Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Kisah Pegulat Menjadi Wali Berkat Cinta Pada Keturunan Nabi

Avatar photo
37
×

Kisah Pegulat Menjadi Wali Berkat Cinta Pada Keturunan Nabi

Share this article

Bagi kalangan umat Muslim yang akrab dengan dunia tasawuf, tentu nama Syekh Abul Qasim Junaid Al-Baghdadi sudah tak lagi asing di telinga mereka. Bagaimana tidak, ia begitu terkenal akan kewaliannya. Sampai-sampai, setiap kali membaca hadharah (pembacaan Surat Al Fatihah sebelum melakukan amalan mujahadah), para salik—sebutan bagi orang yang telah menempuh jalan tarekat—selalu mengkhususkan penyebutan nama Abul Qasim Junaid Al-Baghdadi tepat setelah penyebutan nama Suthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, Sang Raja Para Wali.

Lantas, bagaimanakah sejarah kewalian Syekh Abul Qasim Junaid Al-Baghdadi hingga ia begitu masyhur, terkenal sebagai kekasih Allah?

Ternyata, ia sebenarnya merupakan seorang pegulat tangguh tak terkalahkan pada masanya. Ia juga sangat ditakuti oleh para lawannya. Hingga suatu ketika, sang raja pada masa itu mengadakan sayembara bahwa siapa saja yang dapat mengalahkan Abul Qasim akan mendapatkan hadiah yang begitu banyak.

Sayembara tersebut akhirnya terdengar juga oleh seorang lelaki paruh baya di salah satu sudut Kota Baghdad. Ia adalah seorang keturunan Rasulullah Muhammad Sallallahu ‘alaihi wasalam yang hidupnya begitu memprihatinkan. Sudah beberapa hari terakhir, keluarganya tak makan. Usianya juga sudah cukup tua, kira-kira 65 tahun. Namun, hal itu tak menciutkan nyalinya untuk mengikuti sayembara melawan Abul Qasim. Karena ia memiliki cara tersendiri.

Baca juga: Kisah Cinta Zahid dan Zulfah, Gagal Menikah Demi Taat Rasulullah

Hari pertarungan telah tiba. Hingga saat itu, anehnya tidak ada seorang pun yang berani mendaftar melawan Abul Qasim. Maklum, seluruh penduduk kota sudah mengerti kehebatannya dalam bergulat. Mereka lebih memilih nyawa mereka daripada harus mati konyol demi memimpikan hadiah sayembara dari raja. Berbeda dengan lelaki dzurriyah Rasul itu, ia tak gentar sama sekali. Demi keluarga yang sudah beberapa hari tak makan, ia rela mengorbankan nyawanya.

Saat ia mulai beradu pandang dengan Abul Qasim, saat melakukan penghormatan salam sebelum bertarung ia berbisik kepadanya:

“Wahai Abul Qasim, aku tahu bahwa engkau adalah pegulat terhebat di kota ini. Dan aku pun yakin bahwa aku tak akan mampu mengalahkanmu. Namun, tahukah engkau mengapa aku berani bertarung denganmu. Aku adalah cucu Rosulullah, namun keluargaku sedang tertimpa kesusahan. Sudah beberapa hari terakhir aku dan keluargaku tak mampu makan. Maka dari itu, aku memohon kepadamu agar engkau bersedia berlagak kalah hingga akhirnya hadiah sayembara itu aku dapatkan dan keluargaku dapat makan.”

Mendengar hal itu, Abul Qasim begitu prihatin. Ternyata ada juga keturunan Rasulullah yang seperti itu. Akhirnya, dengan niatan memuliakan anak-cucu Rosulullah, ia turuti permohonan lelaki tua itu. Dan benar, lelaki tua tersebut sukses memenangkan sayembara dan kemudian membawa pulang hadiahnya untuk keluarga.

Baca juga: Imam Malik Tidak Melafalkan Hadits Kecuali Dalam Keadaan Suci

Sedang Abul Qasim harus menanggung malu bahwa pegulat terhebat di kota itu telah dikalahkan hanya dengan pukulan lelaki tua usia 65 tahun. Tapi hal itu tak membuat hatinya kecewa sedikit pun. Ia justru bersyukur sudah dapat membantu keturunan Nabi. Meskipun orang-orang sekota menghujatnya karena memang tidak tahu, ia merasa hal ini tidak perlu diberitahukan.

Hingga suatu malam yang indah, Abul Qasim  bermimpi ditemui oleh seorang lelaki yang ketampanannya tak dapat tergambarkan oleh kata-kata. Ia begitu penuh dengan cahaya. Namun, keteduhan wajahnya dan kewibawaannya tak membuat mata silau melihat pancaran cahaya dari dalam manusia terbaik sepanjang masa. Ya, ternyata ia adalah Rasulullah Nabiyyuna Muhammad Shallallahu ‘alaih wasallam.

Dalam mimpinya itu, Sang Rasul berkata pada Abul Qasim Junaid Al-Baghdadi bahwa mulai malam itu, derajatnya diangkat oleh Allah menjadi waliyullah, kekasih Allah. Bukan karena kekuatannya, melainkan karena ia telah rela menolong dzurriyah Rasul, anak-cucu keturunan Sang Utusan terkasih Allah, Sayyidul Wujud Nabiyyuna Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasalam.

Subhanallah, lewat kisah tersebut dipetik hikmah bahwa memuliakan keturunan Rasulullah saja dapat mengangkat derajat manusia yang awalnya hanyalah seorang pegulat, menjadi wali Allah yang terkenal seantero jagat. Tak ada salahnya jika kita mau untuk selalu membaca shalawat dalam rangka memuliakan Rasulullah. Tentu, andaikata hal itu ditampakkan, betapa manfaatnya tak dapat terkias oleh kata.

Baca juga: Pengalaman Syekh Ali Jumah Mimpi Bertemu Nabi dari Membaca Sirah

Kisah ini juga memberikan pesan bahwa menolong orang yang terdesak oleh kebutuhan merupakan sebuah kemuliaan. Imam Junaid Al-Baghdadi memberi contoh tentang pentingnya memprioritaskan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Ia ikhlas mengorbankan gengsi dan popularitas prestasinya demi membantu orang lain memenuhi kebutuhan dasarnya.  Wallahu A’lam.

Tulisan ini disarikan dari kisah yang dituturkan oleh Mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah Qadiriyyah KH. Misbachul Munir Al-Mubarok yang juga pengasuh Pesantren Al-Hidayat Krasak, Temuroso, Guntur, Demak, Jawa Tengah.

Kontributor

  • Ibnu Zen@

    Pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang di bawah asuhan KH. Maemun Zubair, Allahu Yarhamuh. Sekarang mengajar di di Pondok Pesantren An-Nasihun Kedungwuni Pekalongan.