Imam Asy-Syatibi (w. 591 H) merupakan seorang ilmuwan dan pembaharu dalam bidang ilmu qira’at (bedakan dengan Abu Ishaq Asy-Syatibi, pakar mqashid syariah, w. 790 H). Dikatakan pembaharu karena dari goresan tintanya, ilmu qira’at Al-Qur’an menjadi ilmu yang mudah difahami. Beliau meracik ilmu qira’at dengan bentuk syair atau qashidah dengan menggunakan rumus-rumus abjad yang mudah bagi para penuntut ilmu.
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Qasim bin Firruh Asy-Syatibi Al-Andalusi. Beliau lahir di Xativa (Syatibah) Spanyol pada tahun 538 H dan wafat di Mesir pada tahun 591 H. Makamnya terletak di bukit Muqatam, Mesir.
Selain terkenal dengan keilmuan dan kepakarannya dalam ilmu qira’at dan rasm mushaf, beliau juga dikenal sebagai ulama yang memiliki karamah. Bahkan banyak ulama bersaksi bahwa beliau adalah seorang wali Allah yang mukasyafah. Di antara kisah tentang karamah Imam Asy-Syatibi adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam mengajarkan Al-Qur’an, Imam Asy-Syatibi selalu berupaya untuk berbuat adil dan disiplin. Murid yang datang lebih awal berhak untuk setoran dan membaca kepada beliau terlebih dahulu. Oleh karena itu, banyak murid beliau yang berlomba-lomba datang lebih awal bahkan datang di pagi buta agar mendapatkan giliran pertama.
Baca juga: Umm Kulsum, Pelantun Quran yang Sukses Jadi Musisi Besar
Sutau hari terdapat seorang murid yang punya keinginan yang kuat untuk membaca Al-Qur’an kepada beliau pada giliran pertama. Dengan penuh semangat ia berangkat sebelum adzan shubuh berkumandang ke tempat pengajian beliau di masjid Al-Fadhiliyah. Dengan senang dan bangga ia datang lebih awal dibandingkan teman-temannya yang lain.
Setelah shalat subuh, Imam Asy-Syatibi membuka pengajian. Sang murid duduk di barisan paling depan agar bisa membaca pada giliran paling pertama. Tapi tampaknya, sang murid kurang beruntung, pada saat itu beliau tidak menerapkan disiplin yang biasa beliau terapkan, tapi justru meminta kepada murid yang datang pada urutan kedua untuk maju setoran lebih dulu.
Gundah gulana sang murid merenungi apa gerangan yang terjadi kepadanya, kesalahan apa yang dilakukan hingga sang guru tidak menyuruhnya untuk membaca lebih awal. Beberapa menit kemudian, sang murid teringat bahwa semalam dia dalam keadaan jinabat (hadas besar) dan lupa untuk mandi terlebih dahulu karena terlalu bersemangat untuk berangkat lebih awal ke majlis pengajian Imam Asy-Syatibi.
Setelah ingat akan kesalahannya, ia beranjak ke belakang masjid untuk mandi besar. Setelah itu, ia pun bergegas kembali ke tempat pengajian sebelum murid pertama menyelesaikan setoran. Setelah penyetor pertama selesai membaca, Imam Asy-Syatibi berkata, “Siapa yang datang pertama, hendaknya ia maju untuk membaca.”
Kedua, diceritakan bahwa Imam As-Sakhawi (w. 640 H), murid kinasih Imam Asy-Syathibi, membaca tujuh qira’at kepada beliau dengan metode ifrad, yaitu membaca Al-Qur’an per-riwayat perawi dari setiap imam qira’at. Setiap Imam qira’at memiliki dua perawi, maka jumlah perawi dalam qira’at sab’ah adalah 14 perawi.
As-Sakhawi belajar dan membaca qira’at kepada gurunya dalam jangka waktu yang sangat lama. Ia sangat takdzim dan penuh cinta kepada sang guru. Dengan penuh kesabaran dan ketelatenan keduanya mampu menyelami samudra ilmu qira’at. Ketika sampai pada imam ke tujuh, yaitu Imam al-Kisa’i (w 189 H), sang guru meminta As-Sakhawi untuk membaca kedua perawi secara bersamaan atau dalam istilah ilmu qira’at disebut jam’u al-riwayah.
Baca juga: Kewiraian Imam Abu Hanifah dan Pilihan Politik Kontroversial
Imam Asy-Syatibi tidak pernah meminta kepada muridnya untuk membaca Al-Qur’an dengan menggunakan metode jam’u (membaca dengan menggabungkan beberapa riwayat qira’at), namun kali ini beliau meminta hal tersebut. Selang beberapa bulan kemudian, ternyata Allah memanggil ulama ini untuk kembali keharibaan-Nya. Tak disangka, permintaan beliau kali ini kepada murid kinasihnya seakan-akan menjadi isyarat yang tersurat bahwa ajal sudah dekat.
Sang imam seakan memiliki firasat bahwa perpisahan tidak akan lama lagi, sehingga beliau berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik kepada muridnya agar bisa mengkhatamkan qira’at lebih cepat. Imam As-Sakhawi pun mengatakan bahwa gurunya itu adalah seorang yang mukasyafah. Ini adalah satu bukti lain dari kewalian Imam Asy-Syatibi.