Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Kisah Santri yang Mendapat Istri sebab Sepotong Terong

Avatar photo
36
×

Kisah Santri yang Mendapat Istri sebab Sepotong Terong

Share this article

Syekh Ali Thanthawi bercerita:

Di Damaskus terdapat sebuah masjid yang bernama Jami’ At-Taubah. Masjid yang dipenuhi keberkahan dan ketenangan. Dinamakan dengan “At-Taubah” sebab dahulunya tempat itu merupakan tempat hiburan yang menjadi sarang orang bermaksiat.

Oleh karena itu, salah satu raja pada abad ke 7 H membeli tempat tersebut, kemudian merobohkannya dan membangunnya menjadi masjid.

Selama 70 tahun, tempat tersebut dihuni oleh seorang guru bernama Syekh Salim As-Suyuthi. Beliau merupakan guru sekaligus tokoh umat, tempat masyarakat bertanya tentang pelbagai permasalahan, baik masalah agama maupun dunia.

Beliau memiliki seorang santri yang miskin sama seperti beliau. Murid tersebut tinggal di salah satu ruangan di masjid.

Hari demi hari santri itu belajar dalam keadaan miskin. Suatu saat, dia mengalam masa yang sulit. Selama dua hari, ia tidak makan sama sekali. Cadangan makanan pun habis, dan dia tidak memiliki uang untuk membeli sesuatu.

Baca juga: Kiai, Hadratusyaikh Hasyim Asyari dan Hari Santri

Keesokan harinya, di hari yang ketiga, ia merasa bahwa kematian sudah di depan mata. Dia mulai berpikir apa yang harus ia lakukan untuk menghadapi masalahnya.

Ia memandang bahwa keadaan dia ini secara fikih sudah dibatas yang diperbolehkan untuk memakan bangkai, atau mencuri sesuai dengan kebutuhan. Kemudian ia pun bertekad untuk mencuri sesuatu demi menyambung hidupnya.

Masjid At-Taubah berada di distrik kuno. Rumah-rumah masyarakat pada saat itu saling berhubungan, dan atapnya berdempetan. Seseorang siapapun itu sangat dimungkinkan untuk pindah dari satu rumah ke rumah lain dengan berjalan di atas atap rumah.

Santri itu naik ke atap masjid. Dia berjalan menuju atap rumah masyarakat dan mencari-cari rumah yang memiliki makanan. Ketika sedang mencari, matanya tidak sengaja melihat seorang perempuan, santri itu pun seketika langsung mengalihkan pandanganya dan menjauh dari tempat perempuan tersebut.

Di tengah pencariannya, ia pun menemukan sebuah rumah yang sedang memasak. Karena rasa lapar yang sangat, wangi masakan tersebut seperti magnet yang menarik dia untuk mendekat.

Dia pun masuk ke rumah tadi dengan berusaha meloncat melalui jendela. Ia menemukan terong yang baru saja digoreng. Dia ambil satu potong terong, kemudian ia gigit terongnya dengan satu gigitan.

Ketika ia ingin memakannya, dia pun mengingat kembali tentang jati dirinya sebagai santri. Dia berkata kepada dirinya sendiri, “Aku berlindung kepada Allah. Aku adalah santri yang tinggal di masjid, kenapa aku berani untuk masuk rumah orang tanpa izin dan mencuri darinya?!”

Santri itu pun membesarkan masalahnya sendiri. Dia sangat menyesal dan memohon ampun kepada Allah akan perbuatannya. Dia lalu kembali ke tempat semula, dan duduk di halaqah gurunya untuk mengaji. Dia tidak paham apa yang disampaikan gurunya sebab rasa lapar yang sudah menggerogoti.

Baca juga: Berkah Bercanda dan Prasangka Baik kepada Allah

Ketika kajian telah usai, dan masyarakat sudah bubar, datang seorang perempuan dengan pakaian yang sangat tertutup. Pada zaman itu semua wanita menggunakan pakaian tertutup dan tidak memperlihatkan wajahnya ke khayalak umum.

Perempuan itu berbicara sesuatu kepada Syekh Salim dengan suara yang pelan, sehingga santri itu pun tidak dapat mendengar percakapannya.

Syekh Salim melirik sekitarnya dan tidak menemukan siapapun kecuali santrinya tersebut. Syekh Salim bertanya,  “Apakah kamu sudah menikah?”

Dia menjawab, “Belum, Syekh.”

Syekh Salim melanjutkan,  “Apakah kamu ingin menikah?” Santrinya pun terdiam mendengar pertanyaan gurunya.

Lalu Syekh Salim menegaskan kata-katanya, “Wahai anakku, apakah kamu ingin menikah?”

Santrinya itu menjawab, “Wahai guruku, aku tidak memiliki apapun meskipun uang seharga roti, lalu dengan apa aku akan menikah?”

Syekh Salim kemudian menjelaskan, “Perempuan tadi memberitahuku bahwa suaminya telah wafat, dan dia hidup sendiri di Damaskus. Dia tidak memliki saudara kecuali pamannya yang sudah tua, dan pamannya hadir di sini.” Syekh Salim menunjuk ke salah satu orang yang sedang duduk, memberi isyarat bahwa itulah paman perempuan itu.

“Perempuan ini mewariskan rumah suaminya yang dulu,” lanjut Syekh Salim, “dan dia ingin mendapatkan seorang suami, agar ia tidak hidup sendirian. Namun selama mencari, dia selalu menemukan orang berperilaku buruk. Apakah kamu ingin menikahinya?”.

Karena rasa patuhnya pada sang guru, santri itu pun mengiyakan keinginannya.

Baca juga: Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Fatwa Menjual Ayam ke Orang Cina

Syekh Salim bertanya kepada perempuan tersebut, “Apakah kamu menerima santri ini sebagai suami mu?”

Perempuan itu pun mengiyakan juga.

Paman perempuan itu lalu dihadirkan sebagai wali, dan dipanggil dua orang untuk menjadi saksi. Akad nikah langsung dilaksanakan. Santri yang sudah dibekali gurunya sesuatu untuk dijadikan mahar juga sudah menyerahkan maharnya.

Singkat cerita, seusai akad pernikahan, perempuan itu mengantarkan suami barunya ke rumahnya. Ketika sudah masuk, perempuan tersebut membuka cadarnya. Siapa kira, suaminya yang santri itu melihat seorang wanita muda yang berparas cantik bak bidadari.

Ketika dia melihat-lihat rumah istrinya, ternyata rumah itu adalah rumah yang ia masuki untuk mencuri kemarin. Sang perempuan yang sudah menjadi istri pun bertanya, “Wahai suamiku, apakah kamu ingin makan?”

Santri yang sudah kelaparan tiga hari itu berkata dengan semangat, “Iya, aku ingin makan.”

Ketika istrinya pergi ke dapur, dia membuka tutup saji. Terkejutlah ia melihat ada bekas gigitan di salah satu terongnya. Sang lelaki pun menangis, dan menceritakan kisah sebenarnya.

Istrinya pun berkata, “ini adalah buah dari amanah yang ada pada dirimu. Kamu menjaga dirimu dari terong yang haram. Kemudian Allah berikan terong dan pemiliknya dengan cara yang halal.”

Kontributor

  • Fahrizal Fadil

    Mahasiswa Indonesia di Mesir, asal dari Aceh. Saat ini menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Fakultas Bahasa dan Sastra Arab. Aktif menulis di Pena Azhary. Suka kopi dan diskusi kitab-kitab turats.