Pagi ini, kita berada
di Hari Raya Kurban (An-Nahr). Apa itu Hari Raya Kurban?
Itulah hari yang
bertepatan dengan Hari Haji Akbar, yang merupakan syiar teragung dari
syiar-syiar Islam, yang Allah tetapkan penunaiannya di tanah termulia (Makkah),
yang diajarkan manasiknya oleh makhluk Allah termulia dan tersempurna. Ketika
menunaikan ibadah tersebut, beliau bersabda:
خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُم لَعَلِّي لَا أَلْقَاكُم بَعْدَ
عَامِكُم هَذَا
“Ambillah dariku
manasik kalian, bisa jadi aku tidak akan menjumpai kalian di tahun berikutnya.”
Itulah Haji Wada’ di
mana Rasulullah SAW merincikan kaifiyat (tata cara) pelaksanaan manasik haji.
Sejak hari itu pula, dibakukan kembali perputaran bulan sebagaimana keteraturan
sistem yang diciptakan oleh Allah, setelah sempat diotak-atik pergantiannya
oleh kaum jahiliah. Tradisi mereka mengganti suatu Bulan Haram dengan bulan
yang lain sesuai kehendak hawa nafsu mereka, tradisi yang disebut dengan Nasi’
sebagaimana tertera dalam firman Allah:
اِنَّمَا النَّسِيْۤءُ زِيَادَةٌ فِى الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ
الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُحِلُّوْنَهٗ عَامًا وَّيُحَرِّمُوْنَهٗ عَامًا
لِّيُوَاطِـُٔوْا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ فَيُحِلُّوْا مَا حَرَّمَ اللّٰهُ
“Sesungguhnya
pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah kekafiran. Orang-orang kafir
disesatkan dengan (pengunduran) itu, mereka menghalalkannya suatu tahun dan
mengharamkannya pada suatu tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan
dengan bilangan yang diharamkan Allah, sekaligus mereka menghalalkan apa yang
diharamkan Allah.” (QS. At-Taubah: 37)
Ditetapkanlah Hari
Arafah itu tanggal 9 Dzulhijjah, sehingga tidak lagi dapat diganggu-gugat oleh
siapapun. Dan dengan hidayah Allah, dipersatukanlah penanggalan yang sebelumnya
selalu diperselisihkan.
Allah memberikan kita
kesehatan dan kemudahan untuk menjalani ibadah ini di tengah-tengah wabah.
Kalaupun ada di sekitar saudara kita yang berduka, jika meninggal, mereka
mendapatkan martabat syahid. Di antara kita ada yang diizinkan bertahan hidup,
juga mendapatkan pahala syahid jika bersabar dan bertawakkal.
Apa perbedaan pahala
dan martabat?
Pahala artinya martabat
yang ditangguhkan. Sedangkan martabat, artinya dia telah memperoleh dan
mencapai kedudukan mulia itu.
Maka kita bersyukur,
Allah menangguhkan kematian untuk kita sehingga kita berkesempatan untuk
menambah ketaatan.
خَيرُكُم مَن طَالَ عُمرُه وَحَسُنَ عَمَلُه
“Orang terbaik di
antara kalian adalah yang panjang usianya dan baik amal perbuatannya.”
نِعمَتَانِ مَغبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاس: الصِّحَّةُ
وَالفَرَاغ
“Dua nikmat yang
seringkali lalai padanya banyak manusia, yaitu nikmat sehat dan nikmat sempat.”
Maka, ketika Allah
telah memberikan kita nikmat kesehatan dan nikmat kesempatan, lakukanlah:
فَاِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْۙ وَاِلٰى رَبِّكَ فَارْغَبْ
“Maka apabila engkau
telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang
lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS. al-Insyirah: 7-8)
Artinya, tetapkanlah
wijhahmu ke arah menuju Allah. Inilah esensi dari perintah Beribadah haji.
Kata Haji secara bahasa
berarti “Qashdu Al-Mu’azzhom”. Bermusafir dengan tujuan untuk
mengunjungi Al-Mu’azzham Sang Maha Agung.
Kita semua hakikatnya
adalah musafir sejak diciptakan oleh Allah hingga kita wafat. Inilah makna
penganalogian dalam Nabi SAW:
كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ
مُوْبِقُها
Maka jadikanlah
musafirmu di dunia mengarah kepada Al-Mu’azzham Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Dengan demikian, artinya kamu berhaji di setiap hembusan nafas.
Menunaikan haji di setiap pagi. Menunaikan haji di setiap malam yang datang.
Kamu adalah haji di setiap keadaanmu, yang pergi menuju kepada Tuanmu. Yang
selalu terjaga dari kelalaian. Yang selalu berdzikir mengingat-Nya. Dan selalu
bertobat kepada-Nya di setiap kali lalai atau jatuh pada maksiat.
Jika kamu terjerembap pada
maksiat, segeralah bertobat kepada-Nya. Orang yang bertobat dengan segera, dia
akan masuk kepada Allah melalui Pintu Tobat.
Pintu Tobat adalah
pintu terluas bagi hamba untuk mendatangi Tuhannya. Karena itulah Allah
menciptakan kita tidak ma’shum, agar kita jatuh pada maksiat, lalu setelahnya
kita bertobat, dengan tobat itulah kita masuk pada pintu-Nya. Inilah bentuk rahmat
Allah kepada kita.
Maksiat bagi Bani Adam
adalah penyebab bagi kemuliannya jika ia bertobat dengan segera. Maka kita
selalu minta kepada Allah untuk menjadikan kita dalam golongan orang-orang yang
segera bertobat.
Sabda Nabi SAW:
لَوْ لَمْ تُذْنِبُوْا لَخَلَقَ اللهُ خَلْقًا يُذْنِبُوْنَ
فَيَتُوْبُوْنَ وَيَسْتَغْفِرُوْنَ فَيَغْفِرُ اللهُ لَهُمْ
“Kalau kalian tidak
berbuat dosa, maka Allah akan menciptakan makhluk lain yang berdosa lalu bertobat
dan memohon ampun kepada Allah, lalu Allah mengampuni bagi mereka.”
Oleh karena itu, wahai
orang Muslim, jika suatu saat kamu dikalahkan oleh hawa nafsumu atau
ditaklukkan bisikan setan, janganlah cepat berputus asa. Sebab kamu tidak
diciptakan ma’shum. Kamu diciptakan sebagai manusia yang tabiatnya berdosa,
tetapi ingat:
خَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْن
“Sebaik yang berdosa
adalah yang segera bertobat.”
Syarat tobat diterima
adalah, tobat yang dilakukan sesegera mungkin setelah jatuh pada maksiat. Maka
jangan sampai melakukan dosa kemudian mengulang-ulanginya. Karena pengulangan
itu akan mengarah kepada habit (kebiasaan). Jika sudah menjadi habit, maka
susah untuk dihilangkan. Maka Allah dengan rahmat-Nya khawatir kepadamu jika
berbuat dosa lalu kamu menjadi Ahlu Ghaflah (orang yang lalai), maka Dia
menasehatimu selalu:
تُبْ مِنْ قَرِيْب، تُبْ مِنْ قَرِيْب
Bertobatlah segera dan
selalu! Bahkan dalam segala hal kamu selalu bertobat kepada Allah. Jika kamu
sedang ditempatkan pada Maqam Taqarrub, maka bentuk tobatmu adalah dengan
bersyukur dan menjaga ketaatan itu. Jika kamu dalam kelengahan atau maksiat,
maka bentuk tobatmu adalah penyesalan dan kembali kepada-Nya. Demikianlah, agar
dalam setiap langkah dalam hidup selalu mendekatkan diri kepada Allah.
Maka Alhamdulillah,
segala puji bagi-Nya yang telah menunjuki kita kepada jalan-Nya yang lurus dan
menjadikan hati kita ridha dengan Allah sebagai Tuhan kita, Sayidina Muhammad
sebagai Nabi kita dan Islam sebagai agama kita.
Dengan syariat Nabi
Muhammad SAW Allah mencukupkan kita dari syariat-syariat yang lain, karena
agama dan syariat inilah yang paling sempurna, sebagaimana Firman Allah yang turun
pada Haji Wada’ saat Rasulullah SAW dan para sahabatnya Padang Arafah:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًا
Pada hari ini telah Aku
sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah
Aku ridai Islam sebagai agamamu.
Manasik haji yang
terdiri dari tawaf mengelilingi Ka’bah, Sai antara Shafa dan Marwah, Ihram,
Talbiah, melempar Jamrah, Mabit di Muzdalifah, Wukuf di Padang Arafah, serta
pantangan-pantangan dari kebiasaan-kebiasaan yang biasa kita lakukan
sehari-hari.
Semua itu memang berat,
dilakukan untuk mendekat kepada Allah. Dilakukan untuk mengingatkan manusia,
bahwa manusia perlu melakukan “Pengorbanan”, mengorbankan hasrat demi meraih
keridhaan Tuhannya. Tabi’at manusia jika mencintai sesuatu, maka dia akan rela
berkorban demi apa yang dia cintai. Lelah yang dia rasa selama berkorban untuk
yang dicinta, itulah kelezatan dan kebahagiaan yang sesungguhnya bagi pencinta.
Maka, Alhamdulillah, Allah
menjadikan kelezatan dan kebagiaan hidup kita terletak pada Taqarrub dan Ibadah
kepada-Nya.
Allah mensunnahkan sunnah
berkurban bagi yang tidak bisa berhaji dan mensunnahkan hadyu bagi yang
berhaji. Agar apa? Agar tertumpahkan alirah darah hewan-hewan kurban yang
bukanlah diciptakan melainkan agar disembelih dengan menyebut nama-Nya, serta
dimakan dengan kesyukuran atas hidangan yang disajikan Allah untuk kita.
Beberapa kelompok
melakukan protes atas sunnah ini. Mereka mengatakan, “Dalam penyembelihan hewan
itu terdapat nilai kekerasan.” Padahal nilai rahmat bagi manusia yang lebih
besar pada Ritual Kurban luput dari kelompok pemrotes ini, seakan-seakan mereka
diciptakan sebagai hewan, bukan sebagai manusia.
Manusia menyembelih
agar makan. Makan adalah bentuk dari rahmat. Allah tidak menciptakan
hewan-hewan ternak ini melainkan untuk khidmah dan menunaikan tugasnya ini bagi
manusia.
Ketika menyembelihnya
dengan nama Allah, maka di sana ada persiapan bagi hewan tersebut sehingga
seakan dia tidak merasakan kesakitan. Rasulullah mengajarkan kepada kita
adab-adab menyembelih. Di antaranya: mengasah pisau setajam-tajamnya, tidak
mengasah pisau di hadapan hewan yang akan disembelih, tidak menyembelih di
depan mata hewan yang lain. Di sini terdapat nilai rahmat yang besar pada
hewan. Sabda beliau SAW:
إِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذِّبْحَة وَإِذَا قَتَلْتُمْ
فَأَحْسِنُوْا الْقِتْلَة
Apabila adab-adab ini
diperhatikan, lalu hewan sembelihan ditidurkan dengan posisi kanan menghadap
kiblat, dan penyembelih membaca “Bismillah Allahu Akbar”, maka ia
bagaikan seorang dokter profesional yang akan melalukan operasi bedah sehingga
pasiennya tidak merasakan sakit apapun. Karena kau menyembelihnya atas nama dan
kehendak Allah, maka hewan sembelihan itu menyerahkan dirinya kepadamu sehingga
kau menunaikan sunnah yang Allah tetapkan padamu. Serta membagi-bagikannya
kepada orang-orang yang membutuhkan sesuai petunjuk Allah:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَكُمْ مِّنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ لَكُمْ
فِيْهَا خَيْرٌۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا صَوَاۤفَّۚ فَاِذَا وَجَبَتْ
جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ كَذٰلِكَ
سَخَّرْنٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Dan unta-unta itu Kami
jadikan untuk-mu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan
padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam
keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah
(mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makanlah orang yang merasa cukup
dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.
Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Hajj ayat 36)
Disunnahkan bagi yang
ingin berkurban, untuk menyembelihnya setelah Shalat Ied. Jika menyembelihnya
sebelum itu, maka terhitung sebagai daging atau sedekah biasa. Sedangkan
keutamaan yang didapatkan jika itu terhitung ibadah kurban, Allah mengampuni
dari setiap darah yang mengalir, dosa dia dan dosa keluarganya. Serta kelak di
hari kiamat saat menyebarangi titi Shirath, hewan kurbannya itu akan
membantunya untuk menyeberang dan sampai dengan nyaman ke surga. Karena itulah,
Nabi SAW menganjurkan agar hewan yang dikurban itu sehat dan sempurna anggota
tubuhnya.
Dalam hadits,
disebutkan:
كَانَ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلم يُضَحّي بِكَبْشَيْنِ
أَمْلَحَيْن
Nabi SAW menyembelih
dua ekor kambing. Yang pertama untuk beliau dan keluarganya. Dan yang kedua
untuk umatnya yang beriman. Beginilah Nabi SAW mewakilkan untuk kita semua,
karena beliau bersabda:
أَنَا مِنْكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ مِنْ وَلَدِهِ
“Aku bagi kalian ibarat
orang tua bagi anaknya.”
Maka kita semua
sejatinya adalah satu keluarga, ayah kita adalah Nabi SAW, dan istri-istri
beliau adalah ibu kita. Hubungan kita dengan Nabi kita lebih kuat daripada
hubungan seorang anak dengan ayah biologisnya, bahkan dengan hubungan kita
dengan diri kita sendiri.
اَلنَّبِيُّ اَوْلٰى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ
وَاَزْوَاجُهٗٓ اُمَّهٰتُهُمْ ۗ
“Nabi itu lebih utama
bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya
adalah ibu-ibu mereka.” (QS. Al-Ahzab: 6)
Setelah menyembelih
hewan kurban, makanlah dari dagingnya walaupun sedikit. Kemudian sisanya
disedekahkan. Jika ingin disimpan juga boleh. Fuqaha ketika menganjurkan: 1/3
untuk diambil, 1/3 untuk hadiah dan 1/3 untuk disedekahkan dagingnya, itu hanya
sebagai anjuran dan bukan kewajiban.
Bahkan syariat membolehkan
untuk tawkil dalam berkurban (misalnya mempercayakan uangnya kepada panitia
kurban, tanpa ikut mengurusi detailnya). Ini adalah bentuk keringanan dari
Allah bagi yang punya rezeki untuk berkorban tapi disibukkan dengan urusan
lain. Ini memberikan makna bawah taat kepada Allah bisa dilakukan dengan banyak
cara. Inilah makna dari firman-Nya:
اِنْفِرُوْا خِفَافًا وَّثِقَالًا وَّجَاهِدُوْا بِاَمْوَالِكُمْ
وَاَنْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ
“Khifâf” dalam ayat di
atas maksudnya: saat kamu dalam keadaan luang, dalam keadaan sehat dan dalam
keadaan kaya. Sedangkan “Tsiqâl” di saat sakit, tua, sibuk, atau ada uzur-uzur
lain. Di semua kondisi itu kamu tetap bisa untuk datang memenuhi panggilan:
فَفِرُّوْا إِلَى الله!
“Bergegaslah berlari
menuju Allah!”
Petikan Khutbah Maulana
Prof. Dr. Yusri Rusyd Gabr Al-Hasani Idul Adha 1442 H. di Masjid Asyraf
Muqattam.