datang dan Mengangkat Derajat Wanita

Avatar photo
33
×

Ketika Islam Datang dan Mengangkat Derajat Wanita

Share this article

Islam datang sebagai agama revolusioner, agama yang bisa mengubah peradaban dari yang buruk menuju mulia, dari hina menuju sempurna. Semua itu bisa dibuktikan di antaranya dengan sikap Islam dalam memberlakukan wanita. Sebelum Islam datang, semua negara khususnya negara Arab dan sekitarnya, sama sekali tidak memberikan kehormatan bagi wanita.

Akibatnya, wanita tidak memiliki peran dalam kehidupan mereka, diperlakukan tidak manusiawi. Bahkan, di Yunani, wanita berada di bawah kekuasaan pemerintah saat itu. Dengan senang hati, mereka memberlakukan wanita sebagaimana yang ia mau.

 

Syekh Mutawali asy-Sya’rawi dalam kitab Fiqhu al-Mar’ah mengatakan, bahwa di antara bentuk perlakuan laki-laki pada wanita sebelum datangnya Islam, yaitu dengan cara dijual bagi yang berani memberikan harga kepada ayah, gusti (sayyid), dan suaminya. Sebelum menikah, hak kekuasaannya dimiliki oleh ayah dan saudaranya yang laki-laki, setelah menikah, ia dimiliki suaminya. Dengan kata lain, wanita tidak memiliki peran sama sekali dalam hidupnya sendiri.

Begitupun dengan peradaban yang terjadi di negara Romawi, wanita diberlakukan layaknya anak kecil dan orang gila, ia sama sekali tidak memiliki nilai hidup yang layak, diberlakukan tidak manusiawi. Boleh dijual dan dibeli kapan pun dan di mana pun.

 

Kekuasaan wanita ada di ayah dan pemerintah Negara Romawi saat itu. Bahkan, dengan segala otoritas yang dimiliki kaum laki-laki, ia boleh menyiksa bahkan membunuh wanita. Begitu juga dengan peradaban yang terjadi di Negara lainnya, wanita diberlakukan layaknya pelayan, ia tidak boleh menerima harta warits. (Syekh Mutawali asy-Sya’rawi, Fiqhu al-Mar’ah al-Muslimah, [Maktabah Taufiqiyah, 2019], halaman 8).

 

Begitulah keadaan wanita sebelum datangnya Islam. Dalam hidupnya sendiri, ia tidak memiliki peran apa pun, diberlakukan tidak manusiawi oleh kaum laki-laki, dengan segala otoritasnya, laki-laki boleh melakukan apa pun kepadanya sesuai dengan keinginannya, menggauli, menelantarkan, memukul, dan bahkan membunuhnya.

 

Seolah, keberadaan wanita tak ubahnya sama dengan hewan. Bahkan, lebih hina dari hewan, wanita tidak diperbolehkan merawat anaknya sendiri yang laki-laki. Tak terbayangkan, betapa hinanya wanita saat itu menurut pandangan laki-laki. Lantas, bagaimana sikap Islam setelah kedatangannya?

Syekh Mutawali dalam kitabnya mengatakan: 

اِنَّ الاِسْلَامَ حِيْنَ جَاءَ اِلَى الْعَالَمِ رَفَعَ مَكَانَةَ الْمَرْأَةِ وَأَعْطَاهَا حُرِّيَتَهَا وَكَرَامَتَهَا وَشَخْصِيَتَهَا وَسَاوَى بَيْنَهَا وَبَيْنَ الرَّجُلِ فِي الْحُقُوْقِ وَالْوَاجِبَاتِ.

“Sungguh ketika Islam datang ke bumi, Islam mengangkat posisi wanita, memberikan hak-hak kebebasannya, memberikan kemuliaan dan keperibadiannya, serta menyamaratakannya dengan laki-laki dalam hak-hak dan kewajibannya.” (Syekh Mutawali asy-Sya’rawi, Fiqhu al-Mar’ah al-Muslimah, 2019, halaman 9).

Penjelasan Syekh Mutawali di atas memberikan pemahaman, bahwa Islam merupakan agama yang pertama kali memberikan hak-haknya, mengembalikan kehormatannya, serta memberikan kebebasan kepadanya, ia boleh memilih laki-laki yang disenangi untuk menikah dengannya, bahkan, pernikahan tidak sah apabila wanita tidak memberikan izin kepada laki-laki untuk menikahinya. Oleh karenanya, seharusnya wanita bangga dengan datangnya Islam. Dengan Islam, ia memiliki peran dan hak dalam dirinya.

Tidak hanya itu, Islam tidak melupakan jasa wanita dalam mengandung anaknya. Perjuangannya yang mulia, tulus dan ikhlas, diabadikan dalam Islam. Hal itu terekam dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:

 

وَوَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْراً

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan.” (QS Al-Ahqaf: 15).

Pada ayat di atas, Allah memerintahkan pada anak untuk memberlakukan kedua orang tuanya dengan baik. Hanya saja, yang menjadi kebanggaan bagi wanita, yaitu pada ayat setelah, Allah hanya menyebutkan peran-peran wanita dalam berjuang untuk merawat anaknya, ia menanggung segala kepayahan, beban, dan rintangan yang sebanding dengan nyawa.

 

Pada ayat itu juga, terdapat pelajaran luar biasa, yaitu Al-Qur’an tidak melupakan perjuangan mulia wanita. Tindak langkahnya dijelaskan secara rinci, mulai dari sejak mengandung sampai melahirkan. Kepayahannya disebutkan secara gambling.

Syekh Muhammad Ali as-Shabuni dalam Tafsir Ayati al-Ahkam memberikan alasan perihal ayat di atas, yaitu mengapa hanya menyebutkan perjuangan dan pengorbanan wanita, tanpa menyebut peran laki-laki? As-Shabuni mengatakan:

وَخَصَّ الأُمُ بِمَزِيْدٍ مِنَ الْعِنَايَةِ وَالْاِهْتِمَامِ، فَجَعَلَ حَقَّهَا أَعْظَمُ مِنْ حَقِّ الْأَبِ، لِمَا تَحَمَّلَتْهُ مِنْ شَدَائِدَ وَأَهْوَالٍ تَجَاهِ طِفْلِهَا الْوَلِيْدِ.

“(Allah) menghususkan wanita (ibu pada ayat di atas), disebabkan banyaknya perhatian dan kepeduliannya. Maka, Allah menjadikan haknya lebih mulia dari hak laki-laki (ayah). Hal itu disebabkan banyaknya kepedihan dan kepayahan dalam mendidik anaknya.” (Syekh Muhammad Ali as-Shabuni, Rawai’u al-Bayan ala Tafsir Ayati al-Ahkam, [Bairut: Darul Kutub al-Ilmiah, 2015], halaman 418).

Dari penjelasan di atas sangat tampak, bahwa wanita memiliki pribadi yang sangat mulia, santun, sabar, telaten dan istiqamah. Bahkan, di balik kesuksesan seorang anak, disebabkan adanya peran wanita di balik layar, yaitu ibunya. Ibunya telah mengandung dengan segala kepayahannya.

 

Telah merawat dengan segala kesulitan dan kesukarannya. Ia rela tidak istirahat demi merawat anaknya. Satu malam tidak tidur jika anaknya sakit, bahkan ia lebih memilih sakit daripada anaknya yang merasakan. Sungguh mulia sifat wanita.

 

Sangat tidak layak jika wanita diberlakukan tidak manusiawi, wanita sangat mulia, mereka mempunyai hak, mereka memiliki pribadi yang sangat luhur, dan sifat yang sangat agung, sangat sabar. Tidak bisa kita jumpai sifat-sifat mulia yang dimiliki wanita dalam jiwa lelaki.

Oleh karenanya, Islam sangat tidak terima dengan memberlakukan wanita dengan perlakuan yang tidak manusiawi. Islam datang sebagai konseptor sekaligus revolusioner. Islam memberitahukan bahwa wanita memiliki peran yang luar biasa dan mulia dalam dirinya dan orang lain. Sehingga, tidak selayaknya wanita diberlakukan dengan sedemikian rupa.

Melalui di utusnya Nabi Muhammad dengan risalah agung yang dibawanya, Islam mulai mengenalkan peran dan keluhuran wanita, dengan adanya Islam, semakin hari peradaban yang tidak manusiawi itu semakin terkikis, dan tergantikan dengan peradaban baru yang sangat mulia.

Oleh sebab itu, wanita harus berterimakasih pada Islam, sebab tanpa Islam keadaannya yang dianggap hina akan terus berkelanjutan. Namun, Islam tidak menginginkan hal itu terjadi. Sehingga, wanita bisa diberlakukan sangat mulia, sebagaimana yang terjadi saat ini.

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.