Imam
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin memberikan sebuah nasehat penting yang
berkaitan dengan sistem pengajaran anak. Beliau menjelaskan apa akibat yang
terjadi ketika terus menerus memaksanya belajar.
Imam
Al-Ghazali mengatakan,
وينبغي أن يؤذن
له بعد الانصراف من الكتاب أن يلعب لعبا جميلا يستريح إليه من تعب المكتب بحيث لا
يتعب في اللعب فإن منع الصبي من اللعب وإرهاقه إلى التعلم دائما يميت قلبه ويبطل
ذكاءه وينغص عليه العيش حتى يطلب الحيلة في الخلاص منه رأسا
[إحياء علوم
الدين، ٣٧٣]
“Hendaknya anak-anak itu diberikan izin bermain dengan
permainan yang bagus (positif dan tidak melanggar syariat) setelah selesai dari
belajarnya, agar dengan itu ia bisa melepas penatnya belajar dan nantinya ia
tidak lelah dalam bermain, karena sesungguhnya, melarang anak untuk bermain dan
menekannya terus menerus untuk belajar akan membuat hatinya mati, menghilangkan
kecerdasannya, dan menyusahkan hidupnya, sehingga akhirnya ia akan berusaha
mencari cara agar ia berhenti dari belajar sama sekali.”
Sejak 900 tahun yang lalu, Imam Al-Ghazali sudah
membicarakan hal-hal mengenai kejiwaan anak-anak, kejiwaan dan pola pikir
mereka berbeda dengan orang dewasa..
Mengajar dan mendidik anak dengan cara memaksa bukanlah
cara didik yang baik. Bahkan itu sebuah kezaliman, walaupun untuk menghafal al-Qur’an.
Seorang Imam Abdul Malik bin Habib pernah menasehati
ketika menyerahkan anak-anaknya kepada seorang guru, akhir nasehat tersebut
mengatakan,
علمهم كتاب الله
و لا تكرههم، فيملون
“Ajari mereka kitab Allah dan jangan paksa mereka,
nanti mereka bosan.”
Bedakan memaksa dengan mengimbau. Memaksa tidak boleh,
menghimbau dan membuat mereka cinta kepada kitab Allah itu harus. Wallahu
a’lam.