Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Lima Etika Khataman Al-Qur’an

Avatar photo
36
×

Lima Etika Khataman Al-Qur’an

Share this article

Mengkhatamkan Al-Qur’an
merupakan sebuah prestasi yang sangat mulia dan hanya mampu dilakukan oleh
mereka yang memiliki kesungguhan dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an.

Pada masa terdahulu, banyak
dijumpai orang-orang shaleh yang istiqamah mengkhatamkan Al-Qur’an setiap bulan
bahkan setiap minggu. Seperti Sahabat Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, Said
bin Jubair, Imam Syafi’I, Imam Hamzah dll.

Mengkhatamkan Al-Qur’an,
artinya mampu menuntaskan bacaan Al-Qur’an dari setiap deretan huruf demi
huruf, kalimat demi kalimat, ayat demi ayat hingga tuntas dari awal surat al
Fatihah hingga surat an Nas.

Ketika seseorang ingin mengkhatamkan
Al-Qur’an, maka sebaiknya ia memperhatikan beberapa etika dan tata cara yang baik,
di antaranya adalah:

Pertama, pemilihan waktu. Adapun waktu yang baik untuk
mengkhatamkan Al-Qur’an adalah ketika shalat. Bila seseorang hendak mengkhatamkan
Al-Qur’an di pagi hari, maka sebaiknya dilakukan ketika shalat sunnah fajar dan
bila hendak mengkhatamkan Al-Qur’an pada malam hari, maka sebaiknya dilakukan
ketika shalat sunnah bakdiyah maghrib. Namun, sebagian ulama menegaskan bahwa
mengkhatamkan Al-Qur’an ketika shalat sunnah fajar adalah lebih baik.

Sementara itu, apabila ingin mengkhatamkan Al-Qur’an di luar waktu shalat atau
apabila khataman dilaksanakan secara berjamaah, maka sebaiknya dilakukan pada
awal hari atau di awal malam.

Imam Sa’ad bin Abi
Waqqash mengatakan bahwa apabila seseorang mengkhatamkan Al-Qur’an tepat pada awal
malam, maka para Malaikat mendoakannya sampai pagi, pun demikian bila seorang
mengkhatamkan Al-Qur’an tepat pada awal hari, maka para Malaikat mendoakannya
sampai sore. Menurut Imam Ghazali, yang dimaksud dengan
awal
hari adalah waktu dilaksanakannya dua rakaat sholat sunnah fajar, dan yang
dimaksud dengan awal malam adalah ketika pelaksanaan sholat sunnah bakdiyah
Mahgrib.

Imam Ghazali (w. 505 H) dalam kitab Ihya’ Ulumiddin juz 1,
halaman 187 mengatakan bahwa dianjurkan untuk mengkhatamkan Al-Qur’an pada hari
atau malam hari jum’at, jika dilakukan pada siang hari maka sebaiknya di
lakukan pada saat shalat sunnah fajar dan jika dilakukan pada malam hari, maka
sebaiknya dilakukan pada saat sunnah bakdiyah Mahgrib atau diantara adzan dan
iqamah. Karena mengkhatamkan pada hari atau malam jum’at memiliki keutamaan
yang besar.

Lebih lanjut Imam Ghazali dalam karyanya di atas (1/276) mengatakan
bahwa yang paling utama adalah khataman Al-Qur’an itu dilakukan bergilir;
disuatu waktu dilakukan pada siang hari dan suatu waktu dilakukan di malam
hari. Jika khataman Al-Qur’an itu dilakukan pada siang hari, maka sebaiknya
dilakukan saat shalat sunnah fajar atau setelahnya pada hari senin. Namun jika
khataman itu dilakukan pada malam hari, maka sebaiknya dilakukan pada saat
shalat sunnah bakdiyah maghrib malam jum’at.

Kedua, Berpuasa saat hari khataman, kecuali jika berbenturan
dengan hari yang dilarang berpuasa, maka tidak dianjurkan berpuasa. Tradisi
puasa ini merupakan “lelampah” para ulama tabi’in, seperti Thalhah bin
Mushrif, Habib bin Abi Tsabit dan al Musayyib bin Rafi’. Mereka semua berpuasa
di hari khataman Al-Qur’an.

Ketiga, disunnahkan menghadiri majelis khataman Al-Qur’an. Hal
ini merupakan tradisi yang dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in.

Diceritakan bahwa ketika
sahabat Anas akan mengkhatamkan Al-Qur’an, beliau mengajak keluarganya untuk
berdoa bersama, sebab doa yang dipanjatkan setelah khataman Al-Qur’an termasuk
doa yang mustajab.

Demikian pula Ibnu
Abbas, beliau mempunyai antusias yang besar untuk menghadiri majelis khataman Al-Qur’an.
Diceritakan bahwa Ibnu Abbas (w. 68 H) mengutus seorang laki-laki untuk menjadi
“mata-mata” yang bertugas mengintai kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan
khataman Al-Qur’an, apabila terdapat seseorang yang akan mengkhatamkan Al-Qur’an,
maka laki-laki tersebut mengabarkan kepada Ibnu Abbas sehingga beliau ikut
serta menghadiri khataman tersebut.

Keempat, sangat dianjurkan berdoa kepada Allah Swt dengan
tulus dan penuh kekhusyukan setelah mengkhatamkan Al-Qur’an. Imam Humaid al
A’raj berkata: “Barang siapa yang membaca (mengkhatamkan) Al-Qur’an kemudian
dia berdoa, maka empat puluh ribu Malaikat ikut mengamini doanya”.

Dalam hal ini dianjurkan
berdoa untuk perkara-perkara yang penting dan menyelipkan doa untuk kebaikan
kaum muslimim, kebaikan kepala Negara dan pemerintahan.

Seperti yang
dicontohkan Ibnu al Mubarak (w. 181 H) saat mengkhatamkan Al-Qur’an, dalam
doanya, beliau banyak memohon kepada Allah untuk kebaikan kaum muslimin.

Kelima, dianjurkan langsung melanjutkan/mengulang kembali
membaca dari awal surat Al-Qur’an setelah khatam. Artinya apabila seseorang
telah mengkhatamkan Al-Qur’an, maka pada waktu itu juga dianjurkan untuk langsung
membaca surat al Fatihah dan sebagian dari surat al Baqarah.

Nabi bersabda: “Sebaik-baik
perbuatan adalah memulai membaca Al-Qur’an dan mengkhatamkan. Artinya, seorang
yang telah selesai mengkhatamkan Al-Qur’an, dia membaca kembali dari awal.

Melanjutkan/mengulang kembali membaca Al-Qur’an dari awal setelah khatam
merupakan tradisi yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw,. hal ini
diperkuat oleh pernyataan yang disampaikan oleh Imam Jalaluddin al Suyuthi (w.
911 H).

Imam  Jalaluddin al Suyuthi
dalam karyanya, “Al Itqan fi Ulum Al-Qur’an”, mengatakan bahwa Ubay bin
Ka’ab menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw, ketika sampai pada surat terkahir
(an Nas) beliau langsung melanjutkan membaca surat al Fatihah dan lima ayat
surat al Baqarah (
أُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ
) kemudian setelah itu berdoa.

Berbeda dengan Ibnu al Qayyim (w. 751 H) dalam karyanya “I’lam
al Muaqqi’in ‘an Rabb al ‘Alamin
” (4/234). Beliau menyatakan bahwa melanjutkan/mengulang
kembali membaca Al-Qur’an dari awal setelah khatam merupakan sesuatu yang tidak
pernah dilakukan oleh Sahabat dan tabi’in. Namun pernyataan ini terbantahkan
oleh atsar yang disampaikan oleh Imam Jalaluddin al Suyuthi di atas.

Demikian di antara etika dan tata cara yang perlu diperhatikan
ketika akan mengkhatamkan Al-Qur’an, dengan harapan mampu meraih lebih bnyak
keutamaan dan kemuliaan Al-Qur’an.

Kontributor

  • Rozi Nawafi

    Ahli ilmu qira'at Al-Qur'an Asyrah al-mutawatirah bersanad sampai kepada Nabi. Wakil koordinator pendidikan dan pengajian di Pesantren Darussalam Keputih Surabaya dan pengisi acara Kiswah Tv 9 Nusantara NU Jatim. Penulis buku “Mengarungi Samudra Kemuliaan 10 Imam Qira’at.”