Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Klasifikasi Santri Menurut Imam Mawardi

Avatar photo
26
×

Klasifikasi Santri Menurut Imam Mawardi

Share this article

Santri
merupakan salah satu ujung tombak dari keberhasilan Indonesia merdeka. Pasca
kemerdekaan Indonesia pun, ketika kolonial Belanda menyerang kota Surabaya dan
sekitarnya, tentara mereka dibuat kocar-kacir oleh para pejuang tanpa pamrih,
yaitu santri.

Melihat perkembangan
Indonesia
dari tahun ke tahun, pada mulanya santri tidak begitu dipandang, bahkan sempat
terisolasi gerak-geriknya di kancah perpolitikan. Tapi pada saat ini—diakui
atau tidak—istilah santri sudah tidak asing bagi seluruh lapisan masyarakat
Indonesia, apalagi wakil presiden Indonesia sekarang berangkat dari latar
belakang santri (pesantren).

Untuk mengenal
santri lebih akrab, mari kita tengok arti santri versi sebagian ulama. Namun
sebelumnya, mari kita buka dulu Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dari beberapa
arti yang ada di KBBI, salah satu arti santri adalah siswa yang ada di pondok pesantren.

Setelah kita tahu
versi KBBI, langsung kita terjun pada arti santri versi rumor yang mengakar di masyarakat.
Santri sering diidentikkan sebagai seorang yang ada di suatu tempat suci, yang
diasuh oleh seorang kiai untuk belajar mengaji disiplin ilmu yang Islami.
Demikianlah kira-kira santri versi rumor yang berkembang di masyarakat.

Jika kita lihat versi
kitab-kitab klasik, sebenarnya tidak jauh beda. Versi kitab klasik, santri
adalah seorang yang sedang
menuntut
ilmu agama
seperti al-Qur`an, Tafsir, Hadis, atau ilmu-ilmu yang
dibutuhkan sabagai alat untuk memahami ilmu agama, seperti ilmu Nahwu, Sharaf dan
lain-lain. Santri tidak harus berada di suatu tempat tertentu sebagaimana rumor
yang beredar.

Imam
Mawardi
, seorang ulama fikih asal Irak memiliki pengertian yang lebih
detail tentang santri. Dia mengklasifikasikan (menggolongkan) santri menjadi
dua kelompok;

Pertama, seorang yang diajak oleh guru yang alim untuk belajar
ilmu agama, karena melihat potensi (pintar dan cerdas) dari orang tersebut.

Kedua, seorang yang mempunyai keinginan sendiri untuk mencari
dan belajar ilmu agama.

Untuk yang
pertama, jika dari maksud guru tersebut diimbangi dengan keinginan dan potensi
anak yang diajak, maka guru tersebut tidak akan sulit mencapai tujuannya untuk
menggali potensi yang ada dan akan memperoleh hasil yang baik.

Dan untuk yang
kedua, seorang guru jika diminta untuk menjadi gurunya (seorang yang mempunyai
keinginan sendiri untuk mencari dan belajar ilmu agama), maka harus memperhatikan
latar belakang atau alasan anak, calon santri tersebut.

Apabila tujuannya
baik, bersifat agama serta ada pontensi yang terlihat, maka tidak alasan bagi
calon guru untuk tidak menerimanya (wajib menerima). Bahkan, jika tidak
memiliki potensi pun harus diterima, misalkan dia pandir (bebal otaknya).

Jangan sampai
kepandiran dia menjadi alasan untuk tidak menerimanya. Karena, jika didorong
keinginan kuat dan kesabaran, lama kelamaan akan ada dampaknya juga. Nabi
Muhammad Saw. Bersabda:

لا تمنعوا العلم أهله فتظلموا ولا تضعوه في غير اهله فتأثموا

“Janganlah kamu
semua mencegah ilmu untuk diberikan pada ahlinya, maka kamu menjadi penyebab
kezaliman. Dan janganlah memberikan ilmu pada yang bukan ahlinya, maka kamu
menjadi penyebab dosa.”

Jika alasannya
tidak bersifat agama, tapi agama tidak melarangnya (mubah), maka perinciannya
hampir sama dengan alasan yang pertama. Karena, walaupun tujuan awalnya tidak
bersifat agama, berkat ilmu yang diperoleh, akan membawanya ketujuan yang
bersifat agama. Syaikh Sufyan ats-Sauri berkata:

تعلمنا العلم لغيرالله فأبى أن يكون إلا لله

“(Pada awalnya) saya
belajar ilmu dengan tujuan bukan karena Allah. Kemudian ilmu tersebut tidak mau
kecuali karena Allah Taala.”

Imam Abdullah bin
Mubarak juga berkomentar:

طلبنا العلم للدنيا فدلنا على ترك الدنيا

“Saya mencari
ilmu karena tujuan dunia, tapi ilmu menunjukkan saya untuk meninggalkan dunia.”

Begitulah
beberapa dawuh ulama mengenai tidak boleh sembarangan menolak menjadi guru,
apabila tidak ada landasan yang jelas.

Dan untuk
perincian yang terakhir, apabila tujuannya dilarang oleh agama, seperti belajar
agama hanya untuk digunakan rekayasa dalam mempermainkan hukum fikih dan
sejenisnya, maka para guru harus menolak pinangan calon santri yang memiliki
tujuan yang seperti ini.

Demikianlah
klasifikasi santri versi Imam Mawardi.

Yang terakhir, sebagai
seorang santri yang terpenting menurut guru kami, KH. Zubair Muntashar pengasuh
Pondok Pesantren Nurul Cholil Bangkalan adalah pa istiqamah  (tetap konsisten), pa bhejeng (selalu
semangat) dan jhek-lesmalesan (jangan bermalas-malasan).

Bahan
bacaan: Hilyah at-Thullâb, karya Syaikh Muhammad Said bin Syaikh Abdur
Rahim, Sarang.

Kontributor

  • Syifaul Qulub Amin

    Alumni Pondok Pesantren Nurul Cholil, Demangan Barat, Bangkalan, Madura. Sekarang aktif menjadi kontributor sekaligus editor di Website PCNU Bangkalan. Penyuka tumpukan buku dan kitab gundul. Lagi fakus menulis buku dan merambuti kitab gundul (menerjemah).