Kehidupan rumah tangga rasanya tidak lengkap tanpa kehadiran buah hati. Namun terkadang banyak anak mendatangkan kerepotan tersendiri bagi pasangan suami istri, terlebih bagi mereka yang ekonominya pas-pasan. Sehingga mereka memutuskan untuk membatasi anak atau KB.
Di sisi lain, agama Islam menyerukan kaum muslimin agar memperbanyak keturunan, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ؛ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَم
“Nikahilah wanita-wanita yang penyayang dan subur (bisa memiliki banyak anak), karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya kalian di hadapan umat lainnya.” (HR. Abu Daud)
Jadi, apakah membatasi anak dengan KB bertentangan dengan anjuran Nabi untuk memperbanyak keturunan?
Merespon pertanyaan ini, Darul Ifta Mesir memberikan pandangannya bahwa KB tidaklah bertentangan dengan anjuran Nabi. Dengan alasan, maksud dari sabda Rasulullah saw. tersebut adalah banyaknya umat Islam yang beriman, shaleh, kuat, produktif, dan maju.
Lembaga Fatwa Mesir itu menilai KB sebagai salah satu sarana untuk menghasilkan generasi yang tangguh, yang memperoleh hak-haknya dalam perlindungan dan pengasuhan yang komplit, dan mendapatkan perhatian yang cukup, supaya menjadi generasi yang shaleh, produktif, dan maju di segala aspek kehidupan, sehingga bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain.
“Rasulullah saw. juga tidak mungkin membanggakan umatnya yang lemah dan tidak mendatangkan kemanfaatan dalam pelbagai aspek kehidupan.” jelas Darul Ifta sebagaimana dikutip dari harian lokal Youm Sabi (12/1/2022).
Yang dimaksud dengan KB, sebagaimana didefinisikan WHO, dalah pasangan suami istri mengambil sarana-sarana—dengan pilihan dan inisiatif keduanya—yang dianggap mampu mengatur jarak kehamilan atau menyetop kehamilan selama jangka waktu tertentu yang telah mereka sepakati, untuk mengurangi jumlah anggota keluarga sehingga keduanya mampu mengurus dan mengasuh anak-anaknya dengan maksimal tanpa gangguan.
KB yang semacam ini, menurut Darul Ifta Mesir, diperbolehkan secara syara’, selama ada sebab-sebab yang diakui oleh syara’ untuk menunda kehamilan, dan juga dengan syarat sudah menjadi kesepakatan pasangan suami istri.
Hal ini diqiyaskan dengan diperbolehkannya ‘azl (mengeluarkan sperma di luar) saat bersenggama sehingga istri tidak hamil.
Selain itu, juga disyaratkan tidak ada unsur dharar (kerugian atau bahaya) dalam penundaan tersebut.
Orang yang berakal sehat adalah orang yang menerapkan sistem (aturan) dalan segala sesuatu, karena sistem tidak ditemukan dalam suatu hal kecuali akan memperindahnya. Allah swt. berfirman:
وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ
“Dan tidak ada sesuatupun, melainkan pada sisi Kami lah khazanahnya. Kami tidak menurunkannya kecuali dengan ukuran tertentu.” (Al-Hijr: 21)
Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam kita Ihya` Ulumiddin (2/52), bahwa di antara niat yang mendorong melakukan ‘azl adalah kekhawatiran akan banyaknya kerepotan sebab banyak anak, sehingga kebutuhan membengkak dan berimbas negatif. ‘Azl tidak dilarang, karena meminimalisir kerepotan sesuai prinsip agama.
Memang benar, yang paling utama adalah tawakal dan percaya dengan jaminan Allah swt. dalam al-Quran:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak satupun makhluk yang bernyawa di bumi, melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.” (Hud: 6)
Namun kita perlu melihat konsekuensinya. Menabung dan menyimpan harta yanh sekilas bertentangan dengan prinsip tawakal, itu pun bukan sesuatu yang dilarang agama.
Dulu pada masa Nabi saw. para sahabat ada yang mempraktekkan ‘azl. Seandainya itu dilarang, tentu Nabi saw. sudah melarang mereka, demikian yang dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fath Al-Bari, 9/306.
Jumhur fuqaha dari kalangan Hanafiyah dan Malikiyah memperbolehkan ‘azl dengan izin dan ridha dari istri, sebagaimana yang dikemukakan dalam kitab Bada`i’ Ash-Shana`i’, 2/334 dan kitab Al-Kafi fi Fiqh Ahlil Madinah, 2/563. Ini juga merupakan satu pendapat di kalangan Syafi’iyah sebagaimana yang tertuang dalam kitab Hasyiyah Al-Jamal ‘ala Syarh Al-Manhaj, 4/447. Bahkan ‘azl diperbolehkan karena suatu kebutuhan menurut ulama Hanabilah dalam kitab Al-Mughni, 7/298.
Berdasarkan itu semua, Darul Ifta Mesir menyatakan bahwa KB diperbolehkan secara syara’ dengan syarat adanya kesepakatan antara suami dan istri, dan itu tidak bertentangan dengan dakwah Islam yang menganjurkan memperbanyak keturunan, namun yang berkualitas. Wallahu a’lam.