Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Kiat dari Gus Baha agar tidak mudah kecewa terhadap orang lain

Avatar photo
59
×

Kiat dari Gus Baha agar tidak mudah kecewa terhadap orang lain

Share this article

Tidak jarang, kita merasa kecewa atas tindakan atau ucapan orang lain karena kita sudah menaruh ekspektasi kepadanya. Baik itu teman, kolega, keluarga, ataupun pasangan saat mereka melakukan sesuatu yang menyakiti hati kita, perasaan dan emosi negatif timbul dalam diri. Bahkan mungkin karena hal tersebut, kita sengaja merenggangkan hubungan silaturahmi dengan mereka.

Kondisi serupa juga pernah dialami oleh Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq. Namun hal itu tidak dibenarkan, sehingga Allah menegurnya dengan menurunkan firman-Nya:

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. an-Nur [24]: 22)

K.H. Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dalam rutinan pengajian Tafsir Jalalain beliau menerangkan bahwa sebab turunnya ayat tersebut berkenaan dengan sahabat Abu Bakar yang bersumpah tidak akan bersedekah lagi kepada anak bibinya yang bernama Misthah bin Asasah. Hal ini terjadi karena beliau kecewa kepada Misthah yang ikut menuduh zina terhadap putrinya, Sayyidah Aisyah.

Menurut Kiai kenamaan asal Rembang ini, sikap Sayyidina Abu Bakar jika dilihat dari sudut pandang logika manusia memang wajar. Karena, sudah sepantasnya sebagai orang tua merasa kecewa kepada seseorang yang menuduh anak kesayangannya melakukan tindakan yang melanggar syariat. Padahal sejatinya tidaklah berbuat demikian.

Akan tetapi, sikap yang diambil Abu Bakar itu nyatanya kurang tepat dari sisi-Nya. Setelah Allah menurunkan wahyu yang membersihkan diri putrinya. Di samping itu, Allah menerima tobat orang yang membicarakan haditsul ifki itu dari kalangan mukmin serta menghukum sebagian mereka yang berhak menerimanya.

Kemudian, khitab Allah ditujukan kepada Sayyidina Abu Bakar yang memerintahkan kepadanya agar tetap berbelas kasih kepada Misthah bin Asasah, yang miskin dan tidak berharta kecuali apa yang diterima dari uluran bantuan darinya. Allah menuntun Sayyidina Abu Bakar untuk bersikap legawa dan tetap bersedekah kepada saudaranya yang membutuhkan. Karena dengan sikap demikian, seseorang bisa mengendalikan emosinya, sehingga kemarahannya tidak mencegah perbuatan baik yang lain.  

Gus Baha menjelaskan, kasus Sayyidina Abu Bakar dalam ayat ini menjadi pelajaran untuk kita semua. Bahwa perintah Allah–yang meskipun berat–tetap harus dijalani. Cocok atau tidak (kepada orang lain), jika sudah perintah Allah maka harus dijalani. Jangan sampai kekecewaan itu menjadi penyebab terputusnya kebaikan. Dan jangan sampai jika kita merasa sakit hati dengan orang lain, langsung bersumpah yang tidak bagus, seperti memutus silaturahmi atau tidak mau lagi membantu orang lain.

Di samping itu, Gus Baha melarang keras pemikiran bahwa ketika seseorang berbuat baik kepada orang lain, ia berharap suatu saat kebaikannya juga akan dibalas. Beliau berpendapat kalau pemikiran seperti itu berarti seseorang hanya berbuat baik atas nama kompensasi sosial dan seolah-olah membuang Allah.

“Kalau kamu baik akan dibalas baik. Ketika kamu baik dibalas tidak baik, kamu rugikan? Sudah tidak dapat pahala. Jadi, teori-teori itu menjebak. Pemikiran yang membuang Allah.” jelas Gus Baha.

Maka dari itu, Gus Baha menyarankan ketika berbuat baik kepada orang lain harus meniatkannya “lillahi Ta’ala”, sebab Allah memerintahkan untuk bermuamalah dan berlaku baik kepada sesama. “Ubah pola pikir dari berbuat baik agar mendapat balasan yang sama, menjadi berbuat baik karena atas nama iman, yakni kepada Allah.” tegas Gus Baha.

Ulama ahli tafsir dengan kesederhanaannya yang khas tersebut, dalam kesempatan itu juga turut memberikan peringatan kepada para guru supaya tidak mudah kecewa kepada murid didiknya. Jika seorang guru kecewa kepada muridnya, kemudian ia bersumpah untuk tidak mengajarkan ilmu lagi, maka betapa banyaknya kerugian yang akan datang pada keduanya.

Karena menurut Gus Baha, sedekah seorang guru yang akan langgeng dicatat sebagai pahala jariah itu adalah mengajarkan ilmu Allah kepada murid-muridnya. Kerugian pertama ialah bagi seorang guru yang bersumpah itu sendiri, karena terputuslah amal kebaikan yang sudah dilanggengkannya. Kerugian pula bagi muridnya, karena murid tersebut menjadi tidak mendapat pengajaran agama yang baik, atau bahkan karena sikap gurunya tersebut, dirinya tidak minat untuk belajar agama lagi.

Walhasil, rasa kecewa tentu merupakan hal yang wajar, akan tetapi bagaimana cara kita mengelola dan menyikapi kekecewaan itu. Kita bisa meneladani (takhallaqu bi akhlaqillah), Allah sebagai Tuhan yang telah menganugerahkan rezeki tak terhingga saja, meskipun banyak yang durhaka dan tidak menyembah-Nya, tetap bermurah hati kepada hamba-hamba-Nya. Wallah a’lam.

Kontributor