Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Ma’ruf al-Karkhi dan Pentingnya Menata Niat Belajar

Avatar photo
34
×

Ma’ruf al-Karkhi dan Pentingnya Menata Niat Belajar

Share this article

Sebenarnya kita belajar
ilmu agama untuk apa? Kita tidak belajar agama untuk bersaing dengan orang lain
lalu berlomba untuk memperlihatkan siapa yang terpintar dan lebih besar pengaruhnya
di masyarakat. 

Tidak juga kita belajar
agar kita bisa berbangga di hadapan orang lain bahwa aku telah membaca kitab
ini dengan syekh fulan dan aku telah menguasai kitab itu. Apalagi jika kita memanfaatkan
belajar hanya untuk melihat kesalahan orang dan marah terhadap kesalahan
manusia. 

Lebih gila lagi jika dengan
belajar, kita malah menjadi manjanik ulama, sehingga tidak ada satu pun ulama
selamat dari lisan kita. Imam A kurang di sini, imam B seperti ini, syekh C tidak
alim, syekh D sahafi, syekh E tidak banyak membaca, dan seterusnya. Apakah
kepribadian seperti itu yang menjadi tujuan dalam belajar agama?

Karakter seperti itu
tidak pernah menjadi tujuan dalam pendidikan Islam. Siapa saja belajar dan
merasakan hal di atas, bahkan jika dia menguasai tingkat tertinggi dalam ilmu
sekalipun, sudah seharusnya merenung dan berhenti sejenak, lalu bertanya pada
dirinya, “Apakah untuk ini aku belajar ilmu keislaman?” dan “Apakah
belajar setinggi-tingginya hanya untuk jadi orang seperti ini?”

Demi Allah, itu aib. Karena
dari sejak awal belajar, kita telah diajarkan bahwa belajar itu karena Allah,
bukan untuk kepentingan pribadi. Tanda bahwa kita belajar untuk Allah bukan
untuk maslahat pribadi adalah kita mengamalkan apa yang kita pelajari.

Tidak banyak mungkin
dari pelajar atau thalibul ilmi yang mengenal Ma’ruf al-Karkhi dari karyanya. Bahkan
sependek pengetahuanku, beliau tidak mempunyai karangan kitab. Kebanyakan
mengenal beliau dari manaqib yang ditulis oleh para ulama dalam kitab-kitab
mereka. Hampir semua tulisan bercerita tentang kesalehannya, jarang yang
berbicara tentang ilmunya. Dan seperti itulah sudut pandang anak muda yang baru
belajar agama pada zamannya. Kebanyakan mereka menganggap bahwa beliau cuma
orang saleh yang jauh dari ilmu.

Suatu hari ada
sekelompok anak muda yang belajar di depan imam agung Ahmad bin Hanbal. Salah
satu dari mereka berkata, “Ma’ruf al-Karkhi ilmunya cetek.” Mereka melihat ilmu
hanya sebatas ilmu zahir seperti menghafal masalah fikih atau hadis. 

Lalu Imam Ahmad
langsung menegurnya. Beliau mengatakan, “Berhentilah, kalian tidak paham dengan
apa yang kalian katakan. Sesungguhnya ilmu yang kita pelajari ini tujuannya
satu, berada di posisi Ma’ruf.” Maksudnya, kita belajar untuk mencapai
pemahaman seperti yang telah dicapai Ma’ruf, sehingga bisa beramal seperti yang
dipraktikkan Ma’ruf. 

Inti penjelasan Imam
Ahmad adalah kita masih belajar sementara seorang Ma’ruf al-Karkhi sudah memahami
semua itu dan telah mengamalkannya. Sesungguhnya ilmunya jauh lebih luas dari
kita.

Hal yang sama terulang
ketika Abdullah putra Imam Ahmad bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayahada,
apakah Ma’ruf mempunyai ilmu walau sedikit saja?” 

Imam Ahmad menjawab, “wahai
anakku, sesungguhnya pada dirinya ada inti dari ilmu, yaitu takut pada Allah.”

Begitulah Imam Ahmad
mengajarkan murid dan anaknya tentang ilmu sejati. Mereka mengira bahwa ilmu didapat
dengan menghafal hadits, mengajarkan tafsir, dan menjawab masalah fikih. Itu
yang dipahami mereka sebagai inti dari ilmu. Tapi Imam Ahmad memberitahu mereka
bahwa orang yang berilmu sesungguhnya adalah yang mampu mengamalkan semua ilmu
yang dipelajarinya dan yang melahirkan sebuah kondisi spiritual dalam hatinya,
yaitu ketakutan pada Allah.

Makanya, akhir-akhir
ini saya sama sekali tidak iri pada orang yang menghafal ini dan itu, menguasai
kitab a atau z, bisa berdebat laksana para filsuf. Tapi yang membuatku iri
adalah ketika melihat seorang hamba Allah yang shalat dua rakaat dan aku melihat
ketakutan pada Tuhan di dua matanya. 

Karena jalan ilmu itu
beresiko. Salah satu hisab paling ketat di akhirat kelak adalah ilmu, sama
seperti harta, kekuasaan dan umur. Jika hisab harta menyoal dari mana kamu mendapatkan
dan ke mana kamu membelanjakan, maka hisab ilmu lebih berat dari itu: apa yang
kamu amalkan? Jadi buat apa kita bisa memberi masukan kepada seluruh manusia dan
menyelamatkan mereka dengan ilmu kita, sedangkan kita tidak bisa menyelamatkan
diri sendiri? Balaha ya zalameh! 

Jangan-jangan kita termasuk
golongan yang dikatakan oleh ulama dengan “bisa jadi Tuhan memenangkan
agama ini di tangan orang fasik.” Ini mengerikan bagi kita sendiri. Kita
merasa sedang berada di jalan benar dengan pakaian ilmu, tidak tahunya kita
sedang berjalan menuju jurang jahannam, tanpa kita sadari.

Jadi, ilmu kita itu
sebenarnya istidraj (pemberian kenikmatan untuk orang-orang yang justru
dimurkai). Ini hijab paling mengerikan, bukan hijab kegelapan, tapi hijab
cahaya, yang sering tidak kita perhatikan. Saking pentingnya mengingatkan
masalah ini, para ulama dahulu mengajarkan adab dan etika belajar kepada
murid-muridnya sebelum mengajarkan ilmu-ilmu yang lain. Dimulai dengan
membenarkan niat, sehingga ketika penuntut ilmu berjalan di jalan ilmu, tidak ada
yang menjadi fokus utama dia selain membenarkan niat bahwa dia belajar karena Allah,
dan seumur hidupnya dia terus dalam keadaan berusaha mengamalkan apa yang dia
pelajari.

Rahimallah (semoga
Allah merahmati) ulama dan guru yang memilih adab belajar sebagai ilmu yang
pertama kali harus dipahami santri pemula. Ingatkah masa awal belajar kitab
adab alim mutalim?

Kontributor

  • Fauzan Inzaghi

    Asal Banda Aceh, Indonesia. Sekarang melanjutkan studi di Universitas Syeikh Ahmad Kuftaro, Damaskus Suriah.