Antara NU di Indonesia dan Al-Azhar di Mesir banyak dipertemukan bukan hanya oleh kesamaan manhaj berislam yang “tawassuth, tawazun, tasmuh dan i’tidal”, kesamaan ideologi Aswaja yang dalam akidah menginduk kepada Imam Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam fikih kepada mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali), dalam tasawuf kepada Imam Ghazzali dan ulama sufi agung lainnya.
Tetapi juga lebih jauh dari itu; antara NU dan Al-Azhar Mesir sama-sama dipertalikan oleh hubungan sanad keilmuan dan jaringan intelektual yang kuat dan kokoh. Hubungan sanad keilmuan antara NU dan Al-Azhar Mesir ini bahkan sejatinya sudah terjalin jauh sebelum Indoesia merdeka.
Hubungan Kyai-Santri Antara Al-Azhar dan NU
Salah satu pendiri NU pada 31 Januari 1926 adalah seorang ulama Al-Azhar Mesir yang bermukim di Surabaya, yaitu Syekh Ahmad Ghanayim Al-Amir Al-Mishri. Nama beliau juga tercatat sebagai mustasyar HBNO (Hoof Bestuur Nahdlatoel Oelama atau Pengurus Besar NU) sepanjang tahun 1926 sampai 1928.
Syekh Ahmad Ghanayim Al-Amir Al-Mishri juga menjadi delegasi Komite Hijaz NU pada tahun 1928 bersama-sama KH. Abdul Wahhab Hasbullah pergi ke Makkah dan bertemu dengan Raja Abdu Aziz Saudi. Dalam pertemuan itu, delegasi Komite Hijaz NU berhasil mendesak Raja Abdul Aziz Saudi untuk mempertahankan diberlakukannya ajaran dan praktik mazhab empat fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) di Makkah, selain mendesak agar wakaf-wakaf bangunan bersejarah Islam di Haramayn (Makkah dan Madinah) tidak dirusak atau dihancurkan.
Baca juga: Bersyafi’i di Negeri Maliki
Ulama Al-Azhar Mesir lainnya yang memiliki pertalian hubungan dengan NU adalah Syekh Muhammad b. Sulaiman Hasbullah Al-Mishri, yang terkenal sebagai salah satu pemuka ulama mazhab Syafi’i di Makkah. Beliau adalah guru langsung dari Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama pendiri NU lainnya (semisal KH. Maksum Lasem, KH. Asnawi Kudus dll) ketika masa pemukiman mereka di Makkah pada peralihan abad 19 M dan 20 M.
Salah satu guru utama tasawuf Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari di Makkah adalah Syekh Abdul Syakur Surabaya. Beliau adalah menantu dari Syekh Muhammad Syatha al-Dimyathi, seorang ulama Al-Azhar Mesir yang kemudian bermukim di Makkah, sekaigus ayah dari Syekh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi (w. 1890) sang pengarang kitab “Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in”. Sosok Syekh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi ini juga adalah guru dari KH. Maksum Lasem, seorang pendiri NU lainnya.
Jauh ditarik ke belakang, Syekh Nawawi Banten (w. 1897) yang menjadi guru dari para pendiri dan kyai-kyai NU adalah murid dekat Grand Syekh Al-Azhar ke-19, yaitu Syekh Ibrahim al-Baijuri (w. 1860). Keduanya sama-sama mengarang “hasyiah” atas kitab “Fath al-Qarib”. Syekh Ibrahim al-Baijuri menulis “Hasyiah al-Baijuri”, sementara Syekh Nawawi Banten menulis “Tausyikh ‘ala Fath al-Qarib”.
Lebih jauh ke masa sebelumnya lagi, Grand Syekh Al-Azhar ke-12, yaitu Syekh Abdullah Asy-Syarqawi adalah guru utama dari Syekh Abdul Shamad Palembang, Syekh Arsyad Banjar, dan ulama Nusantara lainnya yang hidup di abad ke-18 M. Syekh Abdullah al-Syarqawi menulis “Hasyiah al-Syaqawi ‘ala Syarh (al-Hudhudi ‘ala) Umm al-Barahin”, sementara Syekh Nawawi Banten menulis “Dzari’ah al-Yaqin fi Syarh Umm al-Barahin”.
Kitab Ulama Nusantara Diajarkan di Al-Azhar
Hingga saat ini, kitab-kitab karangan ulama Al-Azhar Mesir masih dipelajari dan diajarkan di pesantren-pesantren NU di Nusantara. Pun demikian halnya, beberapa kitab karya ulama NU hingga saat ini juga dikaji di Al-Azhar, semisal kitab “Siraj al-Thalibin ‘ala Minhaj al-‘Abidin” karya KH. Ihsan Dahlan Jampes Kediri (kakak dari KH. Marzuqi Dahlan Lirboyo Kediri), dan kitab “Faidh al-Barakat fi Sab’i al-Qira’at” karya KH. Arwani Amin Kudus.
Belakangan, seorang ulama Al-Azhar yang masih hidup, yaitu Syekh Musthafa Ridha Al-Azhari, menulis sebuah syarah atas kitab karya Syekh Nawawi Banten. Syarah tersebut berjudul “Kasyf al-Ghuyum fi Syarh Mabadi al-‘Ulum”. Ketua Umum PBNU Prof. KH. Said Aqil Siradj sendiri masih tercatat sebagai murid dari Prof. Dr. Hamdi Zaqzouq; ulama Al-Azhar, guru besar filsafat, sekaligus mantan menteri wakaf Mesir.
Baca juga: Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Fatwa Menjual Ayam ke Orang Cina
Ketika beberapa ulama besar Al-Azhar Mesir (seperti Syekh Yusri Jabr Al-Hasani, Syekh Usamah Sayyid Al-Azhari) datang ke Indonesia untuk menemui ulama-ulama sepuh guna menyambung sanad keilmuan dan meminta ijazah ilmiyah, maka yang ditemui oleh ulama-ulama Al-Azhar itu di antaranya adalah KH. Maimoen Zubair Rembang (alm), Habib Luthfi b. Yahya Pekalongan, KH. Ali Mas’adi Mojokerto (beliau menjadi sekretaris pribadi Syekh Yasin Padang Makkah selama kurang lebih 13 tahun).
Semoga Allah SWT senantiasa menjaga NU dan Al-Azhar, serta terus memberikannya berkah kemanfaatan untuk semesta alam.