Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Ketika santri tradisional merespon isu aktual

Avatar photo
30
×

Ketika santri tradisional merespon isu aktual

Share this article

Islam tradisional sering diasosiasikan dengan konservatisme; salah satunya karena mereka terikat dengan pemikiran dan ajaran ulama Islam generasi awal. Oleh karena itu, dalam kadar tertentu, Islam tradisional dianggap cenderung tertutup terhadap dunia luar (baca: modernitas). Dalam konteks Indonesia, salah satu pilar Islam tradisional santri tradisional; yaitu orang-orang, biasanya berusia muda atau bahkan anak-anak, yang belajar ilmu agama Islam di pesantren tradisional.

Meskipun demikian, ternyata santri telah eksis dan aktif di internet, termasuk di YouTube; tidak hanya sebagai konsumen tetapi juga sebagai kreator konten-kontennya. Kanal-kanal YouTube yang berkaitan dengan santri dapat dengan mudah ditemukan, biasanya ada kata “santri” yang disematkan pada nama kanalnya. Isinya mulai dari kumpulan video atau rekaman ceramah ulama hingga sketsa komedi religius.

Kanal YouTube Santri Gayeng, misalnya, memuat rekaman-rekaman pengajian KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha), di samping sejumlah tokoh lain. Dalam deskripsinya, Santri Gayeng menyatakan bahwa mereka merupakan santri alm. KH Maimoen Zubair, kyai kharismatik pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Rembang, Jawa Tengah. Sementara itu, di antara kanal-kanal YouTube santri yang berisi sketsa komedi religius ada Guyonan Santri. Kanal YouTube Guyonan Santri diawaki oleh beberapa santri yang berafiliasi dengan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Pondok Pesantren Al-Anwar dan Sidogiri merupakan dua contoh pesantren tradisional besar nan legendaris yang ada di Indonesia.

Salah satu daya tarik kanal YouTube Guyonan Santri yaitu bahwa beberapa kontennya ditujukan untuk merespon isu-isu aktual. Sebagai informasi, latar belakang kanal YouTube Guyonan Santri dapat disimak dalam video berjudul “Asal-usul Guyonan Santri”.  Dalam video tersebut, pendiri kanal tersebut—bernama Kholid H. Dahlan, alumni Pondok Pesantren Sidogiri dan beberapa pesantren lainnya—mengatakan bahwa pada awalnya ia hanya ingin membuat konten-konten lucu. Namun, setelah beberapa kali berdiskusi dengan teman dan kerabatnya, Dahlan memutuskan untuk mengedepankan edukasi dalam konten-kontennya. Edukasi dalam istilahnya berarti menyampaikan ajaran agama dan akhlak Islam. Hal itu dimaksudkan agar konten-konten dakwahnya tidak membosankan bagi para penontonnya.

Lebih lanjut, Dahlan juga mengakui bahwa isi Guyonan Santri dimaksudkan untuk mengenalkan dunia pesantren serta berbagi ragam pengalaman positif kehidupan pesantren. Dahlan juga menambahkan bahwa sebagian besar isi Guyonan Santri terinspirasi dari berbagai kisah sufi yang cukup terkenal di masyarakat muslim. Cerita-cerita sufi tersebut dipilih karena sesuai dengan kebutuhan pesan konten, yaitu cerita-cerita yang penuh hikmah keagamaan dan sekaligus lucu.

Sebagian besar konten Guyonan Santri adalah sketsa komedi religius yang menyampaikan ajaran atau nilai-nilai Islam tertentu; di samping sejumlah video berisi vlog dan wawancara. Adapun konten-konten yang merespon isu-isu aktual contohnya adalah sebagai berikut.

Pertama, video berjudul “Beda Pilihan”. Sketsa komedi tersebut merespon isu sehubungan dengan fenomena pertentangan antara pendukung Joko Widodo (Jokowi) dan pendukung Prabowo—dua calon presiden dalam pemilu Indonesia tahun 2019. Pesan dari konten tersebut yaitu mengimbau masyarakat untuk tidak kekanak-kanakan, tidak saling memfitnah, dan rukun dalam mendukung calon presiden masing-masing.

Kedua, tiga video berjudul “Corona/COVID-19”, “Doa Penangkal Virus”, dan “Dilarang Mudik”. Ketiga sketsa komedi tersebut merespon isu-isu terkait pandemi COVID-19. Di dalamnya dibahas isu-isu tentang area lockdown, kebersihan, sikap terhadap COVID-19, dan larangan mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun 2020.

Ketiga, video berjudul “Reaksi Santri RUU Ciptaker & Omnibus Law”. Sketsa komedi tersebut merespon terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang biasa dilabeli sebagai omnibus law. Undang-undang tersebut mendatangkan kontroversi sehingga beberapa elemen masyarakat sipil melakukan aksi unjuk rasa. Dalam video itu diusung pesan bahwa semua orang sebaiknya merespon omnibus law sesuai dengan perannya masing-masing; jika para mahasiswa dan buruh melakukan unjuk rasa, para santri tidak perlu mengikuti hal serupa. Hal yang harus para santri lakukan adalah berdoa dengan tulus, untuk “mengetuk pintu langit”. Demikian ungkap tokoh kyai dalam sketsa komedia tersebut.

Keempat, video berjudul “Boikot Prancis”. Konten tersebut tampaknya merespon seruan untuk memboikot produk Prancis. Seruan boikot itu muncul di berbagai belahan dunia sebagai bentuk protes kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dianggap mendukung penghinaan terhadap Nabi Muhammad karena membela publikasi kartun Sang Nabi. Sketsa komedi tersebut mengandung pesan bahwa memboikot produk Prancis memang diperlukan dengan harapan dapat memberi efek terhadap perekonomian Prancis, sehingga mereka tidak berani mengulangi perbuatan serupa. Namun, hal itu bukan berarti membuang atau menghancurkan semua produk yang sudah dibeli, seperti dilakukan oleh salah seorang pesohor. Produk Prancis yang sudah terlanjur dibeli sebaiknya tetap digunakan atau dikonsumsi, tetapi umat Islam harus menahan dari membeli produk Prancis ke depannya.

Kelima, video berjudul “Suara Terbatas”. Video tersebut merespon isu pengaturan pengeras suara masjid oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama. Dalam konten tersebut, kebijakan pengaturan pengeras suara masjid ditanggapi dengan keheranan: bagaimana mungkin orang bisa mendengar suara azan jika suaranya tidak cukup keras.

Sejumlah konten Guyonan Santri yang diceritakan di atas telah menunjukkan bahwa santri merespon isu-isu aktual, baik itu isu nasional maupun internasional. Lebih jauh lagi, isu-isu yang menarik bagi santri tidak terbatas pada isu-isu yang berhubungan dengan agama saja, tetapi juga isu-isu yang di luar urusan agama—seperti politik, hukum, dan kesehatan. Guyonan Santri juga merespon isu-isu tersebut dengan mengekspresikan gagasan dan pesan-pesan mereka dengan balutan komedi. Dengan menyimak konten-konten Guyonan Santri, tampaknya tradisionalitas mereka hanya terbatas pada busana yang dikenakan, yaitu peci dan sarung sebagai simbol identitas. Selebihnya, para santri tersebut tidaklah tertutup terhadap modernitas, setidaknya terlihat dari keakraban mereka dengan media baru serta tanggapnya mereka terhadap isu-isu aktual.

Kontributor

  • Herman Hendrik

    Sarjana S1 Antropologi UI, S2 Kajian Kebijakan UNPAD-GRIPS. Peneliti pada Pusat Riset Agama dan Kepercayaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Meminati penelitian pesantren, tarekat dan tasawuf.