Siapa yang tidak tertarik jika pesantrennya dijadikan lokasi perhelatan akbar sekelas Muktamar NU? Jika anda memilki pesantren pun, pasti termasuk salah satu kiai yang memimpikan pesantrennya bisa mendapat kesempatan elit ini.
Mimpi, siapa saja boleh, bukan?
Kalau tidak punya pesantren, apa layak memimpikan itu? Tentu saja sangat layak. Syaratnya, anda harus mimpi punya pesantren dulu. Kalau mimpinya jadi kenyataan, baru mimpi ke level selanjutnya: pesantrennya dijadikan lokasi Muktamar.
Jika pesantren anda menjadi area Muktamar, dalam sekejap akan diberitakan banyak media, nama pesantren disebut di forum-forum penting kiai NU, disambangi presiden dan wakilnya, bahkan ratusan romli (rombongan lillahi ta’ala) rela turut hadir dengan biaya transport sendiri.
Tapi, ada yang lebih berkesan lagi, lebih dari ratusan kesan Muktamar lainnya: disambangi ratusan kiai NU yang sejuk, ramah, murah senyum, dan dengan guyub nongkrong di pinggir jalan sekitaran area acara untuk menyeruput kopi dan menyulut sebatang Dji-Sam-Soe.
Sebab itu, tidak heran jika momen lima tahun sekali ini menjadi buruan dan rebutan kiai-kiai pemilik pesantren. Bahkan jika harus berjibaku kerepotan membentuk dan memobilisasi panitia lokal yang jumlah dan job-desknya luar biasa tujuh belas setan. Banyak persiapan, rapat-rapat, koordinasi, dan, tentu, menghabiskan banyak kopi dan konsumsi.
***
Pada Muktamar ke-34 NU kali ini, yang sempat mundur satu setengah tahun dari jadwal semestinya, dihelat di Lampung, tepatnya di Pesantren Darusaa’adah yang diasuh oleh KH Muhsin Abdillah.
“Saya sendiri tidak tahu mengapa harus di Darussa’adah. Saya sangat bersyukur. Ini merupakan anugerah Allah,” tutur Kiai Muhsin penuh bahagia saat saya bersama Tim NU Online sowan ke ndalemnya, sehari sebelum perhelatan akbar itu dibuka dengan memukul beduk yang dibawa langsung dari Masjid Istiqlal menggunakan kapal laut.
Apa yang dikatakan kiai kelahiran 1951 itu memang benar-benar jujur, bukan pura-pura bahagia karena sedang berbicara di depan kamera. Dari senyumnya, nada sejuknya, aura sumringahnya, semuanya menunjukkan rasa bahagia dan penuh syukur.
Tentu, Kiai Muhsin bukan kiai sembarangan. Dipilihnya Pesantren Darussa’adah sebagai lokasi Muktamar pasti menyimpan rahasia besar.
“Tirakat apa yang sudah dilakukan kiai?” gumam saya membatin.
Tanpa ditanya, sang kiai mengungkapkan, saat serba-serbi pelaksanaan Muktamar mulai tercium, pihaknya bersama para santri dan sejumlah warga Nahdliyin Lampung Tengah sangat berharap event penghasil keputusan-keputusan penting itu bisa dihelat di wilayahnya.
Tentu, kiai mengaku, bukan sebatas kepinginan, melainkan didorong dengan memperbanyak doa, membaca macam-macam wirid, dan tidak lupa mudawamah merapalkan shalawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad.
Sebagaimana kita tahu, sebelum pelaksanaan Muktamar diketok palu untuk dilaksanakan di Darussa’adah, sempat ada perebutan (baca: usulan) beberapa lokasi di berbagai wilayah di Indonesia.
Tentu, bukan berarti kiai-kiai di sejumlah wilayah usulan tadi tidak berdoa dan merapalkan wirid dan shalawat, hanya saja, Kiai Muhsin sedang ‘kajatuhan bintang’. Gusti Allah yang maha kuasa mengabulkan doa sang kiai dan orang-orang sekitarnya.