Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Kiat meninggalkan sifat ujub dan takabur

Avatar photo
21
×

Kiat meninggalkan sifat ujub dan takabur

Share this article

Dari sekian banyak sifat dan perilaku tercela yang perlu dihindari dan tinggalkan oleh seseorang (muslim), adalah ujub dan takabur. Selain karena termasuk penyakit hati yang cukup sulit diobati, juga dapat mengantarkan pelakunya kepada jurang kehinaan dan kehancuran. Bukan hanya di sisi umat manusia, melainkan juga di sisi Allah SWT dan para utusan-Nya.

Saking tercelanya sifat dan perilaku ini, Allah menyatakan di dalam Al-Quran tentang larangan memiliki sifat dan perilaku ujub dan takabur, yaitu:

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الاَرْضِ مَرَحًا اِنَّ اللهَ لَايُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ

Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena kesombongan) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.(QS. Luqman: 18)

Ujub bisa diartikan sebagai sikap yang selalu memandang diri sendiri dengan pandangan kemuliaan dan kebesaran. Dengan kata lain, yaitu sikap serta perilaku gemar membanggakan dirinya sendiri beserta menganggap dan menilai orang lain lebih rendah dan hina. Pun, tidak senang apabila ada orang lain yang menolak pandangan dan pendapatnya.

Mengutip Al-Muhasibi, ujub adalah sikap memuji terhadap diri sendiri atas segala perbuatan yang telah dilakukan dan diperolehnya,  kemudian ia melupakan bahwa segala keberhasilan pekerjaan (ibadah, kekayaan, kesuksesan, kecerdasan dan lain sebagainya) yang dicapai merupakan nikmat atau karunia dari Allah SWT.

Sementara takabur adalah sikap berbangga diri dan cenderung memandang atau menganggap orang lain lebih rendah daripada dirinya. Atau, bisa diartikan sebagai suatu sikap ketidak-senangan  apabila diberi nasihat. Sebaliknya, jika memberi nasihat kerap menggunakan bahasa serta kata-kata yang kasar, tidak sopan, dan merendahkan orang lain.

Menurut Raghib Al-Ashfahani bahwa takabur adalah suatu keadaan seseorang yang merasa bangga dengan dirinya sendiri. Dengan memandang dirinya lebih besar dan lebih tinggi daripada orang lain. Ketakaburan yang paling parah adalah ketakaburan kepada Rabbnya dengan menolak kebenaran serta angkuh untuk tunduk kepada-Nya, baik berupa ketaatan maupun mengesakan-Nya.

M. Nuri juga menyatakan, sifat takabur merupakan penyakit yang bisa membinasakan amal kebaikan manusia. Orang yang berlaku takabur atau sombong adalah orang yang sakit secara mental dan sedang menderita kesakitan jiwa. Hal tersebut di sisi Allah SWT sangat dimurkai dan tercela.

Dari sini, jelas bahwa sifat ujub dan takabur wajib ditinggalkan oleh seluruh umat Muslim. Mengingat hal ihwal merupakan perilaku tercela yang sangat dibenci oleh Allah. Walau begitu, menghilangkannya pun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Akan tetapi, memerlukan suatu usaha dan latihan cukup berat.

Meninggalkan sifat ujub dan takabur

Saking berbahayanya sifat ujub dan takabur, banyak para ulama memberikan kiat untuk mengatasi bahkan menghilangkan sikap ini dalam diri setiap individu. Salah satunya adalah Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, seorang ulama kesohor yang menguasai pelbagai disiplin ilmu. Mulai dari fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam, filsafat, hingga tasawuf, dan lain-lain.

Menarik, kiat yang ditawarkan Imam Ghazali untuk meninggalkan sifat atau sikap ujub dan takabur terbilang mudah serta sederhana. Mengapa? Hanya dengan mengubah cara pandang dan pola pikir kita dalam menilai dan memandang orang lain, sehingga dengan sendiri hal tersebut akan hilang pada diri pelakunya. Kendatipun terbilang mudah, tetapi merealisasikan dalam kehidupan sehari-hari teramat sulit bahkan cukup berat.

Di antara kiat tersebut adalah: Pertama, janganlah melihat atau menilai seseorang melainkan dengan pandangan bahwa dia lebih baik di sisi Allah daripada diri sendiri, juga mempunyai beberapa kelebihan atas diri kita. Kedua, niscaya berpikir bahwa seseorang yang paling baik dan mulia bukan di sisi manusia, melainkan di sisi Allah; dengan cara melaksanakan perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Ketiga, apabila kamu melihat orang yang lebih muda daripada kamu, maka hendaklah kamu berkata (di dalam hati) “Anak ini belum pernah berbuat maksiat kepada Allah. Sementara aku sudah banyak bahkan saban waktu berbuat maksiat kepada-Nya. Keempat, apabila kamu melihat orang yang lebih tua dari kita, maka hendaklah kamu berkata “Orang ini telah menyembah Allah lebih dahulu daripada aku.”

Kelima, apabila melihat orang alim maka hendaklah kamu berkata, “Orang alim ini telah dikaruniakan kepadanya bermacam-macam pemberian yang tidak dikaruniakan kepadaku, dan ia telah sampai kepada martabat atau derajat yang aku tidak sampai kepadanya, dan ia juga telah mengetahui perkara yang aku tidak ketahui maka betapa aku sama dengannya.”

Keenam, apabila kamu melihat orang yang jahil (bodoh) maka hendaklah kamu berkata “Orang yang jahil ini berbuat maksiat akan Allah dengan kejahilannya, tetapi aku mengerjakan maksiat berserta dengan ilmuku maka Allah SWT akan berhujah ke atas diriku dan aku belum tahu lagi bagaimana aku akan mengakhiri kehidupanku ini.”

Ketujuh, apabila kamu melihat orang yang kafir (non-muslim) hendaklah kamu berkata “Aku belum tahu lagi boleh jadi nanti ia masuk Islam lalu ia mengakhiri hidupnya dengan husnul khatimah (mati dalam keadaan yang baik atau beriman) dan dengan sebab dia masuk Islam ia telah keluar daripada dosa-dosanya seperti keluarnya sehelai rambut daripada bancuhan (adunan) roti sementara aku boleh jadi berubah menjadi sesat setelah mendapat pertunjuk maka aku menjadi kafir dan kehidupanku akan diakhiri dengan suul khatimah (mati dalam keadaan kafir) maka orang kafir ini pada hari kiamat nanti akan dikumpulkan bersama dengan orang-orang yang Muqorrobin sedangkan aku akan disiksa di dalam api neraka.”

Jadi, apabila cara berpikir kita positif (sebagaimana yang disuguhkan Imam Ghazali di atas) niscaya hati akan tenang dan tidak berani untuk berperilaku ujub serta takabur terhadap orang lain. Dengan demikian, sebagai umat muslim hidup kita akan terhindar dari segala sifat-sifat yang tercela di sisi Allah. Wallahu A’lam.

Kontributor

  • Saidun Fiddaraini

    Alumnus Ma'had Aly PP Nurul Jadid, Paiton, kini mengajar di PP Zainul Huda, Arjasa Sumenep. Juga penikmat kajian keislaman dan filsafat.