Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Majas Personifikasi dalam Sastra Arab

Avatar photo
32
×

Majas Personifikasi dalam Sastra Arab

Share this article

Di dunia Arab, satra diistilahkan dengan kata al-Adab. Dalam perjalanannya, sebelum kemudian diartikan sebagai sastra, kata al-Adab ini telah mengalami perubahan dan perluasan makna. Mulai dari yang diartikan sebagai hidangan, hingga pada akhirnya diartikan sebagai sastra.

Kemampuan merasakan apa yang tidak dirasakan oleh orang biasa, lalu dituangkan dalam sebuah kalimat inilah yang dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai sastrawi. ‘Merasakan’ sesuatu di sini tentunya cakupannya sangat luas. Di antaranya adalah menganggap apapun yang ada di sekelilingnya berinteraksi, tidak pandang apakah itu makhluk hidup atau benda mati.

Tidak ada dikotomi antar keduanya, bahkan terkadang benda mati lebih mencolok untuk dijadikan interaksi. Bentuk interaksi kepada benda mati inilah yang kemudian dalam dunia sastra Arab diistilahkan dengan “at-Tasykhish”. Dalam sastra Indonesia dikenal sebagai majas personifikasi, yang berarti menghidupkan benda mati lalu memberikan sifat layaknya makhluk hidup.

Berinteraksi dengan benda mati dengan cara berdialog, menisbatkan suatu perbuatan, dan bercakap dengannya merupakan suatu bentuk yang melampaui batas rasionalitas. Sebab jika kita rasionalkan, apalah gunanya melakukan itu semua kepada benda mati. Namun oleh para sastrawan ini dianggap memiliki nilai sastrawi.

Nilai sastrawi tidak bersekat, tidak membatasi interaksi dengan apapun dan siapapun. Ia hadir atas dasar kepekaan intuitif. Dan kepekaan intuitif inilah yang tidak semua orang dapat memilikinya kecuali para penyair.       

Selama kurun beberapa abad, jika diamati majas personfikasi ini sering digunakan. Baik di masa jahiliyah maupun eras setelahnya. Bahkan hingga masa modern seperti ini. Misalnya pada gubahan syair milik Umru’ al-Qays ketika sedang berdialog dengan malam,

ألا أيها الليل ألا انجلــي

وما الإصباح منك بأمثل

“Duhai malam yang panjang, janganlah bergegas menampakkan pagi

Tak ada waktu pagi yang lebih indah dari kamu”

Baca juga: Kala Mahmoud Darwish Menjadi Mimpi Buruk Bangsa Israel

Puisi ini menjelaskan tentang begitu berharganya waktu malam bagi seorang Umru’ Al-Qays. Sebab di matanya, siang dianggap lebih gelap daripada malam, karena di saat siang harapan dan keinginannya menumpuk, sedangkan malam hari adalah waktu untuk bercengkerama dengan harapan-harapan tersebut. Sehingga ia berharap agar waktu malam tambah panjang dan tidak menampakkan waktu subuh lebih cepat.

Walaupun puisi ini di masa jahiliyah, namun secara makna masih relevan di era modern seperti ini. Malam dianggap sebagai waktu yang berharga bagi seorang yang memiliki tugas menumpuk  keesokan harinya dan harus sudah selesai. Atau bagi seorang mahasiswa yang sudah merasakan kenikmatan belajar di malam hari. Mereka semuanya berharap, agar waktu malam lebih panjang dan subuh tidak buru-buru menampakkan batang hidungnya.  

Atau di masa khilafah Abbasiyah, oleh penyair Al-Buhturi yang memuji seseorang dengan perantara musim semi,

أتاك الربيع الطلق يختال ضاحكا

من الحسن حتى كان أن يتكلمـــا

Musim semi yang berseri-seri telah membesukmu dengan sebuah senyuman

Lalu menghias dengan sebuah keindahan, hingga membuatnya hampir berbicara.” 

Dan juga penyair Al-Mutanabbi yang sedang bercakap dengan hari raya,

عيد بأية حــــال عدت يا عيـــد

بما مضى؟ أم لأمر فيك تجديد؟

Kembali dengan kondisi seperti apa wahai hari raya yang telah berlalu?

Apakah ada suatu hal yang baru dalam dirimu?”

Baca juga: Al-Mutanabbi dan Klaim Kenabian

Sedangkan di masa modern, ada juga puisi dari salah satu tokoh sastra modern asal Lebanon, Ilya Abu madhi ketika bercakap dengan laut.

قد سألت البحر يومـا هل أنا يا بحر منكا

أصحــــيح ما رواه بعضهم عنــي وعنكا

أم ترى زعمـــوا زورا وبهتــــانا وإفكــا؟

ضحكت أمواجه مني وقالت: لست أدري

“Suatu hari kubertanya pada lautan, wahai lautan, apakah aku bagian darimu?

Benarkah apa yang telah mereka bicarakan tentangku dan tentangmu?

Atau kau lihat apa yang mereka kira itu palsu, dusta dan kebohongan?

Ombak-ombaknya hanya menertawaiku, lalu menjawab, ‘Aku tak tahu.’”    Pada intinya, majas personifikasi (at-Tasykhish) ini merupakan salah satu corak dari sebuah karya sastra puisi, ia sifatnya tidak absolut. Ia hanya sebagai salah satu mediasi bagi seorang penyair dalam menggubah lantunan bait syairnya.  Sebab, sebagai media karya sastra puisi Arab, sifat dan cakupannya sangat luas.

Kontributor

  • Ahmad Khikam

    Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir, Fakultas Bahasa Arab. Penyuka sastra Arab, pecinta kaligrafi