Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Konsep Doa Menurut Imam Al-Ghazali

Avatar photo
38
×

Konsep Doa Menurut Imam Al-Ghazali

Share this article

Usaha
menjadi salah satu pokok penting yang harus dilakukan umat manusia untuk meraih
apa yang diinginkan olehnya. Hanya saja, ada yang terpenting dari sekadar
usaha, yaitu berdoa. Doa menjadi salah satu ikhtiar penting dalam meraih
keinginannya.

Tidak
hanya itu, berdoa menjadi salah satu bukti atas tidak kuasanya seorang hamba
tanpa disertai kehendak dari tuhan-Nya. Bahkan, doa bisa menjadi bahan
peningkatan spiritualitas untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.

Ada
banyak bukti tertera dalam teks-teks Al-Qur’an dan hadist yang memerintahkan
umat Islam untuk berdoa, di antaranya yaitu:

وَقَالَ
رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Dan
Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.’”

(QS. Gafir: 60)

Dalam
sebuah hadist, Rasulullah
saw.
bersabda:

الدُّعَاءُ
سِلاَحُ الْمُؤْمِنِ، وَعِمَادُ الدِّينِ، وَنُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ

“Doa
adalah senjata orang mukmin, pilar agama (Islam), dan cahaya langit dan bumi.”

(HR. Al-Hakim)

Dua
ayat di atas menjadi sebuah bukti bahwa berdoa merupakan sebuah ikhtiar penting
yang harus dilakukan seorang hamba. Bahkan, ia merupakan ibadah yang jarang
diketahui umat Islam. Setiap perintah yang Allah perintahkan, maka mengerjakannya
merupakan ibadah. Sedangkan ibadah tidak selalu tentang shalat, puasa, sedekah,
zakat, dan lainnya. Berdoa juga bagian dalam beribadah.

Dalil
di atas juga menjadi sebuah bukti untuk menolak pemahaman-pemahaman keliru yang
menganggap bahwa berdoa akan mengeluarkan seseorang dari ridha pada takdir yang
telah Allah swt. tentukan. Dengan berdoa, menunjukkan bahwa ia tidak menerima
semua kepastian Allah kepadanya. Tentu tidak demikian, sama sekali doa tidak
menjadi sebuah media untuk menolak takdirnya. Imam al-Ghazali menanggapi
pernyataan-pernyataan demikian, dalam kitab Ihya’ Ulumiddin sebagai
berikut:

ولا يخرج صاحبه
عن مقام الرضا وكذلك كراهة المعاصي ومقت أهلها ومقت أسبابها والسعي في إزالتها
بالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر لا يناقضه أيضا

“(Doa) tidak mengeluarkannya dari posisi ridha.
Begitu juga dengan membenci maksiat, marah pada penyebab (maksiat)nya, dan
pergi untuk menghilangkannya dengan cara memerintahkan yang baik dan melarang keburukan,
(semua itu) tidak merusak posisi ridha (takdir).”
(Imam al-Ghazali, Ihya’
Ulumiddin,
[Bairut: Darul Ma’rifah
2010], juz 4, h. 351)

Menurut Imam al-Ghazali,
pemahaman yang mengatakan bahwa berdoa menunjukkan sikap tidak terima pada
takdir Allah merupakan pemahaman yang keliru dan perlu diluruskan. Anggapan
seperti itu merupakan anggapan orang-orang yang tidak paham cara memahami
takdir yang sebenarnya dan konsep ridha secara subtansial, serta lupa akan
pilar-pilar syariat.

Jika
diuraikan, betapa banyak ayat Al-Qur’an dan hadist tentang perintah untuk ridha
terhadap semua kepastian Allah swt. Di antaranya, yaitu:

مِنْ سَعَادَةِ
ابْنِ آدَمَ رِضَاهُ بِمَا قَضَى اللهُ، وَمِنْ شَقَاوَةِ ابْنِ آدَمَ سَخَطُهُ بِمَا
قَضَى اللهُ

“Termasuk
dari kebahagiaan anak Adam, yaitu sikap ridhanya terhadap apa yang telah Allah
tetapkan baginya, dan termasuk kesengsaraan anak Adam, yaitu sikap benci (tidak
menerima) terhadap apa yang telah Allah tetapkan baginya.”

(HR. At-Tirmidzi)

Semua
yang terjadi di muka bumi ini merupakan kepastian Allah
swt. sejak
zaman azali, mulai dari kaya, miskin, sehat, sakit, bahagia, menderita, susah,
senang, taat, maksiat dan lain sebagainya. Tentu sebagai umat Islam harus ridha
dengannya. Jika semuanya merupakan kepastian Allah swt., membenci atau
menghindar dari semuanya menunjukkan sikap membenci kepastian Allah. Benarkah
demikian? Lantas bagaimana cara menyikapi dua dalil yang sama-sama menjadi
perintah?

Mari
bahas pelan-pelan.

Meyakini
bahwa semua kejadian merupakan kepastian Allah
swt. adalah kewajiban bagi
semua umat Islam, juga ridha dengan semua kejadian itu adalah kewajiban. Pun
dengan berdoa, merupakan perintah Allah kepada semua makhluk-Nya. Oleh
karenanya, dua hal ini merupakan hal yang rancu bagi pemikiran-pemikiran yang
pendek dari dalamnya pokok-pokok penting dari setiap cabang ilmu, utamanya ilmu
yang membahas akan takdir dan doa. Tentu menjadi bumerang bagi orang-orang yang
terlalu mengedepankan semua kepastian Allah (takdir) dengan segala
ketentuannya, dan melupakan kehendak Allah dengan segala otoritas yang
hamba-Nya pinta kepada-Nya. Mereka mempunyai anggapan, dengan berdoa
menunjukkan sikap tidak ridha dengan semua kepastian Allah. Nyatanya tidak
demikian.

Menurut
Imam al-Ghazali, bisa jadi akan terjadi dua sikap berbeda dalam menyikapi satu
hal. Misalnya ketika menemukan seseorang melakukan maksiat. Di satu sisi, semua
pekerjaan yang dilakukan olehnya merupakan ketentuan, kehendak, dan ikhtiar
Allah swt., maka dari sisi ini, siapa pun harus ridha dengan kejadian itu
sembari mamasrahkan semuanya pada Allah. Namun di sisi yang lain, melihat bahwa
aktor yang berperan dalam pekerjaan itu adalah seorang hamba, ia yang
melakukannya dan dengan melakukan maksiat itu artinya akan menjadi orang yang
dimurkai Allah
swt.,
maka dari sisi ini siapa pun harus membenci pekerjaan yang diperankan itu, ia
harus ingkar pada semuanya disertai dengan upaya untuk merubah pekerjaan
maksiat itu.

Melihat
penjelasan di atas, dalam persoalan maksiat yang semuanya merupakan takdir dan
ketentuan dari Allah swt
.,
maka sikap yang benar menurut al-Ghazali, yaitu:

أنا محب له وراض
به فإنه رأيك وتدبيرك وفعلك وإرادتك

“Aku mencintai kepadanya dan ridha
dengannya, karena semua itu merupakan pemikiran-Mu, aturan-Mu, pekerjaan-Mu,
dan kehendak-Mu.”

Sedangkan
ketika melihat sisi yang lain, yaitu diperankan oleh hamba-Nya, maka sikap yang
benar adalah:

أنا كاره له من
حيث نسبته إليه ومن حيث هو وصف له لا من حيث هو مرادك ومقتضى تدبيرك

“Saya benci dengan (pekerjaan maksiat)nya,
dari sisi disandarkan kepada (hamba)nya, juga dari sisi pekerjaan itu
digambarkannya. Bukan dari sisi kehendak-Mu dan berkenaan dengan kehendak-Mu.”
(Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin,
2010, juz 4, h. 351).

Dari contoh di atas, sangat
tampak bahwa penting kiranya memahami bahwa semua takdir (yang terjadi, murni)
dari Allah dan segala kepastian-Nya, dengan ikhtiar seorang hamba—dengan segala
kemungkinan yang bisa Allah ubah kapan saja sesuai dengan kehendak-Nya.
Artinya, semua yang terjadi memang murni dari Allah, tak ada yang lepas dari
kehendak-Nya. Hanya saja, dengan berdoa dan berusaha, bisa saja Allah merubah
semua kepastian itu, sebab, Allah mempunyai otoritas penuh atas segala
kepastian-Nya.

Dengan memahami perbedaan
tipis keduanya, akan memberikan sebuah pemahaman bahwa kebaikan dan kejelekan
sumbernya dari Allah. Hanya saja, kebaikan merupakan kehendak Allah yang
diridhai, sedangkan kejelekan adalah kehendak Allah yang dimurkai.

Begitupun perihal doa. Dengan
berdoa, bukan berarti menunjukkan bahwa seorang hamba tidak ridha dengan semua
kehendak Allah. Dalam urusannya secara personal, ia harus memasrahkan semuanya
pada Allah dan ridha dengan semua ketentuan yang telah Allah tentukan
kepadanya, namun di sisi yang lain, sebagai hamba juga mempunyai hak untuk
meminta apapun yang ia kehendaki kepada Tuhan-Nya.

Betapapun semua itu telah
menjadi kepastian Allah, berdoa juga menjadi perintah-Nya, sebagaimana
disebutkan pada ayat di atas. Di samping itu, doa juga menjadi senjata umat
Islam dan pilar agama. Sedangkan tujuan berdoa sebagaimana yang disampaikan
Imam al-Ghazali, yaitu:

ليستخرج الدعاء
منهم صفاء الذكر وخشوع القلب ورقة التضرع ويكون ذلك جلاء للقلب ومفتاحا للكشف
وسببا لتواتر مزايا اللطف.

“Agar doa bisa menjadi
penyebab bersihnya ingatan, patuhnya hati, bersihnya sikap lemah lembut. Semua
itu akan menjadi sebab keterbukaan hati, membuka ruang tertutup (hati dari
Allah), dan sebab terus menerusnya pemberian kebaikan.” (Imam al-Ghazali, Ihya’
Ulumiddin,
2010, juz 4, h. 351).

Contohnya, membawa kendi yang
di dalamnya berisi air untuk diminum, tidak bisa dikatakan tidak ridha dengan
kepastian Allah ketika seseorang sedang kehausan, atau dahaga. Begitupun dengan
doa, ia sebagai media untuk mentertibkan semua kepastian Allah kepada umat
manusia. Oleh sebab itu, menurut al-Ghazali, sama sekali doa tidak bisa dikatakan
menjadi sebab ketidakridhaan seorang hamba atas semua kepastian takdir-Nya.

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.