Dua orang kakak beradik dikenal sebagai ahli ibadah. Puluhan tahun mereka berdua menjadi sukarelawan mengumandangkan adzan. Namun tidak disangka, hidup mereka berakhir dengan status suul khatimah. Gara-garanya sama, melihat aurat perempuan.
Seorang juru adzan Abdullah bin Ahmad bercerita: Suatu hari, aku sedang melaksanakan ibadah thawaf di sekeliling Ka’bah. Seketika, pandanganku terfokus kepada seseorang yang sedang berdoa di dekat kain penutup Ka’bah, dia berdoa: “Wahai Tuhanku, keluarkan aku dari dunia sebagai seorang muslim.” Dia tidak menambah doa yang lain.
Maka aku pun bertanya, “Kenapa kamu tidak menambah doa yang lain?”
Dia menjawab, “Seandainya kamu tahu ceritaku, pasti kamu akan menerima alasanku.”ا.
Aku pun dilanda rasa penasaran. Aku bertanya, “Bagaimana kisahmu?”
Baca juga: Kisah Muhajir Ummu Qays, Hijrah Karena Perempuan
Orang itu mulai bercerita panjang sebagai berikut.
Aku memiliki dua saudara. Yang paling besar merupakan seorang juru adzan. Dia sudah mengumandangkan adzan selama 40 tahun secara cuma-cuma. Ketika kematian sudah berada di hadapannya, ia meminta sebuah Al-Qur’an.
Kami mengira bahwa ia akan mencari keberkahan dengan Al-Quran. Ketika ia mengambilnya, ia justru bersaksi bahwa dia berlepas keyakinan dari al-Qur’an dan kemudian pindah agama menjadi Nasrani, kemudian ia wafat dengan agama Nasrani.
Ketika saudaraku yang besar sudah selesai dikubur, saudaraku yang kecil menggantikan kakaknya, dan dia adzan selama 30 tahun. Ketika menjelang wafat, ia melakukan hal yang sama seperti kakaknya dahulu, dan wafat dengan agama Nasrani.
“Aku sangat takut menjadi seperti mereka berdua,” kata dia, “oleh karena itu aku berdoa kepada Allah agar menjaga agamaku.”
Baca juga: Fatwa Al-Azhar: Perilaku Pengguna Media Sosial yang Dilarang Agama
Dan aku yang terheran-heran dengan ceritanya bertanya, “Memangnya apa amalan mereka?”
كانا يتتبعان عورات النساء وينظران الى المردان
Dia menjawab, “Mereka berdua sering mengintip aurat perempuan ketika adzan di atas menara, dan senang melihat laki-laki tampan yang belum berjanggut (Amrad).”
Disarikan dari kitab Tafsir Ruh al-Bayan, jilid 2 hal 318 karangan Ismail Haqqi Bursevi.